#ForABetterWorldID

Anak Muda yang Nggak Lagi Buru-buru Menikah

profile

campaign

Update

​Hai, Changemakers!

Dulu, fenomena pernikahan di usia muda menjadi hal lumrah. Bahkan ada yang menikah ketika usianya masih belasan tahun. Itu zaman nenek atau orang tua kita. Tapi bagaimana sekarang?

Kini pernikahan dini di Indonesia mulai mengalami penurunan, meski masih ada di beberapa daerah yang melakukan pernikahan dini. Contoh kecilnya saja, desa-desa yang ada di Madura. Dari tulisan Naufalul di Rahma.id, menjelaskan kalau desa-desa di Madura masih mudah menemukan tradisi pernikahan dini. Bahkan, ia melakukan observasi, di salah satu desa dekat Suramadu, pernikahan dini lumrah terjadi. Tapi, menurut BKKBN, tren pernikahan dini di Indonesia terus mengalami penurunan jika dibandingkan 10 tahun yang lalu.

Data dari Kementerian PPPA persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mengalami penurunan signifikan. Di tahun 2017, ada 11,54 persen. Di tahun 2021 turun menjadi 9,23 persen. Berdasarkan data dari BPS, dalam satu dekade, angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen.


image

Sumber gambar: Liputan6

Jika berkaca pada fakta di lapangan, data dari BKKBN, Kementerian PPPA, dan BPS, memang benar adanya. Ketika ngobrol dengan anak muda, baik milennial dan gen Z, banyak yang merasa enggan untuk cepat-cepat menikah.

Mengapa Milenial dan Gen Z Menunda Menikah Cepat?

Champ coba ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak milenial dan gen z alasan mereka menunda menikah. Ternyata ada garis persamaan alasan yang membuat milenial dan gen Z nggak mau cepat menikah. Terjadi perubahan pola pikir yang lebih rasional. Dari fakta yang ada, milenial dan gen Z memiliki perubahan pemikiran tentang konsep ekonomi. Menikah, tanpa pondasi ekonomi yang mapan, bisa berdampak buruk di dalam rumah tangga. Sebab, ekonomi menjadi salah satu pondasi penting untuk pernikahan.

Mereka udah memperhitungkan biaya hidup sehari-hari, biaya kesehatan, biaya merawat anak, biaya pendidikan anak. Mereka memprediksikan kalau seiring berjalannya waktu, harga-harga semakin meningkat. Dari pemikiran itu, laki-laki dan perempuan, lebih memilih untuk memapankan ekonominya dengan bekerja lebih baik dahulu.

Selain faktor ekonomi, milenial dan gen Z merasa kalau pernikahan yang terburu-buru, membuahkan hasil yang nggak manis. Soalnya menikah perihal menjalani perjalanan seumur hidup, sehingga harus ketemu sama orang yang tepat di waktu yang tepat. Kalau kata keren gen Z sekarang, bertemu di “rumah” yang sama dengan nyaman.

Untuk mendapatkan “rumah” yang sama dan nyaman, harus berawal dari penemuan tujuan. “Apa tujuan menikah?” Itu yang biasa muncul di gejolak hati dan pikiran anak muda sekarang. Jangan sampai menikah sekadar hidup di satu atap yang sama, tapi nggak menemukan makna dan esensinya. Itu yang membuat anak muda sekarang belum mau menikah, akibat belum menemukan tujuannya.

Fakta lapangan yang ditemui, senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Bagong Suyanto, sosiolog Unair. Menurutnya, perempuan sudah mulai keluar dari budaya yang ada. Perempuan banyak yang mulai memilih berkuliah dan bekerja. Begitu juga dengan laki-laki yang lebih mengedepankan faktor ekonomi dahulu untuk hidup mandiri, nggak lagi menggantungkan hidupnya pada orang tua.

Ada Dampak Positif dan Negatif

Pola pikir yang berubah tentang nilai pernikahan, sebenarnya seperti persimpangan jalan. Di satu sisi baik dan di satu sisi ada dampak negatifnya. Dampak positifnya, bisa mengurangi resiko konflik dalam pernikahan. Karena menurut catatan KPAI, pernikahan dini rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga karena ada pengaruh faktor psikis. Senada dengan penelitian yang dilansir dari Jurnal Pustaka Kesehatan. Bahwa ada hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan pada anak usia prasekolah di kelurahan Sumbersari.

Dampak negatifnya, bisa berdampak pada kondisi perekonomian negara karena bisa mempengaruhi kondisi kelahiran yang berdampak pada kehadiran usia produktif.

Dampak buruknya lagi, penundaan anak muda untuk menikah, justru memperlebar tindakan seks bebas. Menurut Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo, ada peningkatan hubungan seks di kalangan anak-anak di usia 15 sampai 19 tahun.

Padahal, seks bebas memiliki banyak dampak negatif. Salah satunya, bisa menyebabkan penyakit infeksi menular seksual.

Begini Tanggapan Netizen

Dari fenomena yang terjadi, menimbulkan penilaian yang berbeda-beda dari setiap orang.

Ada yang menilai, jika masifnya seks bebas di kalangan remaja, terjadi karena kurangnya edukasi seks. Masyarakat masih menilai jika edukasi seks sebagai nilai yang buruk. Padahal, edukasi seks bisa memberikan pengetahuan tentang resiko seks bebas.



image

Sumber gambar: tangkapan layar Instagram

Tapi, ada juga yang menilai kalau pernikahan di usia muda lebih baik daripada melakukan seks bebas.



image

Sumber gambar: tangkapan layar Instagram

Argumen tersebut dipatahkan oleh komentar netizen lainnya, kalau pernikahan dini punya dampak negatif. Salah satunya, anak bisa menjadi korban karena terjadi kekerasan akibat ketidaksiapan orang tua membangun rumah tangga. 


image

Sumber gambar: tangkap layar Instagram

Kalau menurut Changemakers, bagaimana melihat fenomena turunnya minat pernikahan, tapi di satu sisi seks bebas makin masif? Coba kasih argumennya di kolom komentar, ya!

Ngomongin tentang pernikahan, Champ teringat dengan satu fungsi penting dari pernikahan. Yakni, menjadi ruang edukasi bagi anak-anak. Anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan tentang toleransi. Dengan mengenal toleransi, mereka bisa menghargai keberagaman.

Meskipun jadi tugas orang tua, edukasi toleransi juga jadi tugas bersama. Kabar baiknya, sekarang, kamu juga bisa membantu adik-adik di luar sana untuk belajar arti toleransi. Yuk ikut dan selesaikan Challenge Bantu AdikAdik di Medan Belajar Isu Kebebasan Beragama dari Komunitas Camar. Dengan menyelesaikan Challenge, kamu membuka donasi sebesar Rp40 ribu yang didanai oleh A Better World Foundation. Donasi digunakan untuk edukasi kebebasan beragama untuk anak-anak.



Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240807194006-20-1130461/bkkbn-tren-pernikahan-dini-menurun-hubungan-seks-meningkat

https://unair.ac.id/ekonom-unair-paparkan-3-dampak-angka-kelahiran-terus-menurun-di-negara-maju/

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2024/sosiolog-unair-sebut-penurunan-angka-pernikahan-menjadi-fenomena-global/

https://rahma.id/memicu-realitas-baru-madura-anti-pernikahan-dini/

https://www.kpai.go.id/publikasi/pernikahan-dini-picu-kekerasan-dalam-rumah-tangga

Hertika, P.M., Sulistyorini, L., Wuryaningsi, E.W,. 2017. Hubungan Pernikahan Usia Dini dengan Risiko Tindak Kekerasan oleh Ibu pada Anak Usia Prasekolah di Kelurahan Sumbersari Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember (The Relation between Early Marriage and the Risk of Abusing by Mothers Towards her Preschoolers in Sumbersari, Jember). Jurnal Pustaka Kesehatan. Volume 5, nomor 3.



heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone