Selamat Hari Guru Nasional, Changemakers!
Tulisan ini, nggak akan pernah rampung, kalau guru nggak mengajari Champ menulis. Tulisan ini, nggak akan bisa dinikmati, jika guru nggak mengajari muridnya membaca. Tulisan ini, nggak akan pernah ada, jika guruku nggak dizalimi oleh zaman dan politik kekuasaan.
Kemarin malam, Champ mengikuti webinar yang diadakan oleh Odyssey dengan tajuk “Guru Honorer Anak Tiri Pendidikan Indonesia”. Webinar dibawakan oleh Andi Febriansyah. Dulu, ia seorang guru Sosiologi di salah satu SMA Jakarta. Setelah adanya gejolak pendidikan, ia diangkat menjadi guru SD.
Nggak linier? Jangan kaget. Itu menjadi contoh kecil betapa lucunya masalah guru di Indonesia.
Guru P3K Sebuah Solusi?
Andi menceritakan tentang kondisi guru honorer yang terjadi di Indonesia. Di sekolah swasta, guru honorer memiliki kesejahteraan yang lebih miris daripada guru di sekolah negeri. Gaji per jam guru honorer swasta biasanya lebih kecil daripada guru honorer negeri.
Agar menjadi lebih sejahtera, harus menjadi guru tetap yayasan. Masalahnya, untuk menjadi guru tetap yayasan, bukan perkara mudah. Bisa lebih mudah, tapi guru honorer harus “menjilat” ketua yayasan.
Sumber gambar: E-ujian
Keberadaan guru honorer begitu mengenaskan. Apalagi dengan ketiadaan PNS untuk guru. Sekarang, guru hanya bisa menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Dari segi kesejahteraan, guru P3K lebih baik daripada guru honorer. Eits… tunggu dulu.
Meski kesejahteraannya lebih baik, guru P3K berada di titik rentan. Ia mudah diberhentikan dan nggak diperpanjang kontraknya, apabila memberontak.
Lagi dan lagi, guru harus menjadi objek penguasa. Sebagai objek penguasa, guru nggak punya kebebasan untuk bersikap dan bersuara.
Bukankah Mas Nadiem, mantan Menteri Pendidikan kita menerapkan Kurikulum Merdeka yang mengedepankan basis kebebasan mengeksplorasi? Tapi kenapa kebebasan guru dikerdilkan?
Teriakan Guru Mengenai Kurikulum Merdeka
Kalau Champ lihat, nilai tujuan yang ingin dicapai dalam Kurikulum Merdeka, baik dan bagus.
Masalahnya, dalam praktiknya, Kurikulum Merdeka masih menyimpan banyak polemik. Termasuk guru yang menjadi korbannya. Di Kurikulum Merdeka, guru kembali menjadi objek penguasa.
Beberapa kali, Champ mendengar cerita dari teman yang menjadi guru. Teman-teman mengatakan kalau guru terlalu disibukkan dengan beban birokrasi.
Di Kurikulum Merdeka, guru disibukkan dengan PMM (Platform Merdeka Mengajar). Guru dituntut mengikuti banyak webinar. Kalau nggak ikut, guru yang non honorer dibayang-bayangi oleh ketakutan, khawatir mendapatkan sanksi.
Selain dibebankan oleh urusan birokrasi, beban kerja guru di Kurikulum Merdeka kian membengkak. Di Kurikulum Merdeka ada P5. Di sana, guru ikut menjadi panitia. Jadi selain sibuk dengan administrasi dan mengajar, guru juga disibukkan oleh kepanitiaan.
Sebenarnya, beban kerja guru menjadi banyak, nggak masalah. Hanya saja, beban kerja di pundak guru, nggak sebanding dengan gaji yang didapat.
Guru juga banyak mengeluh mengenai kebijakan Kurikulum Merdeka untuk wajib menaikkan kelas seorang murid. Beberapa cerita yang Champ dapat, kebijakan ini berdampak menurunkan etos belajar murid. Ada manipulasi pendidikan yang terjadi, tapi perlu di garis bawahi nggak semua sekolah, ya.
Guru mengalami kesulitan bersuara dan bertindak untuk nggak menaikkan murid. Beda dengan tahun sebelumnya, ketika Kurikulum Merdeka belum digunakan, guru bisa nggak menaikkan murid yang tak punya etos belajar baik.
Kalau udah begini, apa esensi dari pembelajaran yang merdeka? Apa kata “merdeka” untuk guru hanya menjadi embel-embel belaka? Atau mungkin, guru memang telah dirancang sebagai objek yang tak boleh merdeka? Menurutmu gimana? Coba tulis di kolom komentar!
Di Hari Guru ini juga, Champ mau ajak kamu buat menyelesaikan berbagai Challenge di kampanye #BantuSekolahYuk2. Donasi yang terkumpul akan digunakan masing-masing sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk para murid. Mari berdampak untuk pendidikan PAUD di Indonesia!