Hai, Changemakers!
Gimana rasanya kalau di sekolah kamu, selain belajar IPA dan Matematika, kamu juga diajak untuk ngerti satu sama lain dan ngobrol soal keberagaman?
Yap, itu yang lagi dilakukan oleh Komunitas CAMAR lewat program Breaking Down the Wall (BDW) di Medan. Bareng siswa dan guru dari SMP Negeri 10 Medan, SMP Nurul Hasanah, dan SMP GKPI Pamen, CAMAR bikin ruang belajar yang isinya nggak cuma soal pelajaran, tapi juga soal menghargai perbedaan.
Serius Tapi Asik, Persiapan Tim CAMAR
Menurut Kak Anrickson, Ketua Komunitas CAMAR, semuanya dimulai dari diskusi internal yang super serius tapi penuh semangat. Mereka nyusun proposal, ikut pelatihan fasilitator di Bandung, dan belajar banyak banget soal metode ARKA dan FIDS yang bikin pelatihan jadi interaktif dan penuh makna.
Tim CAMAR juga menghubungi pihak Dinas Pendidikan dan LPMP Sumut supaya bisa dapat dukungan maksimal. Nggak cuma itu, mereka juga rekrut volunteer dan identifikasi sekolah-sekolah yang cocok buat jadi tempat pelaksanaan BDW di sekolah versi komunitas CAMAR
“Kita pengin semua prosesnya solid, nggak cuma asal jalan,” kata Kak Anrickson. Dan bener aja, hasilnya terasa banget di lapangan!
Tantangan Selalu Ada. Tapi Semangat Nggak Pernah Kendor
Buat siswa, awalnya ada yang bingung, bahkan ragu buat ikut aktif. Mereka belum ngerti sepenuhnya soal tujuan BDW dan ada juga yang nggak nyaman berbagi cerita pribadi. Tapi setelah sesi-sesi diskusi dan permainan mulai jalan, suasana berubah. Mereka jadi lebih terbuka, bahkan semangat ngerjain proyek kolaboratif!
Buat guru, tantangannya lain lagi. Ada yang ngerasa ini tambahan tugas. Ada juga perbedaan pandangan antar guru soal cara ngajar nilai-nilai perdamaian. Tapi setelah sesi Story of Change (SOC), banyak guru yang langsung mind blown!
Salah satu guru biologi bahkan bilang, “Toleransi itu kehendak biologis.” Wah, keren banget nggak sih? Guru-guru juga mulai nyelipin nilai perdamaian ke pelajaran mereka
Siswa dan Guru Sama-sama Bersinar
Putri Adelia, salah satu CAMAR yang terlibat langsung, cerita soal bagaimana tim nyiapin rundown kegiatan sampai materi pelatihan dengan detail. Bahkan, mereka juga siapin skenario cadangan kalau ada kendala teknis.
Menurut Putri, pelajar udah mulai bisa nentuin arah dan tujuan dari proyek yang mereka angkat. Ada yang fokus ke isu bullying, ada juga yang bahas tentang keberagaman agama. Semua punya konsep dan alasan yang kuat. Ini bukti nyata kalau pelajar bukan cuma ngerti materi, tapi juga punya visi!
Dan guru? Wah, ada yang sampai bilang BDW harus dilanjut di luar sekolahbahkan antar komunitas lintas agama. Salah satu guru bahkan pengin ngajak komunitas gereja buat kolaborasi. Mantep, kan?
Toleransi itu Harus Dipraktikkan, Bukan Cuma Diajarkan
Lewat BDW, siswa dan guru belajar langsung dari pengalaman. Mereka ngobrol, refleksi, main board game, dan bikin proyek nyata. CAMAR pun selalu ada di belakang layar, kasih ruang diskusi di WhatsApp supaya komunikasi terus jalan.
Dari situ, perubahan mulai kelihatan. Guru jadi lebih terbuka dan reflektif, siswa lebih percaya diri dan berani menyuarakan ide. Intinya, sekolah jadi tempat yang lebih inklusif dan menyenangkan buat semua.
Yuk, Jadi Bagian dari Gerakan Ini!
Buat kamu yang percaya kalau perbedaan bukan alasan untuk perpecahan, tapi justru peluang buat bersatu, program seperti Breaking Down the Wall dan menghasilkan kampanye #Friendship4Peace ini adalah bukti bahwa damai itu bisa dimulai dari hal kecil.
Kata Kak Anrickson, “Toleransi bukan cuma soal menerima, tapi memahami dan menghargai.” Dan buat Putri, “Perbedaan bukan hal yang harus dijauhi, tapi dihargai.”
Kalau mereka bisa, kita juga pasti bisa, Changemakers! Yuk, terus dukung gerakan perdamaian di Indonesia. Karena generasi damai adalah generasi yang kita semua butuhkan. 💙
Location
