Orang tua ketika menjadi menjadi orang tua: Belajar Parenting.
Anak ketika lahir sebagai anak: Anak Belajar Menerima?
Penulis: Ariel Ben Gery Sakatih
Pernah dengar kasus orang tua yang melakukan kekerasan pada anak? Pasti pernah ya, contohnya seperti bulan lalu sempat viral video anak yang dirantai dan kelaparan. Selain memprihatinkan, kejadian seperti ini menjadi perhatian khusus untuk kita semua, baik untuk orang tua juga anak. Mungkin anak ini hanya 1 dari banyaknya kasus kekerasan orang tua pada anak masih dibawah umur. Sebagian kasus mungkin sudah ditangani oleh yang pihak berwajib dan para korban pun mendapat bantuan psikologis dari profesional. Tapi tau gak, kasus yang mencuat dan mendapat perhatian ini hampir semua sifatnya berupa kekerasan fisik, loh!
Sumber: Tribun.com
Sejauh ini edukasi tentang pola asuh di Indonesia mulai berkembang dengan baik. Banyak profesional yang akhirnya buka suara untuk meluruskan segala pemahaman yang salah terkait membesarkan anak. Pengertian yang salah tentang konsep hukuman harus dengan kekerasan dibawa turun-temurun oleh nenek moyang hingga orang tua saat ini. Jadi, gak heran jika menghukum dengan kekerasan sering disebut dengan istilah pola asuh zaman kolonial alias sudah ketinggalan zaman bertahun-tahun lamanya. Lebih dari itu, apa iya kekerasan dalam pola asuh hanya bersifat fisik?
Sumber: The Asian Parent
Bicara tentang pola asuh yang salah, masih banyak orang tua yang belum sadar kalau kekerasan itu bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga berupa verbal alias lewat kata-kata. Penggunaan kalimat yang merendahkan, mempermalukan, atau membanding-bandingkan masih dianggap hal yang wajar. Apalagi kalau sudah ketemu dengan tetangga yang anaknya nampak lebih sukses dan rajin menyapu dibanding anaknya di rumah. Gak heran ketika bertumbuh dewasa, si anak akan punya berbagai masalah seperti rendah diri dan sulit nolak permintaan orang lain. Kata-kata memang tidak dapat membuatnya berdarah, tapi apakah genangan air mata dalam hatinya tidak berarti apa-apa?
Sumber: The Asian Parent
Sebagai orang tua mungkin banyak pilihan yang bisa diambil, tetapi sebagai anak hanya menerima dan memaafkan lah satu-satunya pilihan. Oleh karena itu, anak yang menjadi korban kekerasan verbal sangat perlu dukungan psikologis. Menerima dan memaafkan bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Mulai dari memahami situasi dan menumbuhkan cinta terhadap diri sendiri, harapannya luka di memori pelan-pelan akan sembuh dan terobati. Bahkan pada tahap yang sudah tidak tertahankan lagi, sangat layak untuk mendapat bantuan profesional.
Temen toxic? Tinggalin. Pacar toxic? Putusin. Orang tua toxic? Sabar-sabarin.
Kalau kamu merupakan salah satu korban dari minimnya edukasi tentang pola asuh yang baik dari orang tuamu, sudah saatnya kita putusin rantai ini. Pahami bahwa kamu gak bisa mengubah orang tuamu, tapi tentu kamu bisa banget mengubah dirimu sendiri. Apa yang kamu alami cukuplah berhenti pada dirimu. Sadari, obati, dan syukuri karena kamu adalah harapan anak-anakmu nanti, bukan orang lain. Mengutip kalimat dari senior saya yang merupakan seorang psikolog:
“Kalau kamu tidak lahir dari keluarga yang bahagia, pastikan keluarga yang bahagia lahir darimu”
Kelola diri sebaik mungkin dari sekarang agar generasi-generasi berikutnya bisa merasakan apa yang disebut keluarga adalah rumah. Kamu hebat, kamu kuat, karena kamu mampu mengubah racun menjadi madu untuk dinikmati baik untuk dirimu sendiri, maupun orang-orang terdekatmu.
“Jangan benci orang tuamu, karena mereka hanya tidak tahu apa yang mereka perbuat”