Hai, Changemakers!
Bidan merupakan profesi yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selain membantu persalinan, masyarakat mungkin juga pernah berobat ke bidan. Menjadi bidan bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, harus selalu siap siaga untuk memberikan pertolongan.
Dalam rangka Hari Bidan Nasional yang ke-73 tahun ini, Champ ingin kembali mengenang beberapa kisah mengharukan bidan yang membantu persalinan di zona konflik. Yuk, langsung aja kepoin informasi di bawah ini!
1. Seorang Bidan yang Bantu Kelahiran dan Melahirkan di Gaza
Sumber: HO via Reuters
Foto di atas adalah foto dari Samah Qeshta, seorang bidan di Gaza bersama bayi baru lahir dan anak-anaknya yang lain. Bayi yang lahir lewat bedah sesar pada Sabtu, 11 November 2023 pukul 13.00 di sebuah rumah sakit (RS) di Gaza Selatan itu bernama Naya.
Sang ibu mendekap Naya sambil melihat wajahnya mungil dan matanya yang hitam. Qeshta lalu menangis. Dia mengaku sedih karena melahirkan dalam keadaan “nggak mampu memberinya apa-apa.”
Meski berprofesi sebagai bidan, Qeshta juga menghadapi kekurangan seperti kebanyakan ibu lainnya di Gaza. Dia datang ke RS dengan berbekal beberapa helai popok, sekotak susu bayi, dan sebotol air. Saat dia berada di ranjang bersama Naya, ternyata sebuah rumah di dekat RS itu terkena serangan udara yang menimbulkan korban jiwa.
“Saya takut dan memeluknya erat-erat,” ucap Qeshta.
“Saya khawatir kapan pun kami bisa kejatuhan bom. Yang saya pikirkan hanya mendekapnya erat-erat,” tambahnya.
Qeshta seharusnya menjalani bedah sesar pada akhir Oktober, tapi dia menunda persalinannya karena berharap ada gencatan senjata. Oleh karena RS kekurangan obat, satu-satunya obat penghilang nyeri yang dialaminya saat melahirkan hanya anestesi di bagian bawah tubuh. Sehari kemudian, sebuah ambulans mengantarnya sedekat mungkin ke rumahnya karena jalan-jalan ditutup akibat hancur oleh serangan udara.
“Saya berjalan kaki sekitar setengah jam ke rumah bersama bayi ini setelah bedah sesar,” ucap Qeshta.
Pada saat itu, Qeshta berencana untuk masuk kerja lagi pada Januari 2024 di bangsal bersalin di RS Nasser setelah perang berakhir. “Bangsal ini seperti jendela harapan dan cahaya,” kata Qeshta.
“Kami mendengar ledakan, sirine, teriakan kerabat para syuhada, dan teriakan perempuan yang sedang melahirkan.”
“Jadi, setiap kali saya membantu perempuan melahirkan, setiap kali saya memegang bayi baru lahir di tangan saya, saya bersyukur kepada Tuhan. Saya merasa bahagia Tuhan memberi kami kehidupan baru, seseorang yang baru,” imbuhnya.
2. Bidan yang Bantu Persalinan di Zona Perang dan Kamp Pengungsian
Sumber: BBC News Indonesia
Anna adalah pekerja bantuan kemanusiaan, perawat dan bidan National Health Service (NHS). Sama seperti perempuan lainnya, dia juga mendambakan pekerjaan yang bagus dan stabil, pernikahan yang awet, serta kehidupan yang layak untuk anak-anaknya. Tapi, impian ideal dari bidan ini belum pernah jadi nyata. Anna membantu persalinan bayi di zona perang, daerah bencana, dan kamp pengungsi. Pengalaman tersebut mengubah hidupnya, bahkan beberapa di antaranya menghantuinya selama bertahun-tahun.
Saat Anna berusia 26 tahun, dia bergabung dengan kelompok bantuan internasional, Doctors Without Borders yang juga dikenal dengan Médecins Sans Frontières (MSF). Pada 2007, Doctors Without Borders mengirimnya ke suatu daerah di Afrika yang kini menjadi wilayah Sudan Selatan. Dia sangat bersemangat sampai ketika seorang pasien dibawa ke atas tandu yang terbuat dari tongkat dan dibaringkan di lantai di sebelah Anna.
“Bayi perempuan itu telah meninggal di kandungan karena tidak memiliki akses ke bidan yang terlatih,” ujar Anna.
Kala itu, Anna belum terlatih menghadapi situasi seperti itu. Untungnya, pasien langsung dibawa ke ruang operasi untuk menjalani operasi darurat, setelah mendarat. Sehari kemudian, Anna sampai di tempat kerjanya. Klinik yang terbuat dari lumpur dan kayu dengan atap jerami tersebut adalah satu-satunya fasilitas medis di wilayah seukuran Provinsi Jawa Barat.
“Kami tidak memiliki air bersih dan listrik. Kami tidak memiliki panel surya yang dapat mengisi daya telpon satelit kami,” ujar Anna.
Sekitar 1.000 pasien dengan beragam penyakit dirawat di klinik itu tiap bulan. Anna membantu persalinan bayi (tanpa pelatihan kebidanan kala itu), merawat pasien yang sakit parah dan anak-anak dengan gizi buruk, luka akibat ranjau darat, malaria serta infeksi lainnya. Anna bekerja 24 jam sehari selama tiga bulan berturut-turut.
“Menstruasi saya telah berhenti selama 18 bulan, rambut saya rontok, saya kehilangan berat badan,” ucapnya.
Setelah kembali ke Inggris, dia sulit berinteraksi kembali secara emosional dengan kekasihnya dan hubungan itu berakhir. Kemudian, dia membuat keputusan untuk mengikuti pelatihan sebagai bidan dan fokus dengan pelatihan itu. Pekerjaanya sebagai pekerja bantuan kemanusiaan, membawanya ke Haiti untuk membantu para korban gempa. Setelah itu, dia menuju ke Bangladesh untuk bekerja di kamp Kutupalong, yang menampung 30.000 pengungsi Rohingya. Di sana, Anna diberi tanggung jawab atas kesehatan para perempuan dan kehamilan di rumah sakit kamp pengungsian, di mana dia dan rekan-rekannya dari Bangladesh membantu melahirkan bayi.
Anna merasa beban emosional dari pekerjaannya kian sulit dan memilih untuk kembali ke Inggris, di mana dia menjadi bidan di National Health Service. Meski berada di RS di Inggris, Anna tetap terbayang-bayang dengan kejadian nggak mengenakkan selama membantu persalinan di zona perang dan kamp pengungsian.
Dia pun pergi ke pusat Buddhis dan mulai menjalani terapi penyembuhan. Setelah sembuh, dia membeli sebuah perahu kecil dan bertugas selama satu bulan di pelatihan bidan di Bangladesh. Di Bangladesh, Anna bertemu dengan instruktur selancar bernama Ali dan nggak lama setelah itu dia hamil.
Anna telah menghadapi berbagai persalinan dan tragedi sepanjang karirnya di luar Inggris, tapi dia masih harus menelan pil pahit kehidupan dengan kehilangan dua calon anaknya. Pada akhirnya, dia melahirkan bayi perempuan sehat bernama Aisha. Anna kini telah berpisah dengan Ali dan membesarkan Aisha sendirian di Inggris.
3. Seorang Bidan di “Ibu Kota Horor” Kolombia
Sumber: BBC News Indonesia
Feliciana Hurtado adalah seorang bidan yang harus mempertaruhkan keselamatannya karena bekerja di lingkungan yang berbahaya dan bermasalah. Buenaventura memiliki sejarah panjang konflik kekerasan, yang membuatnya dijuluki “ibu kota horor” Kolombia. Sejak 1988, geng-geng bersenjata telah bersaing untuk mendapatkan kendali teritorial atas rute narkoba keluar dari pelabuhan dan melakukan pemotongan anggota tubuh lawan yang mengerikan di casas de pique (bahasa Spanyol untuk rumah potong). Pada tahun 2014, militer Kolombia melakukan intervensi di Buenaventura untuk mengambil alih situasi. Intervensi memberikan stabilitas jangka pendek, tapi Buenaventura sekarang mengalami gelombang kekerasan baru.
Hurtado pernah dicegat oleh anggota kelompok bersenjata saat hendak memasuki lingkungan berbahaya di kota. Dia dicecar beberapa pertanyaan. “Kenapa kamu di sini? Siapa yang mengirim kamu? Kamu berasal dari rumah yang mana?”
“Saya akan memberi tahu mereka bahwa saya ada di sana untuk membantu seorang perempuan hamil dan akan mengatakan ke rumah mana saya harus pergi. Kemudian mereka akan pergi dan memverifikasi. Seandainya tidak ada perempuan hamil, saya akan mendapat masalah,” ujar Hurtardo.
Para bidan mengatakan gaji mereka bervariasi dan dalam beberapa kasus pasien mereka nggak mampu membayar sama sekali. Tapi, mereka masih akan melayani ibu hamil itu. Terlepas dari risiko yang ada, Hurtado tetap setia pada pekerjaannya.
“Itu bagian dari diri saya. Ketika saya mendengar seseorang melahirkan, saya ada di sana,” kata Hurtado.
“Saya tidak peduli tentang risiko yang ada atau kapan saya harus membantu ibu hamil,” imbuhnya.
Champ yakin cerita-cerita di atas sebenarnya banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Dari sini kita tahu bahwa profesi bidan sangat penting dalam dunia kesehatan. Seorang bidan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan selama proses persalinan.
Kamu juga bisa loh melakukan hal kecil yang berdampak luas dengan ikutan Challenge Mata Sehat Tanpa Katarak dengan Lentera Mata Indah. Donasi yang terkumpul setelah kamu menyelesaikan 3 aksi dalam Challenge ini adalah sebesar Rp25 ribu. Dana tersebut akan disalurkan oleh Yayasan Dunia Lebih Baik (YDLB), Ishk Tolaram, dan A New Vision kepada Lentera Mata Indah. Nah, Lentera Mata Indah sendiri akan memperluas proyek-proyek pengobatan katarak di berbagai daerah di Indonesia. Yuk, segera selesaikan Challenge-nya!