Hai, Changemakers!
Pendidikan yang inklusif dan menyeluruh bukan cuma soal akademik, tapi juga soal perasaan. Itulah yang jadi semangat utama Bu Anida Dina Alaiyya, S.Pd, wali kelas IV C dari MI NU Raudlatut Tholibin, Jepangpakis, saat bergabung di Kampanye #TumbuhBersama. Ia melihat sendiri bagaimana beragam latar belakang siswa—mulai dari faktor genetik, lingkungan, hingga neurologis—membutuhkan pendekatan belajar yang lebih peka, personal, dan empatik.
“Banyak dari siswa kami yang membutuhkan perhatian khusus,” ujar Bu Anida. Tapi justru dari situlah semangat untuk membangun pembelajaran yang inklusif dan berjiwa sosial muncul. Sekolah jadi tempat yang bukan hanya mendidik, tapi juga memeluk setiap perbedaan.
Dari Seni Lingkungan hingga Dinding Kosakata
Di kelas Bu Anida, kegiatan belajar nggak cuma duduk dan mencatat. Ia dan rekan-rekan guru menerapkan pendekatan pembelajaran menyenangkan yang melibatkan media praktik, seni lingkungan, dan kebiasaan-kebiasaan sederhana tapi bermakna—seperti saling menghormati antar teman dan guru. “Kebiasaan baik akan menumbuhkan kebiasaan yang lebih baik lagi,” katanya.
Salah satu inovasi yang diterapkan adalah "dinding kosakata", tempat kata-kata yang sering dipakai dipajang di tempat umum agar mudah diingat. Siswa juga diajak membaca bersama, mengeksplorasi kosakata baru, dan belajar dengan pendekatan multisensori—menggabungkan visual, auditori, dan kinestetik—agar lebih mudah menyerap pelajaran.
Dukungan yang Menyentuh Hati
Yang bikin hangat, gerakan ini nggak berjalan sendiri. Orang tua, guru, hingga komunitas sekolah ikut serta dalam membangun ruang belajar yang ramah dan inklusif. Mereka saling menguatkan lewat sosialisasi di grup WhatsApp kelas, berbagi informasi, dan menyemangati satu sama lain agar anak-anak merasa dihargai dan punya tempat untuk tumbuh.
Lewat link kampanye yang disebar ke berbagai grup, masyarakat diajak ikut terlibat dalam gerakan pendidikan ini. Dan hasilnya? Bukan hanya dukungan moral yang didapat, tapi juga semangat baru untuk mewujudkan sekolah yang lebih adaptif terhadap kebutuhan semua murid.
Untuk Siswa Disleksia dan Media Belajar yang Lebih Ramah
MI NU Raudlatut Tholibin juga punya rencana besar untuk dana yang dikumpulkan dari Challenge Dukung Pembelajaran Inklusif dan Pengembangan Sosial Emosional Anak Disleksia di Jepangpakis. Dana ini akan dipakai untuk mendukung siswa disleksia agar bisa mendapatkan akses pembelajaran digital secara gratis dan pengadaan media belajar yang sesuai kebutuhan mereka. Alat-alat pembelajaran yang lebih interaktif dan ramah anak disiapkan agar semua siswa, termasuk yang memiliki tantangan belajar, bisa berkembang maksimal.
Kalau kamu percaya bahwa pendidikan adalah tentang menerima semua anak apa adanya dan membantu mereka berkembang jadi versi terbaik diri mereka—yuk, ikut berkontribusi dalam Kampanye #TumbuhBersama dengan menyelesaikan Challenge Dukung Pembelajaran Inklusif dan Pengembangan Sosial Emosional Anak Disleksia di Jepangpakis. Karena setiap aksi kamu bisa jadi jalan terang untuk masa depan anak-anak di Jepangpakis dan di seluruh Indonesia! ✨