Hai, Changemakers!
Selain mudik, ketupat, dan opor–lebaran juga identik dengan baju baru. Nggak heran kalau ada yang mengatakan, belum afdal merayakan lebaran tanpa baju baru. Di tengah hiruk-pikuk baju baru lebaran, kalian pernah terpikirkan, kenapa lebaran identik dengan baju baru?
Jawabannya adalah sejarah. Kesadaran menggunakan baju baru saat lebaran terbentuk karena adanya produksi budaya. Produksi budaya, nggak bisa dilepaskan dengan sistem sejarah.
Dimulai dari Kesultanan Banten dan Mengalami Guncangan saat Penjajahan Jepang
Kalau ditilik tentang sejarah baju baru lebaran dari media JurnalPos, tradisi tersebut udah ada sejak masa Kesultanan Banten di tahun 1596. Kala itu, keluarga bangsawan merayakan hari raya Idul Fitri dengan menggunakan baju baru.
Dalam tradisi penggunaan baju baru lebaran terjadi kesenjangan. Soalnya, rakyat biasa nggak punya pilihan banyak untuk memilih baju lebaran. Rakyat biasa harus menjahit baju sendiri.
Tradisi penggunaan baju baru saat lebaran, terus berlanjut hingga masa kolonial. Hal itu tercatat dalam laporan Snouck Hurgronje yang merupakan penasihat urusan pribumi untuk pemerintah Belanda. Snouck Hurgronje menjelaskan jika rakyat Indonesia merayakan Idul Fitri dengan bersilaturahmi, makan makanan spesial, dan menggunakan baju baru.
Memasuki masa penjajahan Jepang, tradisi lebaran menggunakan baju baru mengalami kelimpungan. Soalnya, pemerintah Jepang melakukan produksi besar-besaran untuk kepentingan militer, sehingga rakyat didorong melakukan kerja paksa yang berakibat pada krisis ekonomi.
Lahirnya Fenomena Baru di Masyarakat
Meski sempat terhenti di masa penjajahan Jepang, tradisi mengenakan baju baru saat lebaran tak mengalami kemandegan secara total. Buktinya hingga sekarang, masyarakat masih menjalankan kebiasaan tersebut. Seperti survei yang dipublikasi oleh GoodStats, bahwa 70 persen masyarakat masih membeli baju baru untuk merayakan lebaran. Alasannya, karena dianggap sebagai kebiasaan.
Sumber gambar: Kompas
Tapi menariknya nih, dari laporan GoodStats menunjukkan ada 27 persen masyarakat memilih buat nggak beli baju baru. 27 persen responden memilih untuk menggunakan baju yang udah lama. Angka 27 persen terbilang kecil, tapi persentase itu menggambarkan adanya fenomena baru di tengah masyarakat.
Kalau Champ melihat ke realitas, data yang dipublikasikan GoodStats memang benar. Beberapa kali Champ melihat konten Instagram Story yang mengajak untuk menormalisasikan menggunakan baju lama saat lebaran.
Kalau ditilik lebih sempit lagi, anak muda mulai enggan menjadikan baju baru sebagai bagian tradisi lebaran. Buktinya, lebaran di tahun kemarin, Champ memilih untuk nggak membeli baju baru. Bukan cuman Champ, teman-teman Champ juga ada yang memilih menggunakan baju lama saat lebaran.
Bukti konkret lainnya tergambarkan dari laporan Yugov Indonesia yang dimuat di Detik. Yugov Indonesia melakukan survei kalau Gen Z dan generasi milenial, nggak serta-merta mengalokasikan uang THR untuk belanja baju baru. 64 persen Gen Z mengalokasikan uang THR untuk ditabung dan 31 persen digunakan investasi. Sedangkan 58 persen generasi milenial menggunakan uang THR untuk ditabung dan 56 persen untuk zakat.
Melihat fakta anak muda yang udah nggak tertarik membeli baju baru buat lebaran, apa yang melatarbelakanginya?
Merayakan Sisi Positif Kesadaran Baru Masyarakat
Generasi muda mulai sadar kalau tradisi menggunakan baju baru saat lebaran sebenarnya nggak punya esensi. Anak muda mulai berpikir, untuk apa lebaran harus beli baju baru. Padahal, di lemarinya masih banyak baju yang layak dan bagus buat digunakan.
Kalau Champ baca di web komunitas gaya hidup Lemon8, mengunggah alasan anak muda bernama Sarah Aliyaah nggak beli baju baru buat lebaran. Menurutnya, perayaan lebaran hanya sebentar. Jadinya lebih baik pakai baju lama, biar bisa digunakan.
Alasan lainnya, anak muda mulai sadar dengan finansial. Mereka memilih menggunakan baju lama agar nggak terjebak pada sikap konsumtif. Anak muda mulai keluar dari logika industri yang membuat kesadaran terkontrol untuk mengonsumsi banyak hal agar mendapat pengakuan.
Ini menjadi kabar baik, loh! Jangan mengira, pakaian yang kita gunakan tak menyumbang efek buruk kepada lingkungan. Justru pakaian yang kita gunakan bisa menyebabkan sampah. Soalnya, pakaian yang digunakan manusia sulit terurai. Kalau menurut Environmental Protection Agency, baju bekas yang berakhir di TPA menjadi penyebab emisi gas rumah kaca.
Mari kita rayakan dan perluas normalisasi agar tak selalu membeli baju untuk menyambut lebaran. Selain menggunakan baju lama yang ada di lemari, kalau ingin membeli baju kamu bisa membeli pakaian preloved. Pakaian preloved adalah pakaian yang sudah pernah dipakai, namun masih dalam kondisi baik dan layak pakai kemudian dijual kembali, seringkali dengan harga lebih terjangkau seperti yang diajarkan Sarah Safira Sofiani seorang penggiat gaya hidup minimalis.
Kak Sarah aktif mengedukasi untuk menggunakan barang preloved. Kenapa? Saat interview sama Kak Sarah di Maret 2024, dia bilang kalau menggunakan barang preloved bisa memperpanjang umur sebuah barang, sehingga nggak terbuang cepat ke TPA.
Bagi Kak Sarah, menggunakan barang preloved harus tahu dulu siapa pemiliknya. Kemudian perhatikan kondisi pakaian dan jangan lupa untuk mencuci.
Gimana lebaran kamu? Mau pilih pakai baju lama atau preloved? Mari berlebaran dengan penuh hangat pada sesama manusia dan bumi. Karena bumi yang sehat, membuat silaturahmi manusia bisa makin bermartabat.
Mari terus mengupayakan krisis lingkungan dengan saling berkolaborasi. Dengan kolaborasi, menyelesaikan permasalahan sosial yang besar bisa menjadi terasa ringan. Campaign terbuka untuk menjadi “rumah” bagi para kolaborator. Informasi lebih lanjut bisa klik tautan berikut: https://campaign.com/funder
Referensi:
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7833082/beda-gaya-pakai-thr-gen-z-ditabung-milenial-buat-belanja-zakat
https://www.lemon8-app.com/@sar.aliaa/7332410385997349377?region=id
https://www.lemon8-app.com/@putri.uty.utami/7455112655255175681?region=id
27 persen tidak beli baju
https://www.rri.co.id/lain-lain/902873/dampak-baju-bekas-terhadap-lingkungan