Hai, Changemakers!
Tepat di tahun ini, perayaan Hari Kartini sudah berusia 61 tahun. Pemerintah pada tahun 1964 mengeluarkan Keputusan Presiden RI NO. 108 Tahun 1964 yang menganugerahi Kartini sebagai pahlawan nasional. Sebuah penyematan yang tak keliru, tapi seharusnya memunculkan tanda tanya besar. Mengapa?
Kalau Champ lihat dari regulasi syarat penetapan gelar pahlawan nasional, maka Kartini sangat pas. Salah satu syaratnya adalah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang memengaruhi pembangunan bangsa dan negara.
Seperti yang kita ketahui kalau Kartini punya gagasan cemerlang tentang kesetaraan. Sebagai perempuan bangsawan yang hidup di masa penjajahan, gagasan Kartini mengenai kesetaraan sangat cemerlang, berani, dan gigih.
Sumber gambar: Kompas
Kebijaksanaan Reflektif pada Kartini
Tapi, jiwa besar Kartini bukan hanya tentang kesetaraan. Terkadang, kita luput melihat Kartini dari sisi lain, sehingga membuatnya diseragamkan hanya tentang pejuang kesetaraan.
Dalam kepribadian Kartini yang lebih luas, ia juga memiliki kebijaksanaan yang reflektif. Apa sikap nyatanya? Apakah kalian tau kalau Kartini pernah mendapat beasiswa sekolah ke Belanda, tapi ia serahkan ke Agus Salim yang merupakan pahlawan nasional.
Kisah ini bermula ketika Kartini mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Tapi, karena Kartini akan menikah, maka beasiswa itu diserahkan ke Agus Salim. Alasannya, agar beasiswanya nggak sia-sia karena Agus Salim dinilai punya kegigihan dan kecerdasan. Meskipun Agus Salim menolaknnya karena bukan hasil jerih payahnya.
Masih ada kaitannya tentang pernikahan, sikap bijaksana reflektif dari Kartini lainnya bisa dilihat ketika dirinya memilih mau untuk dipoligami. Kalau kamu membaca kisahnya, barangkali kamu akan menilai Kartini nggak konsisten.
Kartini memang dikenal keras melawan poligami karena dinilai sebagai tindakan yang mencoreng derajat perempuan. Tapi, di satu sisi, Kartini menerima poligami Bupati Rembang ke-7 bernama Adipati Djojoadiningrat. Alasan Kartini mau dipoligami karena ingin melindungi ayahnya yang kerap menjadi bahan rundungan dan gosip karena sang anak tak segera menikah. Sebenarnya, ayah Kartini tak pernah memaksa anaknya menerima pinangan Adipati Djojoadiningrat.
Dua peristiwa Kartini di atas menggambarkan bagaimana Kartini bisa berpikir rasional reflektif. Kalau kata Fahrudin Faiz, berpikir rasional reflektif bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga memahami akibat yang akan dihadapi orang lain.
Privilege untuk Dampak yang Luas
Sikap yang tak kalah kerennya lagi dari Kartini adalah menggunakan privilege untuk kebaikan hidup banyak orang. Pemandangan yang kadang sulit ditemukan di tengah masyarakat yang gemar pamer harta, tahta, dan martabat untuk mendapatkan pengakuan.
Sebagai anak dari keluarga darah biru, Kartini punya akses pendidikan yang layak. Kumulatif pengetahuan yang ia miliki, bukan dinikmati sendiri. Kartini melakukan pengajaran kepada anak-anak perempuan. Awalnya hanya satu atau dua aja, lambat laun jumlah muridnya kian bertambah.
Meski sempat dikritik karena hanya mengajarkan anak dari kalangan bangsawan, Kartini punya alasannya tersendiri. Menurutnya, semakin banyak perempuan yang melek akan pengetahuan, semakin banyak agen yang membawa perubahan. Makanya Kartini memilih mendidik anak bangsawan karena pemerintah kolonial melarang mendidik anak pribumi. Jika dipaksakan, cita-cita Kartini untuk mengubah sistem feodal dan patriarki akan sukar.
Privilege yang dimiliki Kartini terus dikobarkan ketika ia menikah. Karena sebelum menikah, Kartini memberi syarat kalau harus dibangunkan sekolah untuk perempuan.
Perempuan yang Tak Pandang Bulu
Sikap lain dari Kartini yang bisa dipelajari adalah kejujurannya. Kalau salah, katakan salah meskipun status sosialnya tak sepadan. Seperti kritikan Kartini kepada Snouck Hurgronje, Penasihat Utama Pemerintah Belanda Urusan Islam dan Pribumi.
Kartini pernah meminta pendapat kepadanya tentang hukum perempuan dan bagi anak Islam. Snouck Hurgronje menjawab kalau anak perempuan ingin bebas, maka harus menikah–setelahnya lakukan perceraian. Sebuah jawaban yang menyulut amarah Kartini. Jawaban menyakitkan lainnya dari Snouck Hurgronje adalah ketika ia mengatakan kalau perempuan pribumi hidupnya nyaman. Melihat jawaban dari Snouck Hurgronje, Kartini melakukan kritik kepadanya.
Sejarah yang Diskriminatif pada Pahlawan Perempuan
Peradaban yang bersemayam di tubuh Kartini membuatnya memang pantas mendapat gelar pahlawan nasional. Tapi, apakah sikap-sikap arif perempuan Indonesia di masa lalu hanya dimiliki Kartini? Tentunya tidak! Banyak perempuan lain yang berjuang untuk perkembangan bangsanya.
Nah ini yang Champ katakan di awal, pemberian gelar pahlawan kepada Kartini, harusnya memunculkan tanda tanya. Di tengah banyaknya pejuang perempuan Indonesia, mengapa hanya segelintir yang mendapat gelar pahlawan? Dari siaran pers Komnas Perempuan, sampai tahun 2023 baru ada 16 perempuan yang baru diakui sebagai pahlawan. Berbanding terbalik dengan laki-laki yang ada 190 nama diakui pahlawan.
Sumber gambar: Gramedia
Kok bisa? Jawaban kritis Champ dapatkan dari artikel VOA Indonesia. Minimnya perempuan yang mendapat gelar pahlawan karena penulisan sejarah masih jauh dari pendekatan perempuan. Seharusnya pahlawan bukan hanya dimaknai dalam ranah politik dan pertempuran sejarah. Pahlawan bisa dinilai dari perjuangannya untuk melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Jawaban menarik lainnya dihadirkan oleh Amalia Andini di Omong Omong. Menurutnya, penyingkiran perempuan dalam pemberian gelar pahlawan juga disebabkan oleh kuatnya cara pandang peninggalan Orde Baru. Di masa Orde Baru, identitas perempuan dikonstruksikan dengan lemah dan lembut. Tak heran kalau perempuan yang menentang status quo kerap dilupakan.
Dengan krisis pahlawan perempuan yang terjadi, maka ini waktunya untuk menyuarakan dan beraksi untuk menghidupkan para pejuang perempuan dalam catatan sejarah. Barangkali perayan Hari Kartini di tahun 2025 ini adalah alarm agar kita memberi aksi nyata kepada perempuan yang namanya tak dianggap.
Kalau fenomena krisis gelar pahlawan bagi pejuang perempuan Indonesia dibiarkan begitu aja, lalu apa arti Hari Kartini untuk kita? Apakah sekadar memasang foto atau merayakannya dengan kebaya?
Di Hari Kartini ini kamu juga bisa memerjuangkan pendidikan seperti spirit Kartini. Kamu bisa bantu sekolah di Kudus meningkatkan keterampilan sosial dan emosional muridnya. Kamu tinggal ikut dan selesaikan Challenge di kampanye #TumbuhBersama. Aksi yang kamu selesaikan akan membuka donasi Rp20 ribu yang didanai Bakti Djarum Foundation. Donasi akan digunakan sekolah untuk meningkatkan keterampilan sosial dan emosional. Yuk, jadilah Kartini dengan memperbaiki pendidikan di Kudus!
Referensi:
https://www.konde.co/2025/04/antara-kartini-snouck-hurgronje-dan-etika-kebangsaan-yang-bebas-dari-patriarki/
https://mojok.co/kotak-suara/seumur-hidup-melawan-mengapa-kartini-akhirnya-mau-dipoligami/
https://historia.id/surat-pendiri-bangsa/koleksi/surat-kartini
https://omong-omong.com/tak-kasat-mata-sebuah-refleksi-di-hari-kartini/
https://mojok.co/kotak-suara/seumur-hidup-melawan-mengapa-kartini-akhirnya-mau-dipoligami/
Arif, Muhkhrizal., dkk., 2020. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Sleman: AR-RUZZ Media.
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-memperingati-hari-pahlawan-2024