#ForABetterWorldID

Perempuan Dobrak Bias: Dunia Diciptakan untuk Lelaki, tapi Kita Bisa Memilih! (Magdalene)

profile

campaign

Update

Artikel ini tampil di



https://mendobrakbias.magdalene.co/


Hai, Changemakers!


Sadar nggak kalau bias gender, yaitu kecenderungan memihak kepada salah satu gender,  masih sering terjadi?

Ternyata, keberpihakan terhadap gender laki-laki masih marak terjadi, bahkan di dalam industri-industri yang seharusnya lebih paham mengenai ketidakadilan ini, loh!


Di dalam garis pekerjaan jurnalisme, contohnya, Magdalene mengangkat cerita milik “Maria” (31). Maria berharap dapat meliput lebih banyak tentang isu politik dan hukum, namun kesempatannya untuk berpindah ke kanal favorit media massa-nya kandas untuk kedua kalinya. Padahal, Ia merasa udah membuktikan kapabilitasnya dalam menangani berita-berita tersebut.

“Saya sudah membuktikan paham isu-isu politik dan hukum terbaru. Setiap kali rapat redaksi, pasti selalu menyumbang ide untuk liputan utama. Isunya, sih dipakai tapi sayanya nggak,” ujarnya pada Magdalene, (3/3).


Menurut Maria, alasan penolakan dari redakturnya relatif nggak masuk akal. “Katanya, ibu muda seperti saya sudah paling pas menulis untuk desk gaya hidup atau kesehatan. Bebannya ringan, saya juga tak dituntut untuk berpindah-pindah lokasi peliputan hingga malam hari, sehingga anak jadi terlantar. Seolah-olah tugas mengurus anak dan rumah itu cuma melekat pada saya sebagai perempuan. Saya kesannya juga dipandang tak punya kapabilitas, waktu, atau ketahanan seperti wartawan lelaki,” kata alumni Politik Universitas Indonesia itu.



image

Sumber foto: The New York Times

Sayangnya, diskriminasi yang dialami Maria itu nggak masih sering terjadi ke banyak jurnalis perempuan lainnya. Pada tahun 2014, The New York Times pernah menghitung kalau, dari 21.440 artikel mereka, perempuan lebih banyak menulis artikel dalam 5 dari total 21 kanal, yakni gaya dan mode, kuliner, rumah dan arsitektur, wisata, serta kesehatan. Sementara itu, pria menulis kebanyakan cerita kanal sisanya, seperti bisnis, olahraga, sains, dan politik. 


Dalam konteks ini, pengalaman Maria dan banyak jurnalis perempuan di luar sana adalah contoh kecil betapa bias gender bisa terjadi, bahkan di lingkungan berisi orang yang sadar tentang ini. Dalam artikelnya di Washington Post, penulis buku Invisible Women: Data Bias in a World Designed for Men (2019) Caroline Criado-Perez mengatakan, dalam alam bawah sadarnya, ia selalu membayangkan profesi prestisius seperti pengacara, dokter, dan saintis ditempati oleh lelaki. “Padahal saya seorang feminis,” katanya.


Bias gender yang terinternalisasi bisa terjadi karena konstruksi dunia ini nggak didesain untuk perempuan sedari dulu. Dalam bukunya, Perez bilang, mulai dari lingkungan kerja, pendidikan, teknologi, bahkan medis, perempuan hampir selalu dianggap “lain” atau dilainkan, yakni hampir nggak pernah diperhitungkan dalam pembuatan keputusan.


Contoh paling sederhana, pada tahun 1960-an, penentuan suhu standar kantor untuk pertama kalinya dibuat mengikuti sistem metabolisme rata-rata pria berusia 40 tahun dengan berat 154 pon. Ternyata, dalam riset terbaru di Jerman suhu itu lebih dingin lima derajat atau kelebihan 35 persen untuk batas tubuh perempuan, sehingga memicu ketidaknyamanan bekerja. Situasi ketidaknyamanan ini cenderung tak ideal, sebab mengutip The Guardian, bukan hanya nggak adil, tetapi juga buruk untuk bisnis: Tenaga kerja yang nggak nyaman adalah tenaga kerja yang nggak produktif.


image

Foto diambil dari FORKOMBI

Bias gender paling kelihatan nyata di dunia medis. Menurut Perez, dokter yang diamatinya cenderung nggak mau meneliti tubuh perempuan karena dianggap “terlalu rumit”, berubah-ubah tergantung situasi hormonal. Padahal, perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan lebih berat dari para lelaki, termasuk kelainan jantung hingga gangguan reproduksi. Hal ini pula yang sering memicu misdiagnosis pada perempuan.


Magdalene mengambil kisah “Lisa”, seorang perempuan yang mengalami nyeri hebat saat menstruasi, sehingga harus masuk ke ruang rawat inap di rumah sakit. Lisa kemudian diarahkan untuk menjalani tes darah, CT scan, dan MRI. Namun, dokternya nggak menemukan keganjilan yang membuat Lisa mengalami sakit perut yang luar biasa. Kata dokternya, “rasa sakit kamu paling hanya ada di kepala aja.”


Ternyata, beberapa hari kemudian Ia didiagnosis menderita endometriosis–jaringan endometrium tumbuh di luar rahim, seperti saluran telur bahkan usus–dan adenomiosis–jaringan tumbuh di dalam rahim dan menembus permukaan ototnya, sehingga dinding rahim semakin tebal. Karenanya, Ia mengalami nyeri akut dan pendarahan berlebihan saat maupun sesudah siklus menstruasi. 


Walaupun telah mendapatkan diagnosis yang tepat, Lisa dibuat kesal ketika dokter kandungan yang memeriksanya justru menyarankan ia menikah dan memiliki anak agar gejala nyeri dari dua kondisi itu bisa berkurang.

Akar Bias Gender


Dalam dunia yang cenderung maskulin, bias gender ini akhirnya tanpa disadari jadi terinternalisasi dalam masing-masing individu. Akarnya adalah sistem patriarkal yang memang memberikan ruang lebih besar bagi laki-laki dalam berbagai bidang. Lelaki dalam hal ini secara sosio-kultural dianggap sebagai sosok perkasa, kuat, rasional, dan melindungi perempuan serta keluarga. Sebaliknya, perempuan dilabeli sebagai sosok keibuan, lemah lembut, dan cenderung emosional. 


Manifestasi dari konstruksi sosial ini bisa kita lihat dengan mudahnya mengotak-ngotakkan peran gender lelaki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Lelaki menjalani pekerjaan yang berat di ruang publik, seperti dalam politik, sedangkan perempuan mengurus ruang privat, seperti domestik. Lelaki bekerja di sektor yang macho, sedangkan perempuan sebaiknya bertugas di bidang-bidang yang mengutamakan soft skill—sebuah istilah yang sebenarnya masih problematis. Ini persis seperti yang dialami Maria, jurnalis yang secara kapabilitas mampu dan mau ditempatkan di desk politik dan hukum, tapi terhalangi karena persoalan bias gender di lingkungannya.


Konstruksi sosial yang bias ini nyatanya terbungkus dalam proses yang panjang, sosialisasi berulang-ulang, dan dilegitimasi oleh nilai-nilai tradisional serta peraturan yang nggak punya semangat kemajuan zaman serta kesetaraan, tulis Walker dalam bukunya bertajuk Gender and Relation Relationships (1999).

Salah satu pintu masuk bias gender ini adalah lewat pendidikan. Walaupun kurikulum pendidikan kita sejak 2013 (K-13) sudah lebih ramah gender karena memberikan wacana tentang pendidikan karakter dan upaya untuk menghindari dan memecahkan masalah sosial di masyarakat, seperti korupsi, konflik etnis, dan konflik keyakinan, tapi praktiknya tak semulus itu.




image

Lala, guru Sekolah Dasar (SD) di Jawa Barat menceritakan pada Magdalene, bagaimana buku ajar serta Lembar Kerja Siswa (LKS) versi pemerintah pusat untuk anak kelas 1-3 SD masih lekat dengan stereotip gender.

“Buku pelajaran dan LKS yang dipakai dalam proses pengajaran masih ada gambar-gambar yang mengotak-ngotakkan peran gender, apalagi di kelas 1-3 SD. Masih ada anggapan bahwa tugas domestik itu diasosiasikan dengan sosok perempuan, baik ibu atau perempuan. Anak perempuan membantu ibu memasak di dapur sedangkan anak laki-laki bisanya membantu ayah mencuci motor atau mobil,” tutur Lala lagi.

Pendidikan sejak dini yang nggak cukup mengajarkan nilai-nilai kesetaraan akhirnya membuat perempuan dan lelaki menginternalisasinya sebagai norma ketika tumbuh dewasa. Terdapat pemahaman kalau memang sudah sewajarnya pembagian peran gender harus sesuai dengan yang kini berlaku. Perempuan sebaiknya jangan sekolah di bidang Science, Technology, Engineering, and Math (STEM) karena STEM lebih dominan berparas lelaki.

Peneliti bidang STEM Andi Misbahul Pratiwi mengamini, kesenjangan gender dalam STEM bisa dilihat dari minimnya perempuan yang mengenyam pendidikan di bidang ini. “Saat di SMK saya misalnya, hanya ada 10 anak perempuan dari total 40 murid. Ketika kuliah pun persentasenya nggak beda jauh padahal TI itu jurusan populer,” kata Andi yang merupakan lulusan Teknik Informatika (TI) dan Teknik komputer dan Jaringan semasa SMK.

Jadi, nggak heran kalau di tingkat global, representasi angkatan kerja perempuan di bidang STEM juga nggak kalah mengkhawatirkan. Merujuk laporan UNICEF 2020, perempuan hanya mengisi sekitar 40 persen dari angkatan kerja STEM di 68 negara. Masing-masing sangat kurang terwakili dalam pekerjaan teknik dan teknologi di masa depan, karena hanya sekitar 28 persen perempuan profesional yang ada di industri teknologi dunia. 

Kurangnya representasi perempuan di angkatan kerja STEM, apalagi kepemimpinan perempuan di dalamnya, menjadi biang kerok kenapa pengambilan keputusan di level strategis masih dalam kendali penuh laki-laki. Dalam pemahaman patriarkal berbasis-maskulinitas inilah peran dan perspektif perempuan dibungkam.

Minimnya representasi perempuan di STEM karena persoalan norma ini rupanya bukan masalah tunggal. Perempuan yang pada akhirnya masuk ke dunia ini pun dibuntuti dengan beragam diskriminasi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk cabut dari bidang tersebut. Dalam laporan Pew Research Center 2018, rata-rata perempuan yang bekerja di bidang STEM lebih mungkin mengalami diskriminasi daripada laki-laki.

Nggak cuma di sektor STEM, efek domino dari bias gender juga terasa di sektor politik. Ini adalah tentang siapa yang mengelola negara serta menyusun peraturan. Dalam produk perundang-undangan kita, bias gender secara telanjang diperlihatkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Di Pasal 25 Ayat (3), ada tiga kewajiban istri, yaitu mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya serta menjaga keutuhan keluarga. Kemudian, istri wajib memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Berikutnya di Pasal 25 Ayat (2) disebutkan empat kewajiban suami. Pertama, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga. Kedua, melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran. Ketiga, melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Keempat, melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Peraturan yang bias ini sangat mungkin terjadi karena keberadaan perempuan dan atau orang yang punya perspektif gender di bidang politik masih relatif minim. Di Indonesia, afirmasi politik mencapai 30 persen. Namun di lapangan, walaupun tiap periode jumlah keterwakilan meningkat, tapi masih jauh dari target. Di 2021, jumlah keterwakilan perempuan di Parlemen setara dengan 20,87 persen dari total anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sebanyak 575 orang. Angka ini masih sangat timpang dengan negara-negara lain, seperti Finlandia sebanyak 47 persen pada 2018, Rwanda 61,3 persen, Kuba 53,2 persen, Bolivia 53,1 persen, dan seterusnya.


Media Andil Kekalkan Bias Gender

Jika bicara konteks hari ini, bias gender cenderung awet karena dibantu oleh media, dari media massa maupun produk budaya populer seperti acara televisi, film, iklan, dan sejenisnya.


Beberapa waktu lalu misalnya, pemberitaan soal atlet perempuan yang ditulis jurnalis Ridho Permana di media daring memantik kecaman publik. Tak hanya mengobjektifikasi perempuan, ia juga konsisten untuk selalu menerbitkan artikel yang seksis, bias, dan diskriminatif. Itu tampak dalam sejumlah judul, seperti: “Duh, Pose Mengangkang Pebulutangkis Kanada di Gym Bikin Ngilu”, “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Ranjang Bikin Ngilu”, “Bikin Gagal Fokus Pose Bidadari Bulutangkis Australia di Gym”, “Jeritan Hati Pebulutangkis Cantik Myanmar Mengenaskan di Olimpiade”.



image

image

image

Apa yang dilakukan Ridho juga diimitasi oleh jurnalis lainnya saat menulis berita politik. Bukannya menguraikan prestasi atau pencapaian figur politik perempuan, media malah mengeksploitasi sensasi dan aib dari perempuan tersebut. Daripada menceritakan gagasan politik anggota dewan perempuan, lebih baik angkat saja koleksi sepatunya, merek-merek tasnya, atau panas dingin situasi rumah tangga mereka dengan suaminya.


Di iklan, film, dan acara televisi pun tone-nya hampir senada. Perempuan dipersepsikan sebagai sosok yang kepadanya melekat peran-peran menjadi ibu rumah tangga, pun dianggap tugasnya hanya memikat para lelaki saja. Sebab itulah, iklan-iklan produk pemutih, parfum, pelangsing, alat-alat rumah tangga cuma diperuntukkan untuk perempuan, alih-alih konsumen lelaki.


Pertanyaannya, kenapa media bisa bertindak demikian? Tentu saja kita nggak bisa menyalahkan seorang Ridho Permana atau wartawan lain yang menulis berita. Kita juga nggak bisa menyalahkan penulis skenario film dan sinetron TV yang membuat peran perempuan tak pernah mengalami kemajuan. Pasalnya, ada struktur besar di media yang di dalamnya berisi banyak kepentingan. Mengais klik, mencari keuntungan adalah beberapa kepentingan yang hendak dicapai oleh perusahaan media, apapun platformnya.


Khusus di media massa, kepentingan para pemilik atau pemodal ini diperparah dengan kondisi rendahnya jumlah wartawan perempuan di ruang redaksi. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah petinggi redaksi perempuan hanya berkisar di angka enam persen. Artinya, 94 persen atau mayoritas jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter atau bukan pengambil keputusan redaksional. Kecilnya jumlah jurnalis perempuan dalam redaksi menyebabkan kurang ramahnya banyak kebijakan media terhadap kebutuhan perempuan, termasuk dalam tugas peliputan dan masalah pengupahan.


Kalau sudah sefatal ini, lantas inisiatif apa yang sebaiknya kita lakukan? Lalu, apa saja bias-bias dalam masyarakat yang masih menggelayuti kita? Mainkan gim dan baca artikel-artikel konstruktif Magdalene dalam proyek jurnalisme data edisi spesial International Women’s Day Mendobrak Bias.


Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.




heart

Hearts

heart

Komentar

Komentar

Done
Download aplikasi Campaign #ForABetterWorld untuk dunia yang lebih baik
Tingkatkan dampak sosialmu dan mari mengubah dunia bersama.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone