#Friendship4Peace

Wajah Diskriminasi: Menyoroti Tantangan Penganut Agama atau Kepercayaan Minoritas

profile

peacegenid

Update

​Indonesia, dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” seharusnya menjadi contoh ideal toleransi dan keberagaman. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa penganut agama dan kepercayaan minoritas sering mengalami diskriminasi dan kesulitan dalam mendapatkan pengakuan resmi. Masalah ini tidak hanya mengganggu kesejahteraan penganut minoritas, tetapi juga merusak makna dari semboyan keberagaman itu sendiri.

Dalam artikel berjudul "Jarang Didengar dan Tak Diakui: Menapak Jejak Agama Sikh di Kota Medan" yang dimuat di wacana.org, dijelaskan bahwa penganut agama minoritas, seperti Sikh, menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Sebagai contoh, pelajar yang menganut agama minoritas sering terpaksa mengikuti pelajaran agama lain yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, demi memenuhi tuntutan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Pendidikan yang menyebutkan, “setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.”

Penganut Sikh di Indonesia juga menghadapi tantangan serupa. Karena Sikhisme tidak diakui secara resmi, mereka sering terpaksa mencantumkan agama lain, seperti Hindu, di KTP mereka. Akibatnya, mereka harus mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan mengalami kesulitan dalam berbagai urusan administratif. "Harapan kami, agar suatu hari nanti umat Sikh ini bisa diakui pemerintah secara legal," ungkap seorang pemeluk Sikh di Medan pada salah satu reporter BOPM Wacana

Diskriminasi terhadap penganut agama minoritas juga terlihat dari kasus kekerasan dan penolakan yang mereka alami. Misalnya, pada bulan Januari 2023, jemaat Ahmadiyah di Lombok Utara menghadapi penyerangan oleh sekelompok orang yang merusak rumah ibadah mereka. Kejadian ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada upaya perlindungan, kelompok minoritas seperti Ahmadiyah masih sering menjadi sasaran kekerasan dan penolakan.

Selain itu, pada tahun 2024, komunitas Muslim Syiah di Sampang, Madura, mengalami tekanan baru setelah ada penutupan rumah-rumah mereka dan pelarangan kegiatan keagamaan. Situasi ini mengakibatkan banyak keluarga harus mengungsi dari kampung halaman mereka. Kejadian ini menegaskan betapa rentannya hak-hak minoritas ketika negara gagal melindungi mereka dari tindakan intoleransi.

Menurut laporan tahunan Komnas HAM dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya publikasi statistik Setara Institute yang menunjukkan 333 peristiwa pelanggaran dan 438 tindakan intoleransi pada tahun 2023, dengan peningkatan kasus di luar Pulau Jawa, khususnya di Sumatera Utara, Kalimantan, dan Sulawesi.

Jika dilihat dari beberapa kasus di atas, kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis agama ini juga semakin banyak terjadi karena masih adanya pandangan negatif terhadap status aliran kepercayaan. Banyak yang menganggap aliran kepercayaan sebagai bentuk sinkretisme dalam beragama, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai penodaan terhadap ajaran agama-agama resmi. Pandangan semacam ini seringkali berujung pada kekerasan dan konflik. Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya jumlah penganut agama lokal, karena kurangnya perlindungan dan pengakuan resmi dari negara. Apabila kondisi ini terus berlanjut, warisan agama leluhur yang masih bertahan di berbagai daerah akan semakin ditinggalkan oleh para penganutnya, dan akhirnya mungkin akan punah.

Keberadaan agama lokal di Indonesia seharusnya mendapatkan perlakuan setara dengan agama-agama resmi dalam konstitusi, dengan jaminan untuk bebas dipeluk dan menjalankan ritual keagamaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 memberikan dasar untuk penyetaraan agama dan aliran kepercayaan, namun penerapannya masih terbatas pada administrasi kependudukan. Ketiadaan aturan dan perlindungan hukum yang memadai menghambat hak penganut aliran kepercayaan untuk menjalankan ajaran mereka secara penuh.

Dengan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk merefleksikan sejauh mana mereka benar-benar menghargai keberagaman. Tanpa pengakuan dan perlindungan yang memadai untuk semua keyakinan, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” akan tetap menjadi jargon kosong. Untuk mewujudkan toleransi yang sesungguhnya, perlu mengubah paradigma dari "mayoritas berkuasa" menjadi "semua setara," di mana hak-hak setiap individu dihormati dan dilindungi tanpa memandang jumlah penganut. Menjunjung tinggi hak beragama dan toleransi, memastikan bahwa semua agama dan kepercayaan, baik minoritas maupun mayoritas, mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.

Untuk beralih ke perubahan besar ini, dibutuhkan langkah awal bagi kita yang bermula dari hal-hal kecil. Salah satunya adalah dengan mendukung aksi Wacana dengan menyelesaikan ketiga challenge ini menandakan kita menjadi salah satu kontributor dalam mendorong kelestarian keberagaman beragama. Jadilah bagian dari perubahan, ikuti Challenge ini dan suarakan toleransi beragama lewat karya inspiratif kamu!


heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone