#ForABetterWorldID

Membuka Bingkai Perempuan dalam Media Massa bersama Magdalene

profile

campaign

Update

Hai, Changemakers!


Siapa tokoh perempuan yang paling kamu ingat dari buku atau film, dan bagaimana karakternya? Percaya atau enggak, ternyata, penokohan perempuan yang kamu jumpai di media massa bisa memengaruhi pandanganmu terhadap perempuan dalam dunia nyata.


Menurut Haryati (2012), media massa merupakan cerminan dari masyarakat dan kebudayaannya. Media massa bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender, tapi mereka tetap memiliki peran dalam menghidupkan, memperkokoh, mengabadikan, dan bahkan memperburuk ketidakadilan gender, terutama bagi perempuan. Hal ini karena masyarakat menjadi sangat terekspos akan berbagai konten yang disajikan oleh media massa, seperti melalui berita, audiovisual, dan lainnya, sehingga ikut menginternalisasi nilai-nilai yang diproyeksikan oleh media massa. Maka, nilai-nilai patriarki yang dianut masyarakat akan semakin terabadikan akibat konstruksi yang dibangun oleh media massa berdasarkan nilai-nilai tersebut.


Jadinya, media massa juga turut mengabadikan peran-peran gender berdasarkan stereotip melalui produknya yang dikonsumsi oleh masyarakat. Contohnya, Changemakers pernah enggak mendengar atau melihat kisah putri-putri kerajaan yang harus diselamatkan oleh tokoh pangeran atau ksatria?


Cerita-cerita tersebut masuk ke dalam fenomena “damsel in distress.” Di dalam fenomena ini, tokoh perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya, sehingga harus diselamatkan oleh tokoh laki-laki. Fenomena ini cukup sering dijumpai dalam berbagai bentuk, baik sebagai putri kerajaan yang harus diselamatkan oleh pangeran, 1st lead female yang harus dilindungi oleh 1st atau 2nd lead male, dan sebagainya. Akibatnya, fenomena ini memperkuat anggapan bahwa perempuan itu lemah dan harus diselamatkan oleh laki-laki. Seolah cerita perempuan itu kurang “lengkap” kalau di dalamnya enggak ada laki-laki yang muncul untuk “menyelamatkannya.” Sehingga, muncul narasi bahwa perempuan harus bergantung kepada laki-laki.


Namun, kini karya audiovisual mulai bergerak untuk menghapus narasi perempuan harus bergantung kepada laki-laki. Udah banyak film yang menampilkan perempuan sebagai sosok mandiri yang enggak perlu bergantung kepada laki-laki! Sebut aja Katniss Everdeen dari The Hunger Games, Hermione Granger dari Harry Potter, dan Kang Sae-Byeok dalam Squid Game.



image

image

Jadi, ada pergeseran penokohan perempuan yang kapabel menjaga dirinya sendiri. Hal ini merupakan refleksi dari nilai-nilai feminis yang semakin diterima dalam masyarakat, seperti peran perempuan dalam dunia kerja, politik, ruang publik, dan sebagai pengambil keputusan. 


Lalu, apakah itu artinya perempuan udah memiliki posisi yang adil dalam pemberitaan di media massa?


Sayangnya belum, Changemakers. :(


Objektifikasi Perempuan dalam Media Massa

Changemakers, masih ingat enggak sama judul-judul berita yang pernah viral ini?


image

image

image

Judul-judul ini, selain sangat mengganggu, juga merupakan bukti kalau perempuan masih sering dijadikan objek seksualitas oleh beberapa media massa. Hal ini juga disebut objektivikasi perempuan. Judul-judul yang dibuat malah fokus pada penampilan fisik perempuan dan diperparah oleh komentar-komentar berbau pornografis, padahal sorotan utamanya itu performa dan prestasi mereka. 


Hal ini dapat berujung para perempuan mulai mengobjektifikasi dirinya agar sesuai dengan pandangan laki-laki. Menurut Magdalene, dalam hal ini media massa membuat narasi, bahwa perempuan hanyalah merupakan objek yang patut dipertontonkan di ruang publik, sehingga pada akhirnya perempuan akan mulai menilai dirinya berdasarkan seberapa “menariknya” dia dalam mata laki-laki. 


Hal ini akan terus terjadi sebagai cerminan di mana semakin banyak orang yang mengonsumsi media yang mengobjektifikasi perempuan, maka akan semakin besar kemungkinan bagi mereka untuk turut mengobjektifikasi perempuan yang ada di lingkungan mereka, termasuk diri sendiri. Tentunya, ini dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri dalam perempuan, termasuk anak-anak, yang bertanya-tanya apakah fisik mereka akan memberikan “nilai” kepada mereka di dalam dunia yang misoginistis ini.


Eitsss, objektifikasi perempuan enggak hanya berdampak negatif kepada perempuan semata. Magdalene berpendapat, pandangan ini juga akan membentuk konstruksi sosial di mana laki-laki adalah makhluk dominan yang berhak berkuasa. Akibatnya, membentuk sebuah relasi sosial dimana laki-laki seakan lumrah untuk menjadi dominan dan agresif, sementara perempuan harus menjadi pasif. Sebagai contoh, pada tahun 2018 di Prancis, seorang perempuan yang menjadi korban objektifikasi malah dipukul oleh pelaku ketika melawan. Kejadian itu viral dan mendorong pemerintah setempat untuk mengesahkan undang-undang antiobjektifikasi perempuan. 



Representasi Perempuan dalam Media Massa Indonesia

Haryati (2012), seorang peneliti bias konstruktivis media massa terhadap perempuan, menulis kalau representasi perempuan di dalam media massa Indonesia biasanya terbatas pada peran domestik, yakni sebagai pengurus rumah tangga. Sementara Magdalene menulis, representasi perempuan Indonesia kebanyakan kurang beragam dan enggak progresif. Gina S. Noer, seorang sutradara film, berupaya untuk mengembangkan karakter perempuan, namun seringkali ditolak akibat persepsi kalau perempuan hanyalah sebagai target pasar, bukan sebagai sumber cerita.


Padahal, peran media seharusnya memberikan representasi perempuan di Indonesia di luar ruang lingkup domestik dan percintaan. Menunjukkan simbol-simbol perempuan yang kuat dan mandiri di media massa dapat membuat para penonton perempuan merasa identitasnya tervalidasi, serta merasa kalau mereka berhak memiliki kehidupan di luar ekspektasi tradisional yang diharapkan dari mereka. Selain itu, merepresentasikan perempuan sebagai manusia yang seutuhnya memiliki harapan dan mimpi sendiri juga akan membantu memanusiakan perempuan dengan mengangkat narasi bahwa mereka lebih dari sekadar pemanis dan pengurus rumah tangga. Lalu, media juga perlu mengaplikasikan perspektif gender dalam produk-produknya, baik secara tertulis maupun audiovisual agar menghilangkan seksisme dalam bentuk apapun.


Jadi apa yang bisa kita lakukan?

Champ bertanya ke tim Magdalene, “Sebagai pembaca media massa, apa yang harus kita lakukan?” Sebagai konsumen, kita punya tanggung jawab untuk mengedukasi diri sendiri. Kita harus bisa meliterasi diri sendiri, apalagi tentang gender dan hal-hal terkait, biar kita bisa kritis dan enggak mudah percaya sama pembingkaian gender dalam media massa. Kita juga harus bisa mempertanyakan dan menggugat pembingkaian gender. Intinya, kita enggak boleh mudah percaya sama yang disajikan oleh media massa!


Selain itu, kita juga harus menyadari kalau industri media itu terdiri dari sebuah struktur yang besar. Judul dan penokohan perempuan yang seksis merupakan imbas dari media massa secara keseluruhan, sehingga kita patut mengkritisi media massa (bukan hanya satu atau dua orang) yang masih menampilkan pembingkaian yang seksis. Kita juga patut mendukung media massa yang memiliki kesadaran gender yang baik agar mendorong media massa untuk menunjukkan penokohan gender yang adil. Kekuatan kita sebagai konsumen itu besar, loh!



Changemakers, kamu pernah melihat pemberitaan seksisme atau objektivikasi perempuan di media massa? Yuk, share ceritamu di kolom komentar!


Referensi

Haryati, “Konstruktivisme Bias Gender dalam Media Massa”, Observasi vol.10 no. 1 (2012): 41. URL: https://media.neliti.com/media/publications/220567-konstruktivisme-bias-gender-dalam-media.pdf


Vloretta, Jasmine. “Media, Tolong Stop Objektifikasi Anak Perempuan”, Magdalene, 22 Mei 2021, diakses Februari 2022, https://magdalene.co/story/media-stop-objektifikasi-dan-seksualisasi-anak-perempuan


Febriana, Ika Kartika, “Objektifikasi Perempuan dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental”, Tempo, 15 Oktober 2018, diakses Februari 2022, https://kolom.tempo.co/read/1136290/objektifikasi-perempuan-dan-pengaruhnya-terhadap-kesehatan-mental


Adisya, Elma, “Memperbesar Volume Perempuan dalam Film Indonesia”, Magdalene, 3 Mei 2019, diakses Februari 2022, https://magdalene.co/story/memperbesar-volume-perempuan-dalam-film-indonesia


Syari, Gendis, “Diverse and Realistic Representation of Women in the Media”, Magdalene, 7 November 2016, diakses Februari 2022, https://magdalene.co/story/wanted-diverse-and-realistic-representation-of-women-in-the-media


heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone