Hai, Changemakers!
Kemarin-kemarin Champ sempat galau. Bukan galau gara-gara diputus sama pacar, hehehe. Tapi, galau soalnya mikirin anak muda dan pemilu.
Jadi gini kan, anak muda akan menjadi pemilih mayoritas di pemilu 2024. Di sisi lain, anak muda masih apatis dan rendah literasi politik. Jadinya, Champ khawatir kalau anak muda akan menyepelekan sama peranan pentingnya anak muda di pemilu 2024.
Untungnya, seiring berjalannya waktu, kegelisahan Champ menjadi sirnah semenjak melihat webinar keren dan positif dengan topik “Bangun Negeri Dengan #SuarakanCintamu, Emang Bisa?” yang diselenggarakan oleh Campaign. Kamu kemarin ikutan nggak?
Memotret Kerennya Isi Webinar
Kenapa Champ ngomong gitu? Soalnya, isi pemaparan dari pematerinya daging semua.
Di awal webinar, Kak Arin, sapaan dari Andarini, berargumen jika penilaian banyak orang tentang anak muda yang bersikap apatis merupakan penilaian keliru.
Justru sebaliknya. Anak muda lebih memiliki kepekaan pada persoalan sosial. Sayangnya, kepekaan yang dimiliki oleh anak muda belum tersalurkan pada politik. Ini terjadi akibat stigma bahwa politik menjadi barang mewah. Alhasil, bersifat eksklusif yang akhirnya menjadikan anak muda enggan aktif di politik
Nggak kalah kerennya dengan pemaparan Kak Gian, sapaan dari Margianta. Bagi Kak Gian, agar bisa menghasilkan praktik politik positif, dasarnya adalah rasa ingin tahu.
Melalui rasa ingin tahu, para pemilih, utamanya anak muda bisa selektif saat mencoblos di pemilu nantinya. Sebab, pada pemilu, nggak sekadar memilih presiden, melainkan juga memilih DPR, DPRD, DPD, dan lain-lain.
Kalau nggak mempunyai rasa ingin tahu yang besar, akan berpotensi memilih asal-asalan saja.
Di sisi lain, Kak Gian juga mengajak anak muda agar bisa menjaga toleransi. Jangan hanya karena politik, kita terpecah belah. Pemilu itu penting, tapi lebih baik lagi bisa hidup berdampingan, pesan dari Kak Gian.
Isu Krusial pada Diskusi
Di sesi tanya jawab webinar, juga memunculkan diskusi tentang berbagai isu yang krusial.
Pertama, masalah golput. Golput menjadi tindakan yang disayangkan oleh Kak Arin. Karena pilihan anak muda, sebenarnya bisa menentukan kebijakan pemerintah ke depannya.
Masukan dari Kak Gian, agar bisa merangkul pemilih yang golput, harus menggunakan rasa empati. Tujuannya agar nggak menghakimi. Kemudian, bisa memberi ruang pada mereka (pemilih golput) untuk bercerita.
Sumber gambar: Pinterest
Kedua, serangan fajar. Serangan fajar menjadi tindakan yang mencoreng marwah demokrasi. Sehingga, Kak Arin menginginkan agar memperkuat pendidikan politik dari dasar. Dan harus fokus pada kebijakan yang dibuat oleh para paslon, bukan isi amplopnya.
Ketiga, tantangan pemilih pemuda/pemudi minoritas.
Kak Arin memang mengakui kalau kelompok minoritas memiliki akses informasi politik yang terbatas. Sehingga, berdampak buruk pada representasi suara.
Sebenarnya, banyak jalan keluar untuk masalah isu minoritas. Kak Gian menyarankan, kalau masyarakat bisa langsung curhat pada timses secara langsung tentang persoalan kelompok minoritas. Mengingat, saat ini banyak timses yang turun ke masyarakat.
Beda halnya dengan solusi dari Kak Arin. Kak Arin lebih memfokuskan pada keaktifan komunitas dan memanfaatkan media sosial untuk membantu persoalan kelompok minoritas di pemilu. “Aktifnya teman-teman di komunitas dan aktifnya di media sosial bisa berpartisipasi bermakna dalam kebijakan publik dan ranah politik,” tuturnya.
Madu dan Racun Media Sosial
Ngomongin peran media sosial, seperti yang kita ketahui, saat ini media sosial menjadi alat politik di era digital. Media sosial menurut Kak Arin bisa menjadi solusi untuk mengurangi kasus korupsi. Sebab, anak muda bisa menyuarakan keluh kesahnya melalui media sosial. Terlebih lagi, politisi saat ini banyak yang mengikuti pop culture.
Sayangnya, seperti artikel yang Champ tulis sebelumnya dengan judul Anak Muda dalam Pusaran Apatis Politik (https://campaign.com/updates/15958/Anak-Muda-Dalam-Pusaran-Apatis-Politik), media sosial juga bisa menghasilkan politik nggak sehat.
Dan ternyata apa yang Champ resahkan, juga menjadi keresahan peserta webinar, yakni Kak Nurfitri. Dia menilai kalau banyak media, sekadar mengarah pada satu paslon saja.
Sumber gambar: Pinterest
Hmmm… memang problematik, ya. Media memang bisa menjadi sumber informasi pemilu, tapi kadang informasinya nggak berimbang. Tapi, tenang saja. Kak Gian lagi-lagi ngasih solusi yang cerdas, nih. Menurutnya, harus perbanyak melakukan diskusi agar bisa mengolah informasi secara baik.
Dari hasil webinar, Champ merangkum tiga poin agar anak muda bisa bersuara, beraksi, dan berkontribusi di pemilu secara baik. Yakni:
1. Menggunakan kepekaan yang dimiliki anak muda untuk menyuarakan berbagai persoalan di masyarakat;
2. bersikap terbuka, selektif, dan toleran;
3. jangan mudah terpengaruh pada politik yang negatif.
Yuk, anak muda aktif dalam pemilu secara positif. Kontribusi kalian bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi. Kalau bukan sekarang, terus kapan?
Untuk menciptakan pemilu yang baik, kalian juga bisa ikutan Challenge Mewujudkan Pemilu Bersih dengan Tolak Politik Uang yang digagas oleh alifdharmaindonesia.
Challenge bertujuan membangun kesadaran untuk menolak politik uang. Setiap Challenge yang selesai, akan membuka donasi sebesar Rp25 ribu yang disponsori oleh Yayasan Dunia Lebih Baik. Donasi dialokasikan untuk seminar tentang pemilu bersih dengan menolak politik uang.