#InspiringIndonesia

Layak Dapat Suaramu! Ini 5 Finalis Best Project Film #InspiringIndonesia 2025

profile

campaign

Update


Sebagai Changemakers, tentunya kita pun setuju bahwa setiap individu di setiap generasi, punya cara yang berbeda untuk menyampaikan pendapat, bersuara, bahkan untuk mengaktualisasikan dirinya. Seperti generasi boomers dan millenials yang banyak menuliskannya di buku harian, sementara gen Z lebih memilih kamera, layar, dan film untuk menceritakan apa yang dirasakan.


Tahukah Changemakers? Ternyata isu kesehatan mental orang muda di era sekarang bukanlah sekadar masalah yang sepele? Data WHO (2023) menyebutkan bahwa 1 dari 7 orang muda di dunia mengalami masalah mental, mulai dari kecemasan hingga depresi. Di Indonesia, laporan Kemenkes (2024) juga menunjukkan bahwa lebih dari 15 juta orang usia 15–24 tahun berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental, angka yang bikin kita sadar betapa pentingnya ruang aman untuk berbagi cerita.


Menjawab tantangan tesebut, tentunya #InspiringIndonesia 2025 peduli dengan permasalahan orang muda terkait dengan Youth Mental Well-Being. Oleh karena itu, lima film pendek karya anak bangsa, telah lahir untuk menyuarakan keresahan tersebut. Film-film bukan sekadar karya visual, tapi cermin kehidupan nyata: tentang mimpi yang direnggut, trauma yang diwariskan, hingga keberanian untuk didengar.


Nah, kini giliran kamu sebagai Changemakers untuk menilai film mana yang paling menyentuh hatimu, berdampak, dan layak disebut sebagai Best Project Film 2025?

1. PeaceGeneration Indonesia: “Inovasi Pembelajaran Sosio-Emosional Berbasis Teknologi”

Kak Adriana Anjani, selaku penanggungjawab dari PeaceGeneration Indonesia, percaya bahwa “Youth Mental Well-Being generasi muda tak bisa tumbuh sendirian”. Isu ini butuh dukungan dari semua kalangan, mulai dari sekolah, keluarga, hingga kebijakan publik. Oleh sebab itu, lewat film ini, PeaceGeneration Indonesia menegaskan bahwa teknologi bisa menjadi jembatan untuk menciptakan pembelajaran sosio-emosional yang lebih dekat dengan anak muda.


        “Kesehatan mental anak muda tidak hanya dimulai dari diri sendiri, tapi juga dari lingkungan yang mendukungnya,” kata Kak Adriana kepada tim Campaign for Good

Film ini juga menjadi sebuah pengingat bahwa stigma di kalangan orang tua masih nyata, dan generasi muda bisa menjadi penggerak perubahan itu. Kamu udah nonton filmnya?


2. Rumah Visioner: “When Hope Has a Home”

Bagaimana rasanya, jika kita punya mimpi, tapi terasa terlalu mewah untuk digenggam? Itulah pesan dari film When Hope Has a Home karya Rumah Visioner. Kak Fakhita Safana Mumtaz, selaku  penanggungjawab  Rumah Visioner ingin menunjukkan bahwa tidak semua anak punya kesempatan yang sama untuk bermimpi. Ada yang harus putus sekolah, bahkan ada yang harus bertahan hidup lebih dulu sebelum bisa melanjutkan cita-citanya.


        “Mimpi adalah hak semua anak, dan kita bisa menjadi jembatan agar mereka kembali berani bermimpi,” ujar Kak Fakhita kepada Tim Campaign for Good.


Uniknya, proses produksi film yang penuh keterbatasan justru melahirkan kehangatan. Kisah tentang talent, yang ternyata teman lama dari tokoh asli, menjadi momen emosional yang bikin kru sadar bahwa perjalanan delapan tahun bukan hanya soal bertahan, tapi juga soal keberanian menjaga harapan. Film ini mengajak kita ikut merenung:  “sudahkah kita menjadi “rumah” bagi orang di sekitar kita yang sedang berjuang dalam diam?”

Baca juga: Cerita Yuk! Apa yang Membuat Kamu Peduli dengan Kesehatan Mental?


3. sustainHER Indonesia: The Same “Worry”

Film The Same “Worry” membawa kita pada isu yang jarang dibicarakan: trauma generasi. Bagi Kak Fika Dian Nuranita (penanggungjawab sustainHER Indonesia), trauma merupakan sebuah luka yang diwariskan tanpa sadar dari orang tua ke anak, lalu terus berulang dalam hubungan romantis dan sosial.


        “Walaupun setiap tokoh dalam film ini mengalami bentuk kekerasan yang berbeda, semua berawal dari kekhawatiran yang sama: layak atau tidak untuk dicintai,” jelas Kak Fika kepada tim Campaign for Good.


Meskipun diproduksi hanya dalam tiga hari, film ini jadi karya yang raw, emosional, dan penuh kejujuran. Para penyintas yang menjadi bagian tim produksi menjadikan film ini sarana memproses luka. Film ini menggugah penonton untuk berani cari pertolongan, bukan sekadar berbagi luka tanpa pemulihan. Sebuah pesan yang relevan di era media sosial, ketika “speak up” sering berhenti pada cerita, tanpa langkah nyata mencari ruang aman. Sudahkan kamu menonton filmnya?


4. Hello Sister: “Yang Diam Yang Bersuara”

Pernah enggak kita merasakan, rasanya  ingin berteriak, tapi harus terhenti di tenggorokan. Diam jadi satu-satunya cara bertahan. Itulah kisah Giri dalam film Yang Diam Yang Bersuara. Mutiara Ramadhon sebagai PIC tim Hello Sister juga ingin mengingatkan bahwa diam bukan berarti tak ada apa-apa.


        “Di balik keheningan ada rasa takut, malu, dan trauma yang bisa menggerus kesehatan mental. Lewat film ini, kami ingin memberi ruang bagi suara-suara yang terpendam,” ungkap Kak Mutiara kepada tim Campaign for Good.


Meski terbatas budget dan kru produksi, namun semangat tim untuk melahirkan film yang profesional dan penuh jiwa tidaklah padam. Mereka ingin lebih banyak orang sadar bahwa kekerasan seksual bukan hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga luka batin yang membuat korban menjadi bungkam. Film ini merupakan sebuah ajakan untuk jangan biarkan mereka diam terlalu lama. Mari jadi telinga yang mau mendengar.

Baca juga: Spesial World Mental Health Day: Seberapa Aware Kamu Mengenai Kesehatan Mental?


5. Sudut Aman: “Dengarkan Aku”

Apa jadinya jika ruang aman itu tidak ada di hidup kita? Bahkan jika suara  orang muda  dipandang tabu, dan pengalaman traumatis yang hanya dianggap sepele? Itulah keresahan yang melahirkan film Dengarkan Aku dari Sudut Aman.


        “Seringkali yang dibutuhkan seseorang bukan jawaban instan, melainkan ruang aman untuk didengar tanpa dihakimi,” kata Kak Aruna Mahira kepada tim Campaign for Good.


Film ini menunjukkan  latar isu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang meningkat 40,8% di 2024 (Komnas Perempuan), dan ingin menunjukkan bahwa dunia digital juga bisa menjadi ruang yang berbahaya. Proses produksinya penuh cerita haru, termasuk momen ketika seorang aktor tiba-tiba menangis saat syuting karena kisahnya terasa begitu personal. Momen itu  menjadikan proses pengambilan adegan bukan hanya proses kreatif, tapi juga ruang pemulihan. Film ini rasanya menjelma menjadi bentuk  seruan, bahwa kita didorong untuk menjadi  pendengar yang baik, karena hanya dengan “mendengarkan” pun kita bisa menyelamatkan sesama. Kamu setuju enggak?


6. Saatnya Suaramu Menjadi Bagian Perubahan

Kelima film ini bukan sekadar karya, tapi refleksi kehidupan nyata orang  muda Indonesia hari ini. Ada yang berjuang melawan stigma, ada yang merajut kembali harapan, ada yang menyuarakan luka, dan ada yang menciptakan ruang aman. Namun, perjuangan ini tidak bisa berhenti di layar. Butuh dukunganmu agar pesan mereka semakin lantang terdengar.  Kini giliranmu untuk memilih. Film mana yang paling menyentuh, berdampak, paling relevan dengan keresahanmu, dan layak disebut sebagai Best Project Film #InspiringIndonesia 2025? Langsung meluncur ke platform Campaign for Good selesaikan Challengenya untuk berikan suaramu, karena perubahan sosial tidak hanya dimulai dari kamera, tetapi juga dari suara sederhana yaitu suara kamu!

heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign for Good app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone