Hai, Changemakers!
Pasti dari kecil kita sering banget dinasehati, untuk selalu di rumah. Belum lagi iming-iming seperti “perempuan nggak baik keluar terus” atau lainnya. Tapi emang benar kalau rumah adalah, tempat teraman?
Pandemi mengharuskan kita untuk di rumah aja. Keluar rumah pun menjadi sesuatu yang mewah karena kita nggak bisa sebebas dulu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung ternyaman, ternyata menyimpan sejuta ketakutan untuk beberapa perempuan.
Komnas Perempuan melaporkan bahwa KDRT menjadi kasus yang kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Terdapat 319 kasus kekerasan yang telah dilaporkan semasa pandemi. Dua pertiga dari angka tersebut merupakan kasus KDRT.
Data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga menunjukkan bahwa terdapat 110 kasus KDRT yang telah dilaporkan, sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari tanggal 16 Maret sampai 20 Juni. Dalam kurun waktu 3 bulan tersebut, angka kasus KDRT telah mencapai setengah dari angka kasus KDRT selama 2019.
Ngeri ya? tapi ini kenyataanya. Kenapa kekerasan terhadap perempuan meningkat selama pandemi?
Dilansir dari The Conversation, sebuah penelitian baru dari Flinder University di Australia membahas tentang kerentanan perempuan selama masa pandemi .
Penelitian ini menemukan bahwa salah satu alasan angka KDRT meningkat pada masa pandemi adalah akibat bertambahnya berbagai bentuk kerentanan perempuan. Kerentanan ini terjadi karena beban domestik perempuan juga meningkat selama pandemi ini.
Perempuan nggak hanya memiliki tugas untuk mengurus rumah tangga, beberapa dari mereka juga mengemban tugas untuk menjadi guru bagi anak-anaknya.
Beban ini meningkat karena saat ini anak-anak sedang beradaptasi dengan sistem belajar daring pada masa pandemi. Saat ini perempuan juga bertugas sebagai guru privat bagi anak-anaknya karena ditutupnya sekolah-sekolah selama pandemi.
Ibu yang bekerja juga harus membagi waktu agar dapat tetap produktif mengerjakan pekerjaannya di rumah. Akibatnya, perempuan harus mampu melakukan berbagai peran ganda ini dan hal tersebut menambah beban yang cukup berat bagi perempuan.
Terus apa yang harus kita lakukan ketika melihat atau menjadi salah satu korban?
Kalau kamu melihat tetangga atau kerabat terdekat kamu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, ada baiknya kamu membantu korban untuk menjaga jarak fisik dengan pelaku, ketika kekerasan bertambah parah. Hal ini menjadi tugas kita bersama sebagai orang terdekat atau tinggal di daerah yang sama, karena seringkali korban nggak menyadari kalau mereka menjadi korban KDRT.
Kalau kamu menjadi korban, kamu bisa meminta bantuan dari komunitas terdekat yang siap membantu persoalan seperti ini. Seperti hotline Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK di nomor 0813888226699 (via WA) atau email ke pengaduan APIK di [email protected] dengan menyertakan: nama lengkap, umur, alamat, usia, pekerjaan korban/penyintas, pelaku (nama, usia, alamat), hubungan dengan pelaku, dan kronologis kejadian.
Kamu juga bisa mendapatkan layanan psikologis, dan webinar terkait kekerasan oleh Yayasan Pulih di http://yayasanpulih.org/.
Kita bisa memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dengan menyadari bahwa perlakuan seperti memukul perempuan apapun alasan merupakan bentuk KDRT. Kamu juga bisa mendukung perempuan dalam Challenge:
Girl Up Brawijaya mengajak kamu semua untuk ikut membantu dan mendukung perempuan yang sedang mengalami masa kesulitan karena harus menghadapi kehamilan yang nggak diinginkan, baik itu korban kekerasan maupun tidak. Dengan menyelesaikan Challenge kamu sudah membuka donasi sebesar 10 ribu rupiah untuk biaya pemulihan mental, biaya persalinan, serta biaya untuk membantu keuangan perempuan yang berada di dalam masalah tersebut bersama dengan bayinya agar mereka bisa melanjutkan hidup.
Yuk, dukung perempuan terbebas dari kekerasan!
Referensi: