Selamat Hari Pendidikan Nasional, Changemakers!
Tepat pada 2 Mei, Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan bangsa Indonesia lahir. Ki Hajar Dewantara memiliki spirit untuk membawa masyarakat menjadi lebih baik melalui pendidikan. Baginya, pendidikan punya andil besar bagi terciptanya tatanan masyarakat yang baik.
Tapi, apa yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara, tak berjalan manis. Pendidikan kita saat ini, ibarat jalan yang penuh lubang dan gelombang, alias carut-marut.
Spesial menyambut Hari Pendidikan Nasional, Champ akan membongkar prihara pendidikan yang terjadi sekarang. Biar bisa menjadi renungan bersama.
1. PPPK yang Mencekik Guru Honorer
Secara sistem, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memiliki tujuan yang baik. Kehadirannya bertujuan untuk menekan guru honorer. Artinya, kehadiran PPPK berguna untuk meningkatkan kesejahteraan. Tapi, pada praktiknya nggak semulus itu.
Somad, guru Sosiologi honorer bercerita ke Champ, bahwa kehadiran PPPK berpotensi membuka pengangguran. Karena guru honorer, terutama yang masih baru, bisa saja mengalami pendapatan yang minim, hingga “dibuang”.
Kenapa begitu? Soalnya, guru PPPK harus mengajar minimal 24 jam. Artinya, guru honorer harus merelakan jam mengajarnya diambil oleh guru PPPK. Sedangkan, gaji guru honorer dihitung dari jam mengajarnya. Jika jam mengajarnya diambil oleh guru PPPK, artinya jam mengajarnya semakin sedikit. Semakin sedikit jam mengajar, semakin berkurang gajinya. Untung-untung masih ada sisa jam mengajar, kalau hilang total, artinya harus rela terbuang, alias berhenti.
Dan nggak semua guru honorer bisa langsung diangkat jadi PPPK. Ada proses panjang di dalamnya. Yakni, harus masuk data pokok pendidikan (Dapodik). Untuk masuk Dapodik butuh waktu lama.
Sebenarnya, pemerintah udah membuat kebijakan agar sekolah nggak merekrut guru honorer lagi. Tapi, kata Somad, itu sulit. Karena sekolah masih sering kekurangan tenaga pendidik. Mau nggak mau, sekolah harus mengambil guru honorer baru.
2. Setumpuk Beban Murid di Kurikulum Merdeka
Sumber gambar: Rencanamu.id
Kalau dibebani rindu pada kekasih, masih ada manis-manisnya. Tapi, gimana kalau dibebani oleh setumpuk tuntutan pendidikan? Puyeng, dong.
Begitu yang dirasakan oleh murid SMA yang Champ temui. Di tengah sistem kurikulum merdeka, justru murid merasa nggak merdeka, utamanya yang kelas 10.
Beberapa murid bercerita ke Champ bahwa dengan dihapusnya perbedaan IPA dan IPS, justru menjadi petaka karena harus belajar belasan mata pelajaran. Sehingga, mereka merasa berat dengan banyaknya tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Belum lagi beban ulangan. Bisa dibayangkan sendiri betapa pusingnya murid belajar banyak materi, mengerjakan bejibun tugas, dan dihantui ulangan.
Jadi, pendidikan yang harusnya menyenangkan, justru nggak terjadi. Yang terjadi malah ambyar.
3. UKT yang Mencekik
Sumber gambar: geotimes
Sering kali masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi menjadi isu viral di media sosial. Berbagai kampus berlomba-lomba untuk menaikkan UKT. Kalau Champ amati, perlombaan ini terjadi ketika masifnya peralihan status kampus menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
Mahalnya kampus PTN-BH terjadi karena campur tangan biaya dari pemerintah berkurang. Ini membuat kampus harus bisa mendapatkan modal untuk menjalankan operasional pendidikan.
Tingginya UKT akan menjadi persoalan besar. Karena nggak semua ekonomi masyarakat Indonesia berasal dari golongan kelas atas. Jika ada yang nggak mampu membayar UKT, maka berpotensi untuk membatalkan kuliah. Dengan begitu, akan semakin memperlebar kesenjangan pendidikan.
4. Minat Berkuliah Menurun
Sumber gambar: Baca Jogja
Semalam, Champ kumpul sama pengajar di Sumenep. Mereka bercerita bahwa terjadi fenomena menurunnya anak muda untuk berkuliah. Setelah lulus SMA, lebih condong untuk bekerja. Utamanya bekerja sebagai penjaga toko kelontong di daerah Jakarta.
“Kenapa mereka lebih memilih bekerja?” tanya Champ. Sepengetahuan mereka, anak-anak lebih memilih bekerja setelah lulus SMA karena kuliah dianggap membuang waktu dan uang. Sedangkan kalau bekerja, bisa mendatangkan uang.
Sebenarnya, fenomena anak muda enggan melanjutkan ke jenjang kuliah, bukan hanya terjadi di Sumenep. Studi dari Lestari, dan kawan-kawan, di Desa Sepadu, Kabupaten Sambas, juga menunjukkan jika remajanya rendah untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Ada banyak faktor, salah satunya lebih memilih untuk bekerja.
Anak SMA yang memilih untuk bekerja dibandingkan kuliah, tak selamanya salah.
Pertama, sekolah mengajarkan yang terbaik berdasarkan nilai. Misalnya, Jono dapat nilai 90 dan Joni dapat nilai 75, maka yang dinilai pintar adalah Jono. Nah, sistem pendidikan semacam ini yang akhirnya membangun mindset bahwa nilai kesuksesan sekadar diukur dari kuantitatif. Lambat laun akan terbangun pola pikir bahwa siapa duluan yang bisa mengumpulkan banyak uang, maka ia dianggap sukses.
Kedua, lapangan pekerjaan di Indonesia tak sebanding dengan tingginya pencari kerja. Artinya, terjadi ketidakseimbangan. Lumrah saja jika para anak SMA ada rasa takut jika nggak cepat-cepat mencari pekerjaan, bisa menjadi pengangguran.
Dari berbagai permasalahan pendidikan yang terjadi saat ini, mari kita saling berkolaborasi untuk mencari solusi terbaik.
Solusi terbaik bisa dihasilkan ketika perasaan kita lebih peka pada sebuah permasalahan. Makanya, Champ mau ajak kalian tentang satu persoalan pendidikan lagi. Agar lebih terbangun rasa empati perihal masalah pendidikan.
Yakni, masih adanya orang di luar sana yang takut bermimpi karena kurangnya motivasi. Padahal, setiap orang berhak bermimpi. Mari jadi pelopor untuk memberi arti tentang pentingnya berani membangun mimpi dengan menyelesaikan Challenge Bagikan Perjalanan Mimpimu untuk Menginspirasi Mereka.
Referensi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220919131316-20-849727/pakar-kritik-ruu-sisdiknas-ptn-wajib-badan-hukum-kuliah-makin-mahal
https://rejabar.republika.co.id/berita/rxbc7o396/kema-unpad-banyak-camaba-mengundurkan-diri-garagara-ukt-mahal
Lestari, M., Zakso, A., Hidayah R.A., 2020. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Minat Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi (Kasus Pada Remaja di Desa Sepadu). Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 9(7). 1 – 8.