Teman SRASA, apakah timeline media sosialmu pernah memamerkan orang yang bersenandung dengan bahasa isyarat? Iya ituu, konten yang memutar video orang memperagakan bahasa isyarat dari tulisan lirik dan lagu yang dijadikan musik latar. Gimana sih perasaan kalian waktu melihat konten-konten seperti itu, apakah senang, haru, atau apa nih?

Semangat yang Lurus
Kalau teman-teman SRASA ngerasa trenyuh karena ada yang berani untuk mengangkat isu-isu disabilitas supaya suara mereka terdengar ke penjuru dunia, itu artinya teman-teman sudah mempunyai semangat yang lurus nih untuk mewujudkan kemanusiaan yang inklusif dan setara! Hal ini tentunya penting banget untuk selalu kita angkat karena dunia yang sudah rumit ini bisa sekejap mata menelan isu-isu yang kelihatan kecil di bawah isu-isu raksasa yang tak kalah penting seperti isu politik, sosioekonomi, dan temen-temennya.
Tapii tahukah teman-teman kalau tidak semua upaya untuk meningkatkan kesadaran dan literasi terhadap isu disabilitas dapat diterima secara etik?

Isu Etika
Supaya bisa memahami ini, pertama-tama kita samakan pandangan dulu yukk! Ada dua pendekatan yang kerap digunakan untuk memahami kondisi tuli yaitu tuli sebagai kondisi medis dan sebagai keragaman individu (Benedict & Sass-Lehrer, 2007).
Umumnya, teman-teman yang menyikapi tuli sebagai sebuah kondisi medis akan fokus kepada isu-isu yang berkaitan dengan perawatan yang dianggap bisa meningkatkan kualitas hidup teman tuli dengan peralatan atau perawatan medis seperti penyediaan alat bantu dengar hingga implan koklea (pemasangan alat di dalam telinga untuk memfasilitasi teman tuli untuk mendengar).
Perbedaan utama dari pendekatan ini adalah sikap yang diambil terhadap teman-teman tuli dimana mereka dianggap sebagai sebuah komunitas yang memiliki budaya dan identitas sendiri sebagai tuli. Nah, teman-teman yang menggunakan pendekatan ini umumnya akan mengangkat isu-isu inklusivitas, penyetaraan akses, serta pengembangan dan perkenalan bahasa isyarat.

Titik Temu
Terus, hubungannya dimana nih dengan konten-konten yang beredar di media sosial? Gini nih, kita kan sudah sepakat untuk memahami tuli sebagai identitas diri yang merupakan bagian dari keragaman individu, artinya mereka juga mempunyai kepemilikan atas budaya mereka, termasuk juga sistem tata bahasa yang tertuang dalam bahasa isyarat.
Hal ini menjadi aspek yang sangat vital jika orang dari komunitas dengar ingin membuat konten yang menyertakan bahasa isyarat didalamnya. Sebagai individu yang berasal dari komunitas dengar, masalah etika yang muncul adalah sejauh mana dan jenis konten berbahasa isyarat apa yang pantas untuk dibuat.
Young dkk. (2019) menggambarkan dengan lebih jelas dalam penelitiannya terkait masalah yang timbul akibat adanya interpreter atau penerjemah yang menjembatani tuli dengan orang dengar dimana terdapat dua isu utama yang perlu dipertimbangkan yaitu (1) berkurang atau bahkan hilangnya kuasa tuli untuk mengekspresikan dirinya sesuai kenyataan kepribadiannya dan (2) orang dengar yang menangkap informasi tuli lewat orang-ketiga yang mempunyai kuasa yang lebih besar dari sekedar menerjemahkan bahasa isyarat ke bahasa lisan seperti pilihan nada, diksi, intonasi, dan mimik wajah saat mengucapkan pesan dari tuli.
Oleh karena kedua isu di atas, orang dengar yang membuat konten dengan menggunakan bahasa isyarat harus menyadari bahwa perannya serupa dengan orang-ketiga yang merepresentasikan komunitas tuli dengan penggunaan bahasa mereka kepada audiens umum yang belum tentu memiliki pemahaman yang sudah selaras dengan identitas teman-teman tuli.
Walaupun agak nyebelin, tapi jawaban paling betul saat kita ingin membuat konten yang berkaitan dengan budaya komunitas tuli tetaplah untuk memahami dan memastikan bahwa konteks konten yang kita buat masih ada dalam koridor yang pantas untuk kita lakukan.
