Ditulis oleh: SD 2 Piji
Jika kita ingin menciptakan dunia yang lebih baik, bukankah kita harus memulainya dari cara anak-anak membaca dunia dan meresponsnya dengan hati yang utuh?" Kalimat ini bukan sekadar perenungan, tetapi sebuah panggilan untuk mengubah cara kita memandang pendidikan. Literasi dan kecakapan sosial emosional bukan sekadar dua kompetensi terpisah, tetapi dua sisi dari satu mata uang yang sama: kesiapan manusia untuk menjalani hidup secara bermakna.
Di tengah cepatnya perubahan zaman, dunia menghadapi tantangan yang tidak hanya bersifat teknologis dan ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek kemanusiaan yang mendasar. Anak-anak dan remaja masa kini tumbuh dalam lingkungan yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya dunia yang serba cepat, penuh distraksi digital, dan kerap kali kurang ruang untuk membangun hubungan emosional yang mendalam. Di tengah derasnya arus informasi, sering kali justru terjadi kemunduran dalam pemahaman makna. Inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa penguatan **kemampuan literasi dan kecakapan sosial emosional** menjadi semakin relevan, bahkan mendesak.
Secara filosofis, pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi tentang **membentuk manusia**. Pendidikan sejatinya harus mengembangkan potensi manusia secara menyeluruh: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun kenyataannya, sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, masih terlalu berfokus pada aspek kognitif atau akademik semata, dan kurang memberi ruang bagi pengembangan karakter serta kecakapan hidup.
**Kemampuan literasi**, jika dimaknai secara luas, melampaui sekadar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Literasi hari ini adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dalam kehidupan sehari-hari. Literasi juga mencakup literasi digital, literasi media, bahkan literasi budaya. Individu yang literat tidak hanya menguasai kata-kata, tetapi juga mampu membaca situasi, memahami dinamika sosial, dan memetakan makna dalam informasi yang kompleks.
Namun, dalam praktiknya, anak-anak yang mampu membaca teks belum tentu mampu memahami pesan di baliknya, terlebih lagi menerapkannya secara kontekstual dalam kehidupan nyata. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara **kemampuan teknis membaca** dengan **pemahaman yang mendalam**, serta **penerapan nilai dalam konteks sosial dan emosional**.
Di sisi lain, **kecakapan sosial emosional (social-emotional competencies)** juga sangat menentukan keberhasilan seseorang, tidak hanya di dunia pendidikan, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan dunia kerja. Aspek ini mencakup kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri, memahami perspektif orang lain, membangun relasi yang sehat, menyelesaikan konflik secara damai, serta mengambil keputusan yang etis dan bertanggung jawab. Penelitian dari Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) menyatakan bahwa anak-anak yang mendapatkan pendidikan sosial emosional secara sistematis menunjukkan peningkatan signifikan dalam prestasi akademik, perilaku prososial, serta penurunan dalam masalah perilaku dan stres.
Lebih jauh, krisis empati dan koneksi sosial di kalangan generasi muda menjadi sinyal bahwa dunia tidak hanya butuh anak-anak yang pintar secara akademis, tetapi juga anak-anak yang **peduli, tangguh, dan sadar diri**. Di Indonesia, misalnya, banyak kasus perundungan (bullying), kekerasan di sekolah, dan kecemasan sosial terjadi bukan karena anak-anak tidak tahu bahwa itu salah, tetapi karena mereka belum memiliki keterampilan emosional untuk mengelola impuls, memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain, atau membangun relasi yang sehat.
**Permasalahan ini menjadi lebih kompleks** ketika institusi pendidikan belum sepenuhnya memberikan ruang atau metode yang efektif untuk membangun kedua dimensi tersebut secara bersamaan. Kurikulum yang padat, fokus pada ujian, dan kurangnya pelatihan bagi guru dalam aspek sosial emosional menjadi tantangan tersendiri. Padahal, antara literasi dan sosial emosional terdapat hubungan yang sangat erat. Anak yang memiliki kesadaran diri dan rasa percaya diri lebih mudah menerima pembelajaran, lebih terbuka pada sudut pandang baru, dan lebih mampu membaca serta menafsirkan informasi secara reflektif.
Oleh karena itu, **membangun kemampuan literasi dan sosial emosional secara terpadu** menjadi kebutuhan strategis untuk mencetak generasi yang mampu beradaptasi, berpikir kritis, dan tetap memiliki kepekaan sosial. Pembangunan ini tidak hanya berdampak pada keberhasilan individu, tetapi juga pada ketahanan sosial, demokrasi, dan kualitas masyarakat di masa depan.
Dalam konteks global, integrasi antara literasi dan kecakapan sosial emosional telah menjadi perhatian banyak lembaga internasional seperti OECD, UNICEF, dan UNESCO. Mereka menekankan bahwa pendidikan abad ke-21 harus mencakup **“the whole child” approach** yakni pendekatan pendidikan yang tidak hanya menekankan pada pencapaian akademik, tetapi juga kesejahteraan psikologis dan kemampuan interpersonal anak.
Maka dari itu, SD 2 Piji berupaya untuk mengangkat secara mendalam bagaimana pentingnya peningkatan kemampuan literasi dan kecakapan sosial emosional dalam konteks pendidikan berbagai upaya dilakukan dalam mengeksplorasi pendekatan-pendekatan praktis dan strategis yang dapat diterapkan oleh para pendidik, orang tua, serta pembuat kebijakan dalam membangun generasi masa depan yang literat dan berjiwa kuat.
Untuk mendukung upaya tersebut kami mengajak untuk melakukan aksi Membangun generasi Cerdas Literasi dan Sosial Emosional.