#ForABetterWorldID

Astronomi Nusantara yang Memukau, tapi Mulai Dibuang!

profile

campaign

Update

​Hai, Changemakers!

Apakah kalian pernah bertanya-tanya, bagaimana di zaman dahulu, masyarakat bisa memprediksi musim hujan dan musim kemarau? Bagaimana di zaman dahulu, masyarakat bisa mengetahui waktu terbaik bagi petani untuk bercocok tanam?

Pertanyaan itu sering berputar-putar di kepala Champ. Soalnya Champ kepikiran, bukankah di zaman dahulu belum ada lembaga yang memprediksi cuaca, seperti BMKG saat ini? Apalagi zaman dahulu, teknologi cuaca juga belum ada.

Meski perkembangan teknologi belum canggih seperti sekarang, nyatanya masyarakat Nusantara udah menguasai astronomi. Pertanyaannya, gimana caranya orang zaman dulu bisa menguasai astronomi?

Nah, ternyata masyarakat melakukannya dengan mengamati alam! Matahari, bulan, dan bintang menjadi objek utama masyarakat membangun konsep astronomi yang membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana masyarakat suku Sunda di zaman dahulu menggunakan rasi bintang untuk memprediksi masuknya musim kemarau dan musim hujan. Rasi yang biasa digunakan masyarakat suku Sunda adalah bintang Pleiades. Atau lebih akrab disebut Waluku.

Melihat di Balik Astronomi Nusantara

Menurut studi dari Utama, astronomi Nusantara memiliki kaitan dengan watak masyarakat yang suka berlayar. Indonesia dikenal sebagai pelaut handal yang bisa melintasi berbagai negara, bahkan antarbenua. Dengan karakter masyarakat Nusantara sebagai pelaut, menjadi rangsangan untuk membaca kondisi alam.


image

Sumber gambar: CNN Indonesia

Dalam perjalanan melintasi dan membelah lautan, dipraktikan pengetahuan tentang rasi bintang. Rasi bintang, bagi pelaut umumnya digunakan sebagai penunjuk arah.

Selain pelaut, karakter masyarakat Nusantara sebagai petani, menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat memperhatikan alam. Agar proses bercocok tanam memberikan hasil maksimal, maka pemahaman terhadap tanda-tanda langit menjadi kebutuhan urgen. Nantinya, akan berkaitan dengan penentuan waktu dan sistem penanggalan.

Studi Maass memperlihatkan jika pengetahuan tentang pola-pola bintang. Misalnya saja, masyarakat mengamati rasi bintang Orion, jika nggak terlihat di langit malam, maka periode bercocok tanam dihentikan.

Rasi bintang Orion menjadi penanda masuknya musim kemarau. Soalnya menurut mitos Yunani, Scorpius dan Orion menjadi dua sosok yang saling bermusuhan. Ketika Scorpius menguasai malam, posisi Orion berada di langit siang.

Konsep pembacaan alam di Nusantara bisa dibilang, nggak terbagun dengan sendirinya. Ia juga terpengaruh dengan konsep ilmu perbintangan dari India. Bisa dilihat dari penamaan kalender Jawa yang serupa dengan kalender India, meski pada perkembangannya, kalender Jawa berkembang lebih kompleks. Jika ditarik lebih luas lagi, ilmu perbintangan India terpengaruh dari Yunani.



image

Sumber gambar: Detik

Di masa Yunani kuno, para filsuf telah memperdebatkan tentang semesta. Seperti halnya Aristoteles yang menulis buku Meteorologica. Sebuah buku yang membahas tentang cuaca dan iklim dengan membaca langit.

Richard Whitaker, pakar meteorologi Biro Meteorologi Australia, menjelaskan salah satu pengamatan Aristoteles yang tepat mengenai pepatah: ekor kuda dan sisi makarel membuat kapal-kapal yang tinggi membawa layar rendah. Ekor kuda menggambarkan awan sirostratus, sedangkan sisik makarel adalah awan altokumulus. Kedua awan itu menjadi tanda sebuah badai besar, sehingga para pelaut harus menurunkan layarnya (nggak melaut).

Pengamatan masyarakat Nusantara terhadap alam juga dipengaruhi oleh masuknya Islam. Sebab, orang-orang dahulu harus mengukur arah kiblat dengan tepat, serta waktu salat. Untuk menentukan keduanya, masyarakat mengakurasikannya melalui momentum matahari. Misalnya, menentukan waktu tiba salat melalui panjang bayang-bayang tongkat kemunculan dan terbenamnya fajar.

Astronomi Nusantara yang Kaya

Ada banyak bentuk astronomi Nusantara yang tercipta ratusan bahkan ribuan tahun lalu, bukan hanya dimiliki orang Jawa.

Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, dosen FAI UMSU menjelaskan, di Sumatera Utara ada penanggalan Batak bernama, parhalaan. Parhalaan menjadi kalender hari baik dan buruk masyarakat Batak dengan mengaitkannya pada peredaran benda-benda langit. Dulu, masyarakat Batak menggunakan parhalaan untuk agenda perkawinan, panen, kelahiran, mendirikan rumah, dan masih banyak lainnya.

Di Sumatera Selatan, ada naskah kuno bernama, serat ulu. Serat ulu memuat diagram penanggalan dan posisi matahari, biasanya digunakan sebagai petunjuk bercocok tanam.

Tak jauh berbeda dengan di Aceh, ada kalender musim yang umum disebut keunong. Keunong dibuat untuk memprediksi kondisi alam dan waktu bercocok tanam dengan memanfaatkan analisis alam.



Astronomi Nusantara Dipandang Sebelah Mata

Sayangnya “kecanggihan” astronomi masyarakat Nusantara yang udah tercipta jauh sebelum teknologi masuk, mulai mengalami kepunahan. Masyarakat modern udah acuh dan meragukan kesahihannya.

Hilmar Farid, seorang sejarawan di acara Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium, Jakarta, 27 April 2019 mengatakan pengetahuan lokal pada masa kolonial dipandang sebelah mata karena dinilai nggak saintifik.

Penilaian sebelah mata terhadap pengetahuan lokal, membuat generasi selanjutnya menjadi enggan mempelajari astronomi berwawasan lokal. Akhirnya yang terjadi, kata Hilmar, masyarakat Indonesia merasa rendah, seolah nggak punya apa-apa. Padahal, khazanah pengetahuan lokal Indonesia udah hadir sebelum kemajuan teknologi.

Duh, sayang banget ya, Changemakers kalau pengetahuan lokal tergerus begitu aja. Padahal pengetahuan lokal menjadi salah satu identitas kebangsaan yang memperlihatkan kecerdasan masyarakat. Kalau hilang, siapa yang rugi?

Makanya mari kita pertahankan nilai-nilai pengetahuan lokal masyarakat. Melalui pembenahan sistem pendidikan yang lebih baik lagi. Selain sistem pendidikan yang baik, tempat belajar juga harus nyaman agar anak-anak mudah menangkap ilmu yang disampaikan.

Kamu bisa ikut dan selesaikan Challenge Dukung PAUD Ceria 05 di Pademangan Timur untuk Menyediakan Tempat Belajar Layak Bagi 54 Siswa. Dengan menyelesaikan Challenge akan membuka donasi Rp25 ribu yang didanai Yayasan Dunia Lebih Baik. Donasi digunakan untuk renovasi ruang kelas PAUD Ceria 05. Yuk, berdampak baik sekarang juga!



Referensi:

https://historia.id/sains/articles/menggali-budaya-astronomi-nusantara-vJNap/page/4

https://nationalgeographic.grid.id/read/134171478/telisik-pengetahuan-lokal-mengenai-astronomi-dari-manuskrip-sunda

https://oif.umsu.ac.id/2023/07/ilmu-falak-dan-kearifan-lokal-masyarakat-nusantara/

https://historia.id/kuno/articles/menggali-ilmu-perbintangan-dari-nenek-moyang-vqm88/page/3

https://historia.id/kuno/articles/menggali-ilmu-perbintangan-dari-nenek-moyang-vqm88/page/3

https://www.kompas.com/sains/read/2022/10/21/190000323/bagaimana-cara-orang-zaman-dulu-memprediksi-cuaca-?page=all

Utama, J.A. 2018. ASTRONOMI YANG (SUDAH) MEMBUMI: Sejak Masa Nusantara hingga Abad Terkini. Seminar Nasional Fisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Surabaya.



heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign For Good app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone