#ForABetterWorldID

Bahasa Itu Nggak Netral! Apa Ucapan Para Paslon di Debat Sudah Setara dan Humanis?

profile

campaign

Update

​Hai, Changemakers!

Apakah kamu sadar kalau bahasa itu bukan hanya serangkaian huruf dan kata? Kalau kata Bourdieu, sosiolog Prancis, bahasa itu nggak pernah netral, loh.

Tau nggak, kenapa bahasa nggak pernah netral? Karena di balik bahasa ada identitas sosial di dalamnya. Champ kasih contoh bagaimana bahasa itu nggak netral. “Ayah bekerja, ibu menyapu.” Kalimat itu biasa kita dengarkan waktu kecil. Sebenarnya, kalimat itu nggak netral karena berkaitan dengan identitas gender, bahwa seolah-olah laki-laki normalnya bekerja. Dan ibu mengurus rumah.

Nah, di Indonesia, Champ masih sering menemukan seseorang yang masih bilang wanita daripada perempuan. Atau mengatakan cacat daripada disabilitas. Padahal, “wanita” dan “perempuan” atau “cacat” dan “disabilitas” punya makna yang berbeda dari perspektif kesetaraan dan nilai humanis.

Changemakers tau nggak, mengapa kata-kata itu punya pemaknaan yang berbeda kalau ditinjau dari perspektif kesetaraan dan nilai humanis? Champ bakal jelasin di bawah, tapi Champ mau cerita dulu perasaan waktu lihat debat terakhir capres-cawapres.

Pas kemarin lihat debat capres-cawapres terakhir, Champ merasa sumringah. Soalnya, para paslon sudah mengucapkan kata yang tepat. Baik Anis, Prabowo, dan Ganjar sudah menggunakan kata perempuan dan disabilitas, bukan wanita dan cacat.

Kendati ada rasa senang karena para paslon sudah memiliki kesadaran kesetaraan dan humanis sejak dalam pikiran, tapi Champ merasa sedih waktu ada paslon yang berharap agar penyandang disabilitas bisa bekerja mendekati orang normal.

Sontak saja perkataannya dicibir oleh netizen. Netizen menilai kalau perkataannya nggak inklusi karena seakan-akan disabilitas adalah orang yang nggak normal.

Hal senada juga terlihat dari postingan Instagram Kalis Mardiasih. Kalis dalam unggahannya mengapresiasi pada pemimpin yang sudah mengucapkan: perempuan, kelompok disabilitas, kelompok rentan, dan kelompok miskin. Dan meminta banyak belajar pada pemimpin yang masih meminta disabilitas untuk bekerja mendekati orang normal.


image

Sumber gambar: Kompas.com

Kenapa “Perempuan”, Bukan “Wanita”?

Oh, ya. Mungkin dari Changemakers masih bingung, mengapa dalam perspektif kesetaraan harus menggunakan “perempuan”, bukan “wanita”? Karena ini berkaitan dengan etimologi atau asal kata.

Champ bakal jelasin perbedaan etimologi “perempuan” dan “wanita”. Secara etimologi, wanita berasal dari Sansekerta, yakni vanita yang berarti “yang diinginkan”. Kemudian diserap ke bahasa Jawa menjadi wanita. Dari asal kata itu, wanita berorientasi sebagai objek yang didominasi.

Beda halnya dengan perempuan. Kata “perempuan” berasal dari kata empu yang berarti tuan/mahir/berkuasa. Sehingga, perempuan bermakna sebagai makhluk yang berdaya. Makanya, Kongres Perempuan pertama, bukan memakai kata wanita, melainkan perempuan.

Dari segi politik, kata wanita juga dipolitisasi pada masa Orde Baru sebagai makhluk inferior. Salah satu contohnya bisa dilihat dari organisasi Dharma Wanita. Posisi wanita di dalamnya diartikan sebagai makhluk yang melayani suaminya.

Maka, dari sana, kata “perempuan” dianggap lebih egaliter dan berdaya dibandingkan wanita.






image

Jangan Panggil Cacat!

Terus kenapa kok pakai disabilitas bukan cacat, Champ?

Kalau dari buku Sosiologi Disabilitas karya Ari Wahyudi, istilah cacat dianggap nggak manusiawi. Soalnya, istilah cacat merujuk pada pengertian ketidaksempurnaan dan ketidakmampuan.

Bahkan, dalam UU No. 4 Tahun 1997 (sudah nggak berlaku) mendefinisikan penyandang cacat sebagai hal yang mengganggu atau rintangan. Artinya, orientasi kata “cacat” berkonotasi kurang manusiawi. Para kelompok disabilitas mengkritik pemakaian “cacat” karena dianggap mendiskriminasi.

Kemudian, kata “cacat” yang dinilai kurang manusiawi diubah menjadi disabilitas. Disabilitas berasal dari bahasa Inggris: disability yang mendeskripsikan adanya keterbatasan secara fisik. Konsep disabilitas ingin menggambarkan bahwa kelompok disabilitas bukan orang yang cacat atau nggak punya kemampuan, mereka hanya berbeda saja secara identitas. 

Sebenarnya, ada juga yang menggunakan kata “difabel”. Difabel berasal dari differently abled. Secara sosiologis, difabel bermakna sebagai perbedaan yang nggak bersifat vertikal, tapi horizontal. Atau diferensiasi sosial. Perbedaan yang horizontal mengartikan kelas sosial yang nggak timpang. Hanya saja, penggunaan disabilitas lebih sering digunakan karena sesuai dengan UU No.19 Tahun 2011. 


image

Sumber gambar: Pinterest

Gimana Changemakers, dari sini udah mulai paham, kan. Semoga kalian bisa lebih menghargai bahasa. Karena bahasa yang kalian ucapkan adalah cerminan dari pikiran yang setara dan humanis. Untuk makin membangun pikiran yang setara dan humanis, kalian juga bisa selesaikan Challenge Sekolah Literasi Digital Gratis, Untuk Teman Disabilitas Di Perbatasan (Natunaloka Academy) dari Natunaloka. 

Setiap penyelesaian Challenge akan membuka donasi Rp20 ribu yang disponsori oleh Yayasan Dunia Lebih Baik. Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk kegiatan pelatihan literasi digital. Ssskkuuyyyy, selesaikan Challenge dari Natunaloka!


Referensi:

https://historia.id/politik/articles/dari-cacat-sampai-disabilitas-P4qej/page/3

https://magdalene.co/story/antara-wanita-dan-perempuan-apa-bedanya/

https://nasional.kompas.com/read/2024/02/05/10341841/anies-paling-sering-sebut-bansos-dan-perempuan-dalam-debat-capres-terakhir

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240205095600-617-1058642/prabowo-dikritik-sebut-mendekati-orang-normal-terkait-disabilitas

Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta:Jalasutra

Wahyudi, Ari.2018. Sosiologi Disabilitas. Surabaya:Unesa University Press



heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone