Pandangan mengenai kesenjangan dan disparitas antara Desa dengan Kota masih belum hilang di benak kebanyakan orang. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2020 menjelaskan disparitas kemiskinan perkotaan dan pedesaan masih tinggi. Tingkat kemiskinan di kota sebesar 7,88% sementara di desa mencapai 13,20%. Berdasarkan laporan Pembangunan Manusia berbasis Gender (2018), Kementerian  Pemberdayaan Perempuan dan Anak, pada tahun 2017 IPG di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,15% dari tahun 2016. Namun nilai tersebut tidak serta merta menunjukan bahwa diskriminasi gender tidak lagi terjadi di Indonesia. Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang umumnya mempunyai nilai IPG yang lebih tinggi dibandingkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tetap saja tidak mencerminkan bahwa semua daerah di KBI memiliki nilai IPG yang baik. Di pedesaan usia 15-18 merupakan usia yang rentan bagi perempuan terhadap pernikahan dini, hal ini kerap kali menjadi problematika yang sulit untuk dihentikan karena sudah mengakar dalam budaya. Padahal perempuan memiliki potensi untuk berkembang dengan lebih baik dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Berdasarkan data-data tersebut perlu dilakukan peningkatan kesadaran  untuk mengangkat nama perempuan dan desa agar memiliki konotasi yang positif. Meningkatkan rasa bangga berasal dari desa dan memilih hidup di desa, serta meminimalkan kesenjangan pandangan mengenai perempuan desa dan kota. Hal ini diperlukan agar masyarakat dapat melihat potensi desa sebagai tempat tumbuh kembang yang baik untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju, serta melihat perempuan sebagai sosok yang berdaya dan mampu turut serta dalam membangun bangsa.

Melalui kampanye #DesadanPerempuan kami ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk meningkatkan rasa bangga berasal dan memilih hidup di desa. Membuktikan bahwa perempuan dan desa mampu  untuk menjadi berdaya dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
