#ForABetterWorldID

Pernikahan Dini: Apakah Seindah Karya Fiksi?

profile

campaign

Update

Sebagai perempuan, ada banyak stigma di masyarakat yang sudah ditanamkan ke kita, bahkan sejak baru lahir. Tidak boleh ini, harus seperti itu, dan sebagainya. Salah satu ekspektasi yang menempel pada perempuan adalah harus menikah secepat mungkin, atau nggak nanti jadi ‘perawan tua’, dan nggak jadi perempuan seutuhnya. Pasti pernah dengar, kan?

Padahal, ada banyak hal lain yang bisa dicapai selain menikah. Terlepas dari itu, menikah sendiri perlu kesiapan yang sangat matang, lho. Nggak bisa cuma karena ingin cepat-cepat settle, apalagi memenuhi ekspektasi pribadi ke orang lain. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Padjadjaran  https://www.unpad.ac.id/2020/07/pernikahan-dini-di-indonesia-meningkat-di-masa-pandemi/ menemukan bahwa di tahun 2020 saat pandemi, angka pernikahan dini meningkat, karena Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga.

Dengan meningkatnya angka tersebut, salah satu pihak yang paling dirugikan adalah sosok perempuan dalam pernikahan tersebut dan pastinya anak yang nantinya akan lahir. 

Kok, malah dirugikan? Well, kita bahas di artikel ini, yuk!

Pernikahan Dini Itu Apa, sih?



image

Sumber: gadis.co.id

Sebelum membahas tentang pro dan kontranya, kita harus menyetujui tentang arti dari istilah pernikahan dini itu sendiri terlebih dahulu, ya. 

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia minimal. Di Indonesia sendiri, batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 19 tahun. Cukup muda, ya?

Meskipun begitu, orang tua yang ingin menikahkan anaknya, ketika belum mencapai usia 19 tahun masih bisa mengajukan dispensasi ke pengadilan agar bisa segera menikah. Duh!

Menurut UNICEF https://www.unicef.org/protection/child-marriage, secara global pernikahan anak lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki, dengan perbandingan 1:6. 

Ketika anak laki-laki di-encourage untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, mencari pekerjaan atau memulai bisnis yang menjanjikan, banyak anak perempuan yang terpaksa harus mendalami peran sebagai istri (atau bahkan ibu) terlalu dini. 

Penyebab pernikahan dini marak dilakukan dengan alasan mulai dari keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, tuntutan dari orang tua atau keluarga besar, sampai karena hamil di luar nikah dan nggak diberi opsi lain selain menikah. 

Memang, kenapa nggak disarankan untuk menikah dini? Apa saja risikonya? Baca di bagian setelah ini, ya!

Risiko Menikah Dini


Katanya, setelah menikah rezeki akan mengalir begitu saja. Hal yang paling penting adalah rasa cinta antara satu sama lain. 

Namun, apakah benar begitu?

Wellmemang benar, kalau kamu sudah benar-benar siap. Beda halnya dengan pernikahan dini yang memiliki banyak risiko, terutama untuk sosok perempuan. 

Soalnya, kita bicara tentang persatuan antara dua individu, bahkan kedua keluarga pun akan bersatu. Ada banyak tanggung jawab baru yang harus diemban, ketika sudah benar-benar siap, bukan sekadar ingin saja. Beda dengan karya fiksi, yang sedang dibahas di sini adalah reality!

1. Kehilangan masa-masa emas saat remaja


image

Sumber: gadis.co.id

Risiko pernikahan dini yang pertama adalah kehilangan masa remaja. Dalam kata lain, bisa-bisa kamu nggak mendapatkan pengalaman yang seharusnya didapatkan untuk menjadi bekal sebelum menikah.

Contoh paling mudahnya adalah begini. Ketika remaja menuju dewasa, ada banyak tahap yang harus dilewati. Eksplorasi diri, mempelajari tentang kehidupan, dan pastinya mendapatkan pendidikan selayak mungkin. 

Kalau di umur 18 tahun sudah dipaksa menikah, bukankah itu semua akan hilang atau mungkin nggak didapatkan secara utuh? Bayangkan saja, belum memiliki ilmu yang cukup seputar kehidupan seks, nggak punya financial literacy yang baik, tiba-tiba harus mengemban peran menjadi istri. 

Ketika sudah mendapatkan pendidikan yang layak dan cukup, opsi kamu pun pasti jadi lebih banyak. Misalkan, kamu tahu dirimu sendiri itu seperti apa, apa yang diinginkan dan tidak, melek seputar keuangan, tahu tentang do’s and don’ts di kehidupan seks, dan masih banyak lagi. 

Dengan begitu, kamu pun akan berada di dalam pernikahan yang bahagia, stabil, dan bisa mengurangi risiko terkena hal-hal buruk seperti depresi, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya. 

2. Menghambat perkembangan psikologis


Dikutip dari The Conversation https://theconversation.com/the-psychological-effects-of-early-marriage-what-i-learnt-from-some-ghanaian-girls-135069, riset menunjukkan kalau remaja perempuan yang menikah biasanya belum siap untuk menjadi seorang istri–apalagi ibu, baik itu secara kognitif, fisik, maupun psikologis. 

Kalau dipaksa untuk berhubungan seks saat sudah menikah, harus apa? Sudah tahu belum kalau ada yang namanya marital rape? Kalau tiba-tiba hamil, bagaimana? Pola asuh yang tepat itu seperti apa? 

Baru dua pertanyaan itu saja sudah cukup bikin kepala pening, kan? Soalnya, remaja di bawah usia 20 tahun itu memang belum waktunya untuk memikirkan itu semua. 

Masih banyak hal lain yang seharusnya lebih diprioritaskan, dua di antaranya adalah pendidikan dan juga pencarian jati diri.  

3. Terdapat beberapa risiko fisik yang mengkhawatirkan


image

Sumber: gadis.co.id

Dalam pernikahan dini, beberapa risiko fisik yang sangat mungkin membahayakan perempuan adalah mengalami kekerasan domestik dan seksual, karena ada relasi kuasa antara pihak suami (diasumsikan lebih tua) dan istri. 

Nggak cuma itu, hamil sebelum organ reproduksi benar-benar ‘matang’ bisa berbahaya untuk si ibu dan calon anaknya, loh. 

Dilansir dari WHO https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-pregnancy#, perempuan yang hamil di usia 10-19 tahun memiliki risiko mengalami eclampsia, puerperal endometritis, dan infeksi sistematis  dibandingkan perempuan usia 20-24 tahun. Ada juga risiko keguguran, bayi lahir prematur, dan anemia. 

4. Meningkatkan risiko stunting


Memang apa hubungannya stunting dengan pernikahan dini? 

Jadi, stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang dialami oleh anak, karena kekurangan gizi di 1000 hari pertama kehidupannya. 

Nah, hal ini juga berhubungan dengan usia kehamilan. Ketika hamil, calon ibu harus mengonsumsi gizi yang cukup demi tumbuh kembang kandungan. 

Kamu tahu nggak, kalau remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun? Kalau menikah dini dan langsung hamil, ada risiko kamu akan berebut gizi dengan bayi, lalu bayi berujung kekurangan gizi, lahir dengan berat yang rendah, dan lebih berisiko terkena stunting

Ketika menikah dini, informasi-informasi seperti inilah yang kemungkinan besar belum diterima. Hal tersebut pun nggak salah, karena memang di usia remaja masih banyak hal penting yang harus dipikirkan. Pendidikan, mimpi-mimpi, dan mungkin sedang seru-serunya menjalani fase ‘cinta monyet’. Hi hi hi.. 

5. Rentan terhadap perceraian



image

Sumber: gadis.co.id

Risiko lain dari pernikahan dini adalah hubungan tersebut lebih rentan terhadap perceraian. Tentu saja ini nggak bisa dipukul rata, karena alasan orang menikah pun berbeda-beda. 

Ada yang menikah dengan high school sweetheart-nya dan yakin bahwa bisa bahagia selamanya, ada yang meskipun masih muda pola pikirnya sudah lebih dewasa dan membekali diri, sudah mapan secara ekonomi, dan sebagainya. Namun, kasus ini nggak begitu umum terjadi


Karena membicarakan realita, biasanya di tengah-tengah perjalanan akan sadar kalau pernikahan yang sedang dijalani nggak seindah yang ada di bayangan. 

Ketika otak sudah berkembang secara lebih utuh dan memiliki banyak pengetahuan yang memadai, pasti tahu kalau pernikahan nggak selalu tentang cinta dan rasa bahagia saja. Permasalahan dan argumen memang sudah pasti ada, tapi harus dilewati bersama. 

Fun fact lainnya, kondisi ekonomi dan psikologis yang belum sepenuhnya stabil biasanya jadi penyebab utama perceraian, lho. Tentu saja, ada perselingkuhan yang terkadang nggak bisa dihindari.

Namun, orang yang sudah pernah memiliki kehidupan sendiri sebelum menikah dan tahu apa yang ia mau mayoritas nggak akan selingkuh. Soalnya, mereka sudah merasa puas dengan kehidupan sebelumnya dan benar-benar memilih untuk hidup selamanya dengan orang pilihannya. 

Dalam pernikahan dini, sudah pasti belum begitu banyak pengalaman yang dimiliki. Apalagi kalau dua-duanya masih muda, risiko untuk selingkuh akan meningkat, karena ada keinginan untuk eksplorasi sana-sini. 

Lalu, bisa saja tiba-tiba tersadar bahwa pernikahan bukanlah hal yang diinginkan kamu atau pasangan, kondisi ini akan sangat mengganggu psikologis dan juga hubunganmu dengan pasangan. 

Kalau sudah begitu, beberapa opsi yang dimiliki adalah bercerai, bertemu orang lain dan berujung selingkuh, atau bertahan tapi sama-sama nggak bahagia. Jangan sampai, deh!

Seperti yang disebutkan di awal, ada beberapa faktor penyebab pernikahan dini. Mulai dari kondisi ekonomi, nggak punya akses ke pendidikan yang memadai, hamil di luar nikah, sampai stigma kalau pernikahan adalah ‘endgame’ yang harus dicapai secepat mungkin 

Sebagai perempuan dengan banyak mimpi dan ambisi yang ingin dicapai, serta waktu yang masih panjang, coba untuk fokus ke dirimu sendiri. Cari tahu siapa dirimu sebenarnya, dari situ pun akan muncul apa yang diinginkan dan nggak.

Kalaupun berujung ternyata yang diinginkan adalah menikah di umur tertentu, nggak masalah. Setidaknya kamu paham kalau butuh kesiapan dari segi fisik, psikologis, dan pastinya finansial–nggak cuma dari pihak laki-laki, tapi dari perempuan juga. 

Dengan begitu, niscaya pernikahan pun akan lebih matang dan menjalaninya pun nggak seberat, ketika masih harus fokus menjadi remaja seutuhnya.


heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone