Hai, Changamakers!
Pernah dengar kalimat: sedetik tak bertemu denganmu, rasanya rindu? Pasti pernah, dong. Kalimat yang biasa disampaikan ke ayang tercinta pas lagi masa-masa kasmaran.
Eh tapi gimana kalau misalnya kalimat tersebut kini nggak hanya ditujukan ke ayang tercinta, melainkan juga ditujukan pada media sosial? Emang bisa?
Rasa-rasanya bukan berlebihan. Dengan kenyamanan yang ditawarkan, media sosial udah menjadi separuh dari hidup kita. Coba lihat deh, apakah masih ada orang yang nggak main media sosial dalam satu hari? Kok sepertinya sulit buat menemukannya, ya.😁
Kedekatan manusia dengan media sosial seperti persimpangan jalan. Di satu sisi media sosial bisa memangkas ruang dan waktu. Interaksi dengan orang lain, tak lagi sulit. Happy? Tunggu dulu jangan terlalu senang. Yang harus diketahui, media sosial bukan hanya memangkas ruang dan waktu, melainkan juga ikut memangkas sikap toleransi.
Kalau kalian nggak percaya, coba lihat momen ngumpul bersama keluarga atau teman. Kini mulai ada kehangatan yang mulai hilang. Kehangatan yang hilang akibat jari-jemari lebih nyaman untuk mengotak-atik tontonan di media sosial.
Mengerikannya Media Sosial Terhadap Kepekaan Sosial
Sekilas terlihat biasa saja.
Cuman kalau dibiarkan secara terus-menerus, kenyamanan jari untuk mengotak-atik media sosial bisa menciptakan penyakit yang namanya apatis.
Sumber gambar: Meuseuraya.id
Champ nggak menakut-nakuti, loh. Riset Pratama dan Pramadi memperlihatkan kalau semakin tinggi memainkan media sosial akan beresiko menjadi apatis.
Ini terjadi karena media sosial berpotensi menurunkan kepekaan sosial.
Menurunnya kepekaan sosial akibat media sosial memang nggak terjadi dalam sekejap. Tapi ada proses pembiasaan di dalamnya. Biar gampang, Champ kasih contoh. Ibaratnya begini, kita suka makan nasi karena adanya pembiasaan sejak kecil. Sama kayak media sosial. Awalnya asik scroll media sosial, kemudian acuh dengan kehadiran orang lain, dan akhirnya menjadi nir empati pada orang lain.
Jika rasa empati mengalami kehampaan, bisa memunculkan benih-benih kebencian.
Media Sosial yang Tak Lagi Ramah
Dan kini sudah mulai terjadi.
Seperti apa yang disampaikan oleh Zei. Zei bercerita jika di media sosial terjadi penyingkiran pengalaman yang disampaikan oleh kelompok minoritas atau terpinggirkan.
Seolah-olah pengalaman yang mereka ceritakan hanya sebuah khayalan belaka. Atau istilah bekennya, paranoid.
Media Sosial Ladang Diskriminasi?
“Toleransi secara sederhana diartikan sebagai sikap menerima dan hidup bersama dengan ‘Yang Lain’. Kalau suara subordinat nggak didengar, jelas nggak menggambarkan sikap toleransi,” tegas Zei.
Sumber gambar: tangkapan layar X
Apa yang disampaikan oleh Zei, nggak jauh beda dengan cerita Anisa. Menurut Anisa, di media sosial sering terjadi sikap netizen yang justru menyalahkan cerita dari korban.
Emang sering kejadian. Yang jadi korban, malah dicemooh oleh netizen.
Dengar cerita Anisa, Champ langsung teringat dengan kejadian mantan istri kiper andalan sepak bola Indonesia, KM. Saat itu, mantan istrinya bercerita tentang pengalaman KDRTnya saat berkeluarga dengan KM. Yang mengejutkan, justru netizen menyudutkan mantan istri KM. Padahal, secara etis, seharusnya korban mendapatkan dukungan, bukan hinaan.
Sumber gambar: Tangkapan layar TikTok
Yang paling mengerikan lagi, ketika media sosial mengotak-ngotakkan agama. Seperti yang diceritakan oleh Somad (bukan nama sebenarnya). Somad memberikan contoh tentang adanya tokoh agama yang mengotak-ngotakkan antara Syiah dan Sunni.
“Efeknya, bikin gaduh akhirnya. Terjadi banyak perdebatan-perdebatan intoleran di kolom komentar,” jelas Somad.
Sumber gambar: tangkapan layar TikTok
Dari apa yang diceritakan oleh Zei, Anisa, dan Somad, kita bisa melihat bahwa media sosial bukan hanya menurunkan kepekaan sosial, melainkan juga menurunkan kebijaksanaan.
Sebenarnya, media sosial kalau digunakan secara bijaksana, justru menjadi ruang edukasi yang bisa menghadirkan toleransi.
Contohnya kayak apa yang diceritakan oleh Somad. Somad memperlihatkan pada Champ sebuah akun yang mengkritik buku-buku yang meromantisasi perselingkuhan dan pernikahan dini.
Kontennya bisa memberikan edukasi bahwa seorang penulis juga harus memberikan nilai kebermanfaatan pada pembacanya, bukan sebatas mementingkan ego dirinya semata.
Yuk Bergerak untuk Menghidupkan Toleransi!
Intinya, di tengah tergerusnya toleransi di zaman yang serba canggih, harus ada aksi agar toleransi menjadi nilai penting dalam kehidupan. Dan kita harus memulainya dari sekarang.
Kabar baiknya, Champ membawa berita yang kece, nih. Komunitas atau organisasi sosialmu mau bergerak untuk isu toleransi dan perdamaian, kamu bisa ikutan Open Call #Friendship4Peace. Nantinya akan mendapatkan pendanaan dengan total Rp120 juta untuk 20 organisasi terpilih.
Tunggu apalagi, yuk segera daftarkan untuk membawa kebaikan pada dunia. Buat yang tertarik ikutan, langsung klik link berikut: https://bit.ly/daftar-BDW-2024. Champ tunggu, ya!
Referensi:
Pratama, B.A, Parmadi.A. 2019. “Hubungan Intensitas Penggunaan Media Sosial Dengan Kecenderungan Sikap Apatis Terhadap Lingkungan Sekitar Pada Siswa SMP N 1 Sukoharjo, Kec/Kab Sukoharjo, Jawa Tengah The Relationship of the Intensity of the Use of Social Media with the Trend of Apathetic Attitudes Towards the Surrounding Environment in Students of SMP N 1 Sukoharjo, Kec / Kab Sukoharjo, Central Java”. Indonesian Journal On Medical Science. 6(1), 51-56.