āHai, Changemakers!Ā
Pernah bayangin nggak, gimana jadinya kalau sekolah bukan cuma tempat belajar Matematika atau Bahasa Indonesia, tapi juga jadi ruang aman buat ngobrolin perdamaian, keberagaman, dan toleransi? Nah, itulah yang lagi diperjuangkan sama Meti Puspitasari dan teman-temannya dari Nasyiatul Aisyiyah Lampung lewat program Breaking Down the Wall (BDW).
Program ini hadir buat mendorong dialog antara siswa dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda, supaya mereka bisa saling dengerin, belajar bareng, dan tumbuh jadi generasi yang penuh empati dan nggak gampang nge-judge orang lain.
Semangat dari Proposal Hingga Pelatihan di BandungĀ
Perjalanan Meti dan timnya dimulai dari semangat buat daftar kampanye #Friendship4Peace untuk terpilih menjadi salah satu organisasi yang mendapatkan manfaat pelatihan program BDW. Mereka nyusun proposal dengan sepenuh hati, selesaikan berbagai misi seleksi, sampai akhirnya terpilih jadi salah satu dari enam organisasi terbaik. āKami bener-bener total,ā cerita Meti.
Setelah itu, mereka ikut pelatihan fasilitator di Bandungādan di sanalah titik baliknya. Di pelatihan ini, mereka belajar pendekatan ARKA (Aktivitas, Refleksi, Kreativitas, Aksi) dan metode FIDS (FeelāImagineāDoāShare) yang super relatable buat anak muda.
Mereka juga dapet bekal soal manajemen risiko, cara bikin ruang diskusi yang aman, dan teknik fasilitasi kreatif. āPelatihan ini bikin kami makin pede turun langsung ke sekolah,ā ujar Meti dengan bangga.
Tantangan Datang, Tapi Nggak Buat MundurĀ
Tentu aja nggak semua jalanan mulus. Tantangan terbesarnya? Koordinasi dan manajemen waktu. Apalagi metode BDW ini baru buat banyak orang. āKami harus adaptasi, dari internal tim sampai komunikasi sama sekolah mitra,ā katanya.
Tapi, semua tantangan itu jadi pelajaran berharga. Tim Nasyiatul Aisyiyah Lampung langsung gercep: mereka perjelas pembagian tugas, rapihin dokumentasi, dan bikin sistem kerja yang lebih efisien.
Antusias Guru & Siswa yang Bikin TerharuĀ
Begitu program BDW di sekolah dimulai, semua kerja keras itu langsung berbuah manis. Siswa-siswa langsung nyatu sama kegiatanādari diskusi, permainan, sampai sesi reflektif. āAda yang nggak sabar nunggu hari kedua, loh!ā cerita Meti, senyum-senyum.
Guru-guru juga nggak kalah antusias. Banyak yang bilang materi 12 Nilai Dasar Perdamaian sangat relevan dan membuka cara pandang baru dalam mengajar. Bahkan, ada guru yang mulai menerapkan nilai-nilai ini dalam kegiatan belajar-mengajar harian. āJadi bukan cuma berdampak instan, tapi bisa berkelanjutan,ā tambah Meti.
Transformasi Nyata dari Sekolah ke KomunitasĀ
Dampaknya? Nyata banget! Ada siswa yang awalnya malu dan takut bicara, setelah ikut sesi āMengenal Diriā, jadi lebih percaya diri dan aktif di forum OSIS. Ada juga guru, seperti Pak Albertus, yang awalnya dateng cuma karena tugas, tapi pulang dengan perspektif baru soal kesetaraan gender dan pentingnya refleksi nilai di kelas.
Sekarang, beliau mulai membuka ruang kepemimpinan buat siswi dan memulai kelas dengan momen refleksi nilai perdamaian. Dari situ, nilai-nilai damai mulai tumbuh, nggak cuma di sekolah, tapi juga di rumah dan lingkungan sekitarnya.
Harapan: Damai yang Nggak Cuma Jadi Tema, Tapi Gaya Hidup šļø
Buat Meti dan tim, BDW bukan sekadar program. Ini adalah gerakan. Mereka percaya bahwa nilai-nilai damai bisa ditanam, dipelajari, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
āKami ingin toleransi dan cinta itu nggak cuma jadi materi pelajaran, tapi jadi bagian dari kehidupan,ā kata Meti. Sekarang mereka juga kerja bareng komunitas pemuda lintas iman buat bikin kampanye damai bareng. Karena mereka yakin, selama masih ada keberanian untuk mendengarkan dan berjalan bersama, masa depan yang penuh kedamaian pasti bisa diwujudkan.
Yuk, Jadi Bagian dari Gerakan Damai Ini!
Kalau kamu percaya kalau keberagaman itu kekuatan, dan bahwa damai itu bisa dipelajari, yuk dukung terus program-program kayak BDW. Karena membangun perdamaian bukan cuma tugas fasilitator atau guru, tapi tugas kita semuaāanak muda yang penuh semangat dan harapan. š