Hai, Changemakers!
Selain memiliki kekayaan budaya, Indonesia juga memiliki kekayaan identitas religiusitas. Masyarakat Indonesia bukan hanya menganut lima agama, tapi juga kepercayaan lokal. Data Kemendikbud di tahun 2017, menunjukkan ada 187 aliran kepercayaan lokal di Indonesia.
Di antara ratusan kepercayaan lokal, salah satunya adalah kepercayaan Marapu. Sebuah kepercayaan masyarakat Sumba yang penganutnya mengalami penyingkiran.
Penyebaran Marapu di Sumba
Pada awalnya, Marapu berkembang di Suku Mbajo (Bima Kuno) yang menempati timur Pulau Sumbawa. Marapu kemudian mulai menyebar ke arah timur. Pesatnya perkembangan Marapu di Sumba disebabkan oleh adanya anggota keluarga bangsawan Kalepe yang dikucilkan karena menentang penguasa Bima Kuno. Ia pergi ke arah Sumba
Di sana, ia menikah dengan anak penguasa Sumba. Dari pernikahan itu, Marapu mulai menyebar ke masyarakat.
Di tengah perkembangannya yang pesat, di abad 8 dan 9 Masehi, Marapu mulai ditinggalkan masyarakat karena mulai masuknya Hindu dan Budha. Puncaknya pada abad 17 Masehi ketika kerajaan Islam berdiri di Bima.
Mengenal Sistem Kepercayaan Marapu
Sebenarnya apa itu Marapu? Bagaimana bentuk kepercayaannya?
Dari akar kata, Marapu terdiri dari dua kata: Ma berarti “yang” dan Rappu berarti “tidak disebut/satu/sakral”. Jika diartikan, Marapu berarti “Yang Sakral”. Berbeda dengan di Bima, Marapu memiliki arti “Yang Dekat”.
Penganut Marapu memiliki kepercayaan pada roh arwah leluhur. Tapi dalam entitas tertingginya, penganut Marapu mengimani Mawolu-Marawi (Yang Luhur). Menurut masyarakat, Mawolu-Marawi merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga nggak bisa komunikasi secara langsung.
Agar bisa berkomunikasi dengan Mawolu-Marawi, masyarakat meyakini bisa dilakukan dengan perantara roh leluhur karena telah kembali pada Sang Pencipta.
Penganut Marapu meyakini ada dua bentuk roh: hemangu dan ndewa. Hemangu adalah roh manusia ketika berada di dunia. Sedangkan ndewa merupakan roh yang telah meninggalkan dunia.
Sumber gambar: Detik
Sebagai bentuk perantara, penganut Marapu mengkeramatkan benda seperti tombak, emas, gong, gading, manik, dan benda khusus lainnya. Benda tersebut disimpan di kota peti atau di atas loteng rumah. Masyarakat percaya bahwa leluhur akan hadir memberi bantuan.
Ada banyak nilai filosofis dalam ajaran Marapu. Umbu Asminto Candra Domu Pandarangga, pemerhati kebudayaan Sumba mengatakan jika Marapu mengajarkan masyarakat untuk mencintai alam. Ajaran mencintai alam terlihat dari konsep Marapu, bahwa seluruh kehidupan bergantung kepada alam. Sehingga nggak boleh mengeksploitasi alam.
Mereka yang Tertindas
Ironisnya, meski memiliki ajaran yang luhur, arif, dan bijak, masyarakat yang menganut kepercayaan Marapu mengalami penyingkiran dan diskriminasi.
Mengutip OmongOmong tentang kisah Anjar Jawamar yang pergi ke kampung Raja Prailiu untuk bertemu Umbu Remi, seorang penghayat kepercayaan Marapu. Umbu Remi bercerita tentang sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan agama di sekolahnya.
Dari segi administrasi, Umbu Remi sulit mendapatkan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran. Bahkan Umbu Remi sulit mendapat bantuan pemerintah, sampai dicap kafir dan sesat dari masyarakat.
Masih serupa bersumber dari OmongOmong dari tulisan Agus Pratama Damanik. Di artikel tersebut terdapat cerita Lidda, masyarakat Kampung Tarung yang mengisahkan anaknya dipukul pihak sekolah karena mengaku penganut Marapu. Kisah serupa dialami Yuliana yang diusir dari sekolah karena menyatakan sebagai penganut Marapu.
Dari Project Multatuli, Champ ikut membaca kisah Hapu Tarambiha, penganut Marapu yang baru keluar dari penjara. Ia dipenjara karena dituding merusak tenda PT Muria Sumba Manis, proyek dari pemerintah untuk swasembada gula 2024.
Menurut Hapu Tarambiha, PT Muria Sumba Manis dinilai merusak tempat sembahyang Marapu.
Apa yang bisa kita pelajari? Kenyataanya hak masyarakat untuk menjalankan kepercayaan masing-masing masih belum terpenuhi. Kekerasan masih menjadi penyakit yang membuntuti, sehingga kata “aman” hanya menjadi angan-angan.
Angan-angan yang harus segera dihapuskan agar kata “aman” benar-benar berjalan. Pemerintah bisa membuat kebijakan yang inklusif untuk penganut kepercayaan lokal. Kelompok masyarakat bisa membuat ruang bagi penyintas isu beragama dan berkeyakinan, agar masyarakat semakin melek.
Beluk Membangun Ruang Aman Bagi Penyintas KBB
Bicara tentang ruang bagi penyintas kebebasan beragama dan berkeyakinan, Beluk menghadirkan Pagelaran Cahaya Karya di tanggal 20 Oktober 2024. Salah satu tujuan kegiatannya adalah menciptakan ruang aman dan inklusif bagi penyintas agar merasa dihargai, didengarkan, dan didukung, serta bebas dari diskriminasi dan penindasan.
Usaha Beluk dalam isu toleransi, bisa dilihat juga dari Challenge yang diluncurkan di aplikasi Campaign #ForABetterWorld. Beluk meluncurkan Challenge: Dukungan terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melalui Kesenian. Kamu bisa ikut dan selesaikan Challenge dari Beluk untuk membuka donasi Rp20ribu yang didanai Search for Common Ground. Donasi akan digunakan untuk membangun toleransi. Yuk, bersama Beluk, kita bergandengan tangan untuk membangun toleransi!
Referensi:
tps://news.detik.com/berita/d-7075422/mengenal-marapu-kepercayaan-adat-masyarakat-sumba#:~:text=Ada%20beragam%20warisan%20budaya%20yang,kehidupan%2C%20khususnya%20masyarakat%20asli%20Sumba.
https://news.detik.com/berita/d-7075422/mengenal-marapu-kepercayaan-adat-masyarakat-sumba#:~:text=Ada%20beragam%20warisan%20budaya%20yang,kehidupan%2C%20khususnya%20masyarakat%20asli%20Sumba.
https://omong-omong.com/marapu-agama-leluhur-yang-tersingkir-dan-terasing/
https://omong-omong.com/penganut-agama-marapu-dipaksa-memilih-atau-tersisih/
https://projectmultatuli.org/tuan-rumah-yang-dipinggirkan-umat-marapu-dulu-didiskriminasi-agamanya-kini-hidupnya-ditekan-proyek-swasembada-gula-jokowi/