Kita semua pasti sudah tahu kalau beberapa waktu lalu, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara, pemerintah menyepakati pemangkasan cuti bersama tahun ini. Total, 5 hari cuti bersama dipangkas, yaitu:
12 Maret (Isra Mi’raj)
17, 18, dan 19 Mei (Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah)
24 Desember (Hari Raya Natal)
Hal inilah yang menimbulkan banyak sekali perbincangan di berbagai kalangan, baik di kalangan pekerja dan pelajar. Mau nggak mau, pemangkasan cuti berdampak dengan keseharian kita semua. Apa kamu sudah merasakannya sendiri? Kebijakan ini tentu dibuat bukan tanpa alasan, dan alasan utamanya adalah untuk menurunkan tingkat mobilitas di masyarakat. Hayo ngaku, siapa di sini yang sekalinya dapat jatah libur panjang, malah bepergian ke berbagai tempat dan lupa dengan protokol kesehatannya?
Upaya pemangkasan ini juga melihat data dari kasus peningkatan COVID-19 tahun lalu, di mana kita melihat lonjakan kasus selama libur panjang. Coba kita flashback dikit, deh. Pada libur panjang Hari Raya Idul Fitri tahun 2020, menurut data Satuan Tugas (SATGAS) Penanganan COVID-19, terjadi lonjakan kasus yang cukup signifikan, yaitu sebesar 70 sampai 90 persen. Sebelum libur panjang tersebut, kasus positif berada di angka 600 orang per hari. Namun, setelahnya, kasus positif mencapai sekitar 1.100 kasus positif setiap hari. Hmmm, jadi bikin mikir dua kali, kan?
Nah, tapi nggak sedikit orang yang buka suara dan menentang keputusan ini loh. Beberapa alasan yang beredar adalah, pekerja ingin dan berhak beristirahat meskipun hanya di rumah, apalagi kalau kondisi kantor pekerja nggak menjalankan work from home (WFH).