Hai, Changemakers!
Ada yang ‘ngeh’ sekarang hari apa? Hari Kamis, Champ! Iya sih, bener nggak salah juga. Tapi kamu harus tahu, kalau setiap tanggal 22 Agustus kita memperingati Hari Internasional untuk Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan. Harus kita akui sampai sekarang masih banyak ditemukan kekerasan berbasis perbedaan agama, keyakinan hingga etnisitas di seluruh dunia.
Alasan inilah yang membuat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019 mengumumkan untuk peringatan satu hari sebagai Hari Internasional Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan, dengan tujuan untuk memperkuat komitmen masyarakat internasional terhadap keadilan bagi para penyintas genosida dan kekejaman lainnya berdasarkan agama atau etnis. Peringatan ini juga bertujuan untuk terus mengingat para korban meninggal hanya karena perbedaan kepercayaan.
Melihat Tragedi Berdarah Berbasis Keagamaan di Indonesia
Indonesia dengan keberagamannya seperti yang kita ketahui banyak sekali gesekan di tengah perbedaan. Bahkan gesekan ini memicu kekerasan berbasis agama hingga menimbulkan korban jiwa. Masih ingat dengan tragedi bom bunuh diri meledak di tiga gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018 lalu?
Dilansir dari Kompas.com aksi bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya dilakukan oleh enam pelaku yang masih satu keluarga. Pihak kepolisian menyebutkan, mereka terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Akibat peristiwa tersebut, 14 orang dilaporkan tewas dan 43 orang mengalami luka-luka.
Flashback ke belakang lagi di tahun 1998 sampai tahun 2001 ada tragedi Poso. Peristiwa Konflik Poso dimulai dari sebuah bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum akhirnya menjalar menjadi kerusuhan bernuansa agama. Tragedi ini memakan 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. Kerusuhan berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandangani Deklarasi Malino antara kedua belah pihak.
Melihat Tragedi Berdarah Berbasis Keagamaan di Indonesia
Indonesia dengan keberagamannya seperti yang kita ketahui banyak sekali gesekan di tengah perbedaan. Bahkan gesekan ini memicu kekerasan berbasis agama hingga menimbulkan korban jiwa. Masih ingat dengan tragedi bom bunuh diri meledak di tiga gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018 lalu?
Dilansir dari Kompas.com aksi bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya dilakukan oleh enam pelaku yang masih satu keluarga. Pihak kepolisian menyebutkan, mereka terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Akibat peristiwa tersebut, 14 orang dilaporkan tewas dan 43 orang mengalami luka-luka.
Flashback ke belakang lagi di tahun 1998 sampai tahun 2001 ada tragedi Poso. Peristiwa Konflik Poso dimulai dari sebuah bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum akhirnya menjalar menjadi kerusuhan bernuansa agama. Tragedi ini memakan 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. Kerusuhan berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandangani Deklarasi Malino antara kedua belah pihak.
Kenapa Tragedi Berbasis Keagamaan Masih Terjadi?
Bukan Champ namanya kalau nggak cari tahu ke ahlinya! Pasti kamu juga bertanya-tanya kan, kenapa sih, masih ada konflik seperti itu? Bukannya kita harus menerima perbedaan ya? Nah, menurut PeaceGeneration Indonesia atau PeaceGen organisasi yang bergerak di bidang pendidikan perdamaian mengatakan persoalan ekstremisme kekerasan dan terorisme adalah hal yang kompleks. Keduanya adalah buah dari akar permasalahan yang sejak lama ada di masyarakat, misalnya adalah karena prasangka yang mengarah pada ujaran kebencian, fanatisme kelompok, kurangnya berpikir kritis dan empati, serta masalah struktural lainnya seperti ekonomi dan ketidakadilan. Menurut Kruglanski (2019) terdapat 3N (Need, Narrative, Network) yang membuat seseorang teradikalisasi dan akhirnya melakukan tindak ekstremisme kekerasan.
Untuk memutus kekerasan berbasis keagamaan dan keyakinan Peace Generation Indonesia melakukan ragam inisiatif khususnya kepada anak muda untuk membangun daya tangkal sebagau bentuk tindakan pencegahan terhadap pengaruh kelompok ekstrem. PeaceGen berfokus membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis dan berempati sehingga dirinya dapat mengambil peran positif di masyarakat. Hal ini menjawab kebutuhan anak muda untuk merasa berdaya. Kemudian, lewat ragam materi literasi digital dan pengelolaan emosi, PeaceGen juga mengajak anak muda untuk dapat bijak mengonsumsi narasi yang ada di sekitarnya.
Nggak berhenti sampai di sana melalui program Breaking Down the Wall dan kampanye #Friendship4Peace PeaceGen memperkenalkan anak-anak hingga remaja dengan jejaring lintas agama dan identitas lain untuk dapat berkolaborasi. Inisiatif tersebut telah dilakukan dalam ranah komunitas, seperti Board Game for Peace di 12 kota di Indonesia, Frosh Project ID di perguruan tinggi, dan Peace Sociopreneur Academy di Bandung. Ketiganya menggunakan pendekatan game-based learning dalam menciptakan kontak yang bermakna.
Kenapa Tragedi Berbasis Keagamaan Masih Terjadi?
Bukan Champ namanya kalau nggak cari tahu ke ahlinya! Pasti kamu juga bertanya-tanya kan, kenapa sih, masih ada konflik seperti itu? Bukannya kita harus menerima perbedaan ya? Nah, menurut PeaceGeneration Indonesia atau PeaceGen organisasi yang bergerak di bidang pendidikan perdamaian mengatakan persoalan ekstremisme kekerasan dan terorisme adalah hal yang kompleks. Keduanya adalah buah dari akar permasalahan yang sejak lama ada di masyarakat, misalnya adalah karena prasangka yang mengarah pada ujaran kebencian, fanatisme kelompok, kurangnya berpikir kritis dan empati, serta masalah struktural lainnya seperti ekonomi dan ketidakadilan. Menurut Kruglanski (2019) terdapat 3N (Need, Narrative, Network) yang membuat seseorang teradikalisasi dan akhirnya melakukan tindak ekstremisme kekerasan.
Untuk memutus kekerasan berbasis keagamaan dan keyakinan Peace Generation Indonesia melakukan ragam inisiatif khususnya kepada anak muda untuk membangun daya tangkal sebagau bentuk tindakan pencegahan terhadap pengaruh kelompok ekstrem. PeaceGen berfokus membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis dan berempati sehingga dirinya dapat mengambil peran positif di masyarakat. Hal ini menjawab kebutuhan anak muda untuk merasa berdaya. Kemudian, lewat ragam materi literasi digital dan pengelolaan emosi, PeaceGen juga mengajak anak muda untuk dapat bijak mengonsumsi narasi yang ada di sekitarnya.
Nggak berhenti sampai di sana melalui program Breaking Down the Wall dan kampanye #Friendship4Peace PeaceGen memperkenalkan anak-anak hingga remaja dengan jejaring lintas agama dan identitas lain untuk dapat berkolaborasi. Inisiatif tersebut telah dilakukan dalam ranah komunitas, seperti Board Game for Peace di 12 kota di Indonesia, Frosh Project ID di perguruan tinggi, dan Peace Sociopreneur Academy di Bandung. Ketiganya menggunakan pendekatan game-based learning dalam menciptakan kontak yang bermakna.
Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Turut Berpartisipasi?
PeaceGen juga memberikan tips nih, agar kita bisa memutus mata rantai tindak kekerasan berdasarkan agama atau keyakinan, di antaranya yaitu:
1. Mengenali diri dan sisi kerentanan yang dapat menjadi pintu masuk pengaruh dari kelompok ekstrem
2. Memperluas pergaulan dengan orang dari identitas yang berbeda untuk memperkaya sudut pandang
3. Mempertajam daya berpikir kritis dalam mengolah informasi, baik yang bersumber dari dalil keagamaan, ideologi, dst
4. Memilih untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah di masyarakat dengan jalan non kekerasan
5. Mempromosikan cara pandang yang terbuka, berpikir kritis, dan empati kepada pihak di sekitar kita
Kamu juga bisa mendukung kampanye #Friendship4Peace yang bertujuan menghapus prasangka dan membangun interaksi yang bermakna antar kelompok identitas agama berbeda. Terdapat 20 Challenge di kampanye ini yang bisa kamu ikuti. Dengan meyelesaikan setiap Challenge kamu sudah berdonasi tanpa uang dengan menunggah foto-foto sesuai intruksi di halaman setiap Challenge. Nantinya donasi yang terkumpul akan digunakan untuk beragam kegiatan toleransi yangtersebar di Jawa Barat dan juga Sumatera.
Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Turut Berpartisipasi?
PeaceGen juga memberikan tips nih, agar kita bisa memutus mata rantai tindak kekerasan berdasarkan agama atau keyakinan, di antaranya yaitu:
1. Mengenali diri dan sisi kerentanan yang dapat menjadi pintu masuk pengaruh dari kelompok ekstrem
2. Memperluas pergaulan dengan orang dari identitas yang berbeda untuk memperkaya sudut pandang
3. Mempertajam daya berpikir kritis dalam mengolah informasi, baik yang bersumber dari dalil keagamaan, ideologi, dst
4. Memilih untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah di masyarakat dengan jalan non kekerasan
5. Mempromosikan cara pandang yang terbuka, berpikir kritis, dan empati kepada pihak di sekitar kita
Kamu juga bisa mendukung kampanye #Friendship4Peace yang bertujuan menghapus prasangka dan membangun interaksi yang bermakna antar kelompok identitas agama berbeda. Terdapat 20 Challenge di kampanye ini yang bisa kamu ikuti. Dengan meyelesaikan setiap Challenge kamu sudah berdonasi tanpa uang dengan menunggah foto-foto sesuai intruksi di halaman setiap Challenge. Nantinya donasi yang terkumpul akan digunakan untuk beragam kegiatan toleransi yangtersebar di Jawa Barat dan juga Sumatera.
Kamu udah ikutan? Yuk, putuskan kebencian dan berpihak pada korban tindak kekerasan berdasarkan agama dan keyakinan sekarang juga!
Referensi:
https://www.rri.co.id/lain-lain/920505/hari-korban-kekerasan-atas-agama-dan-kepercayaan-sedunia
https://www.dw.com/id/kebencian-antar-agama-di-dunia-meningkat/a-17362419