Halo, Changemakers!
Siapa sih, yang suka ngikutin hal viral? Fenomena ini telah menjadi santapan sehari-hari ya. Setiap hari pasti ada aja peristiwa viral yang kemudian menjadi headline di media. Ngomongin viral nggak selalu berkaitan dengan hal negatif aja. Terkadang viral juga bisa berdampak positif. Salah satunya membantu orang buat speak up di media sosial. Gimana tuh, maksudnya, Champ?
Kalau kamu perhatikan tren di media sosial, pastinya menyadari kalau belakangan ini banyak sekali kasus pelecehan seksual yang mulai terungkap di ranah publik. Sebut aja kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri). Nggak hanya itu, beberapa waktu lalu juga publik kembali geram dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa salah seorang mahasiswi Universitas Brawijaya.
Deretan kasus di atas menambah daftar kelam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Namun, di satu sisi, hal ini membuat para korban atau penyintas lainnya mulai berani untuk speak up melalui media sosial. Mereka memanfaatkan platform tersebut untuk speak up mengenai ketidakadilan yang mereka alami.
Nah, jika kita cermati, kasus-kasus ini memiliki pola yang sama, yaitu berasal dari gerakan yang kuat dan kolektif dari masyarakat demi mencari keadilan bagi penyintas dengan memanfaatkan media sosial. Alhasil, kasus menjadi viral dan langsung diketahui oleh pihak berwenang.
Contohnya, dalam kasus pelecehan seksual yang sebagian besar menimpa mahasiswi kampus. Mereka rata-rata membagikan pengalaman traumatis tersebut dengan sharing ke media sosial sebagai jalan pintas. Menurut Poppy Dihardjo, seorang aktivis yang menyuarakan hak-hak perempuan, alasan penyintas speak up di media sosial ini agar kasusnya menjadi sorotan dan bisa mendapatkan keadilan. Alasan lainnya juga karena banyak kampus yang nggak paham SOP untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Banyak sekali pro dan kontra mengenai fenomena viral ini.
Nggak sedikit penyintas yang merasa proses laporan di kepolisian berjalan lambat dan merasa kasus semacam ini nggak penting. Nah, salah satunya kasus pemerkosaan yang dialami oleh perempuan di Bintaro, Tangerang Selatan pada 2020 silam. Melansir dari Liputan6.com, penyelesaian kasus ini butuh waktu satu tahun untuk diproses oleh polisi. Lama banget ya, padahal korbannya mengalami trauma berkepanjangan. Mirisnya lagi, setelah kasus ramai di media sosial tersangka baru berhasil ditangkap.
Tapi, ini masih menjadi perdebatan antara pihak berwenang dengan laporan korban kekerasan seksual. Secara teknis, pelaporan dari korban akan melewati serangkaian proses oleh pihak kepolisian. Mulai dari tahap penyelidikan, kemudian naik ke tahap penyidikan di mana akan ditetapkan tersangka berdasarkan pada bukti yang ada.
Memang sekilas terlihat cukup mudah, tapi yang sering menjadi masalah adalah waktu prosesnya yang nggak bisa cepat. Alasan yang sering menjadi penyebab lamanya proses adalah bukti yang ada kurang kuat. Nah, mungkin inilah yang kemudian menjadi keresahan bagi penyintas untuk membuat laporan ke kepolisian. Akhirnya, mereka memilih jalan pintas untuk mengadukannya ke media sosial agar menjadi viral.
Pada akhirnya, dengan viralnya kasus di media sosial menjadi salah satu cara bagi korban agar kasusnya segera diproses oleh kepolisian. Mau nggak mau, kepolisian harus segera memproses kasus tersebut karena sudah ramai di media sosial. Kalau nggak diproses, nantinya kinerja mereka akan dipertanyakan.
Terlepas dari pro dan kontra, fenomena ini telah menjadi tamparan bagi para pihak berwenang di negara ini. Mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan melindungi penyintas malah tergantikan oleh media sosial untuk mencari keadilan.
Gimana menurutmu tentang fenomena viral ini?