#ForABetterWorldID

Lika-liku Perjalanan Perempuan Menjadi Pemimpin di Tengah Dunia Patriarki

profile

campaign

Update

Halo, Changemakers!


Kamu kenal Heidi Rozen? Heidi adalah seorang “lulusan” Silicon Valley, pusat inovasi teknologi dunia yang ada di Amerika Serikat, dan memiliki segudang pencapaian. Misalnya, ia pernah menjadi seorang co-founder dari perusahaan T/Maker dan menjadi CEO dari perusahaan tersebut selama satu dekade. Sekarang, ia sedang menjadi direktur dari beberapa perusahaan, seperti perusahaan Planet PBC, Invitation Home, DMGT, dan Upside Foods. Melihat pengalamannya ini, tentu kualitas kepemimpinan Heidi udah enggak perlu kita ragukan lagi, kan?
image

Sumber gambar: heidirozen.com


Sayangnya, sebuah penelitian yang dilakukan di Columbia Business School, justru mengatakan hal sebaliknya, Changemakers. Pada eksperimen ini, mahasiswa diberikan sebuah studi kasus terhadap Heidi dan “Howard”: mana yang lebih baik untuk dipilih. Secara data dan profil yang dianalisis, kedua subjek penelitian ini memiliki kompetensi yang sama, dan para mahasiswa setuju, kemampuan yang mereka miliki seimbang. Namun, para mahasiswa lebih memilih “Howard” karena dia “lebih disukai” dibandingkan Heidi. Nah, yang mereka enggak tahu, “Howard” sebenarnya adalah Heidi yang profilnya diubah menjadi laki-laki.


Deborah Gruenfeld, seorang peneliti yang mengutip eksperimen ini mengatakan bahwa “semakin asertif sifat seorang perempuan, maka semakin tinggi pula kemungkinan orang lain tidak menyukainya”. Hal ini menunjukkan, perempuan memiliki hubungan yang negatif ketika dikaitkan dengan kesuksesan dan kuasa. Sifat seperti tegas, otoritatif, atau dominan yang biasanya dimiliki seorang pemimpin, enggak dilihat atraktif jika sifat tersebut dimiliki seorang perempuan.


Nah, Changemakers, pandangan bias kepada perempuan ini, secara enggak disadari, mungkin udah tertanam di pikiran masyarakat luas dan jika pemikiran seperti di atas terus dibiarkan, akan mampu menghambat perkembangan karir setiap perempuan.


Bias gender = hambatan besar bagi kesetaraan


image

Sumber gambar: engoo.id


Pada sebuah penelitian yang meneliti tentang lulusan MBA, didapatkan hasil bahwa hanya satu per 8 perempuan yang melakukan negosiasi gaji ketika wawancara kerja, sedangkan setengah dari seluruh lulusan laki-laki “berani” meminta gaji yang lebih tinggi.


Sayangnya, alasan  tersebut bisa terjadi bukan hanya sekedar “tingkat pede perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki”, Changemakers. Tapi bisa aja terjadi, karena atasan kehilangan motivasi untuk menerima sang pelamar yang meminta kenaikan gaji, atau biasa disebut dengan ‘social cost’ of negotiation. Meski hal ini juga bisa merugikan laki-laki, namun di beberapa penelitian, terungkap bahwa social cost ini berdampak lebih signifikan bagi para pelamar perempuan.


Social cost pun bisa membuat perempuan enggan untuk melakukan negosiasi, Changemakers. Mereka akan merasa khawatir, bahkan sebelum melakukan negosiasi, kalau tindakan yang mereka lakukan, mampu berdampak negatif kepada mereka secara sosial.


Ketakutan akan dampak sosial yang menimpa perempuan di dunia kerja, dapat berdampak banyak hal-hal buruk yang enggak diinginkan. Menurut teman-teman dari We The Genesis, stigma ini akan mampu membatasi kualitas dan potensi dari perempuan di Indonesia, serta dapat berakibat pada hal-hal yang enggak diinginkan, seperti kesenjangan upah antargender, kekerasan berbasis gender, dan lain-lain.


Lalu, apa yang harus kita lakukan?


Untuk menciptakan dunia yang setara untuk semua, termasuk perempuan, kita perlu melakukan perubahan, termasuk perubahan dalam pemikiran diri sendiri. Dengan mengubah mindset, akan menjadi landasan yang bagus, Changemakers, untuk kita mampu ikut serta dalam melakukan tindakan demi emansipasi perempuan. Mengubah cara berpikir emang sulit, namun bukan berarti mustahil. Kemarin, Champ melakukan polling kecil-kecilan di Instagram yang menanyakan apakah kesetaraan bagi perempuan udah tercipta di organisasi/tempat kerjamu, dan 67 persen Changemakers menjawab kesetaraan udah tercipta, loh! Hmm, lalu gimana ya, cara mengubah mindset?


Menurut We The Genesis, kita perlu mengonsumsi informasi sebanyak-banyaknya tentang isu kesetaraan dari sumber-sumber yang kredibel, agar kita memiliki bekal untuk memiliki mindset dan tindakan yang tepat, sesuai dengan peran kita masing-masing. Contohnya, We The Genesis, selaku media untuk teman-teman generasi Z, berupaya untuk mengangkat artikel atau unggahan yang membahas topik emansipasi perempuan. Hal ini dilakukan untuk menyediakan informasi mendalam dan ruang diskusi bagi para pengikutnya sehingga pengetahuan tentang isu ini mampu tersebar secara luas ke masyarakat. Selain itu, We The Genesis juga membuka kesempatan kepada organisasi/komunitas lainnya yang juga peduli dengan isu emansipasi perempuan, sehingga bisa menjangkau audiens yang lebih luas!


Nah, begitu cara dari We The Genesis untuk mendobrak stigma terhadap perempuan, termasuk perempuan di dunia karir dan kepemimpinan. Yuk, tulis ide dan tindakan kamu untuk #BreakTheBias terhadap perempuan di kolom komentar!


Referensi:

https://www.heidiroizen.com/

https://www.investopedia.com/terms/s/siliconvalley.asp

https://www.leadershippsychologyinstitute.com/women-the-leadership-labyrinth-howard-vs-heidi/


Jurnal:

Small, D. A., Gelfand, M., Babcock, L., & Gettman, H. (2007). Who goes to the bargaining table? The influence of gender and framing on the initiation of negotiation. Journal of Personality and Social Psychology, 93(4), 600–613.

Bowles, H. R., Babcock, L., & Lai L. (2007). Social incentives for gender differences in the propensity to initiate negotiations: Sometimes it does hurt to ask. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 103(1), 84-103.
heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone