Akhir-akhir ini makin banyak teman yang mulai aware dengan isu sosial dan tidak takut untuk membicarakan hal ini di media sosial. Misalnya saja, hashtag #SahkanRUUPKS yang menuntut DPR untuk segera mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk Prolegnas Prioritas 2016 tapi belum juga disahkan. Ada juga, hashtag #TolakOmniBusLaw yang merasa RUU Cipta Kerja akan semakin menyulitkan buruh dan pekerja kontrak.
Kini, seakan untuk melakukan aktivisme atau protes tidak perlu banyak usaha seperti protes di jalan. Sekarang semudah klik, Like, Comment, Share lewat dunia digital atau media sosial, seakan kita sudah bisa melakukan aktivisme. Apa ya sebenarnya aktivisme digital itu?
Apa itu slacktivism?
Aktivisme digital atau slacktivism berasal dari kata slack artinya malas dan activism yang artinya aktivisme. Menurut Max Halupka, digital activism atau slacktivism adalah aksi online yang dilakukan sebagai respon dari isu sosial yang ada. Gerakan ini biasanya tidak perlu komitmen atau spesialisasi, mudah ditiru dan dibagikan atau diproduksi lagi oleh publik serta melibatkan sistem politik yang sudah ada.
Sayangnya, karena mudah dilakukan di manapun dan kapanpun, slacktivism jadi sering dianggap sebagai aktivisme yang malas dan tak bisa benar-benar membuat perubahan, apalagi jika dibandingkan dengan protes ke jalan. Belum lagi, dengan banyaknya isu yang dibahas di media sosial, seringnya sebuah isu yang diangkat melalui slacktivism cepat hilang begitu saja. Seringnya lagi, slacktivism juga susah membawa perubahan karena tidak lebih dari sebuah diskusi di dunia online tanpa ada aksi lanjutan. Padahal ada juga aktivisme digital yang berhasil, lho.
Bisakah “aktivisme malas” bikin perubahan?
Salah satu digital activism yang membawa dampak sosial adalah #BlackLivesMatter, slacktivism terbesar pertama yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2013. Gerakan ini muncul sebagai respon dari banyaknya pembunuhan pemuda keturunan Afrika-Amerika Serikat oleh polisi. Tagar ini pun dipakai untuk menekankan rasisme, diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang keturunan Afrika-Amerika Serikat.
Data dari Pew Research menunjukkan banyaknya dukungan terhadap isu yang diangkat oleh #BlackLivesMatter. Dalam waktu tiga tahun (Juli 2013 - Maret 2016), tagar #BlackLivesMatter digunakan sebanyak 13,3 juta kali.
Tak hanya itu, gerakan ini juga dianggap sebagai slacktivism yang berhasil membawa perubahan karena diskusinya tak hanya berhenti di media sosial. Setelah menjadi topik hangat di media sosial, gerakan ini pun berlanjut dengan protes di jalan dan kemudian dibicarakan di luar dunia digital, di seluruh Amerika Serikat dan bahkan beberapa negara lainnya.
Bijak Dalam Aktivisme Digital
Kepedulian sama sebuah isu sosial kadang membuat warganet seperti kita juga tergerak ingin ikut menyuarakan pendapat dan mendukung/menentang sebuah isu. Tapi, sebelum melakukan aktivisme digital, ada beberapa hal yang perlu kamu pertimbangkan dulu:
1. Cek ulang konten yang akan kita bagikan. Karena bisa jadi konten tersebut hoax, atau belum pasti kebenarannya. Jadi, bagaimana cara kita tahu konten ini benar atau nggak? Cek sumbernya dan juga lakukan sedikit research di internet. Apakah sumbernya terpercaya? Jangan sampai kita dimanfaatkan sama pihak-pihak yang bertanggung jawab.
2. Pikir matang-matang sebelum melakukan aktivisme digital. Karena apa yang kita lakukan dan bagikan, pastinya punya konsekuensi dan bisa saja menyatukan dan memecah belah dalam waktu yang sama. Maka, sebagai warganet, kita tetap harus bertanggung jawab saat melakukan aktivisme di media sosial.
3. Jangan berhenti di slacktivism. Slacktivism harus jadi tempat kita memulai bukan berhenti. Tak hanya aktivisme digital, ada banyak bentuk aktivisme lainnya yang bisa kita lakukan, mulai dari protes ke jalan sampai terus menerus membicarakan isu tersebut dengan orang-orang sekitar kita.
Selama dilakukan secara bijak dan terus menerapkan cara berpikir kritis, aktivisme digital tentunya sedikit banyak bisa membawa perubahan untuk diri kita dan masyarakat sekitar.
Buat lebih banyak tahu seputar isu sosial dan memahaminya lewat lensa ilmu sosial, kunjungi www.anotasi.com..
Bio
Marissa Saraswati atau Marissa adalah Chairwoman Anotasi.com. Dia menyelesaikan studinya di bidang Women and Gender Studies di San Francisco State University. Dia menemukan minatnya setelah bergelut di dunia media sebagai Managing Editor di majalah GADIS. Fokus penelitiannya adalah remaja putri Indonesia, politik pengetahuan, new media dan teknologi.
Sumber:
https://nonprofithub.org/social-media/what-is-slacktivism-does-it-help/
https://www.citizenlab.co/blog/civic-engagement/slacktivism/
https://www.bbc.com/future/article/20200915-the-subtle-ways-that-clicktivism-shapes-the-world
https://tirto.id/ramai-ramai-ikuti-aktivisme-di-media-sosial-ct98
https://asumsi.co/post/3826/tentang-cloutivism-dan-aktivisme-selebgram
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10361146.2017.1416586?journalCode=cajp20