#InspiringIndonesia

Siap Vote Favoritmu? Ini 9 Finalis Best Micro Film #InspiringIndonesia 2025

profile

campaign

Update


Kualitas dari sebuah film kini tak melulu soal durasi panjang. Kadang, cerita paling menyentuh justru bisa lahir hanya dari durasi yang singkat. Seperti film pendek yang halam 5–10 menit bisa memantik tawa, memicu air mata, dan bahkan membuka mata kita terhadap realitas sosial yang selama ini terlewat.

Melalui ajang #InspiringIndonesia 2025 dalam kategori Best Micro Film, para kreator muda ini menghadirkan kisah yang dekat dengan kehidupan kita: tentang keluarga, generasi muda, hingga isu kesehatan mental yang sering dianggap tabu. Tak hanya itu, hal yang lebih penting, mereka ingin mengajak kita semua untuk lebih peka, lebih mendengar, dan lebih peduli.

Nah, kini waktunya kamu menjadi bagian dari perjalanan ini. Mana favorit Changemakers yang pantas jadi juara untuk melaju ke tahap selanjutnya?


1. 8 Production House: “Kolotnialisme” 

Kak Fathan Dzaky, sutradara sekaligus penulis naskah, memilih jalur berbeda dalam membicarakan kesehatan mental orang muda. Bukan sekadar berbicara tentang depresi atau cemas, ia menggali lebih jauh ke akar masalah, seperti keluarga dan pola komunikasi yang kurang baik.

“Tekanan mental itu adalah sebuah warisan dari para pendidik sebelumnya. Orang tua itu keras, bukan berarti nggak sayang sama kamu. Kita hanya perlu belajar mendengar untuk mengerti, bicara untuk dimengerti,” ujar Kak Fathan kepada tim Campaign for Good

Lewat “Kolotnialisme,” Kak Fathan mengajak kita untuk tidak saling menyalahkan. Film ini adalah cermin bagi keluarga Indonesia, tentang cinta yang sering disalahpahami, tentang anak-anak yang ingin didengar, dan orang tua yang sebenarnya tulus mencintai.

2. kumparan: “The Strawberry Generation” 

Istilah “generasi stroberi” sering dipakai untuk menggambarkan anak muda yang dianggap rapuh. Tapi, benar nggak sih? Lewat film ini, Kak Dede Rohali selaku penanggungjawab tim kumparan mencoba melihat lebih dalam, membenturkan pandangan dua generasi yang berbeda: millennial dan Gen Z.

“Jangan buru-buru memberi label ke sebuah generasi. Di balik stigma ada cerita, ada tekanan, ada perjuangan yang mungkin kita belum pahami,” kata Kak Dede kepada tim Campaign for Good.

Film ini lahir dari pengalaman nyata: bekerja bersama tim lintas generasi, melihat semangat yang membara tapi juga beban yang kadang tak terlihat. Kesehatan mental jadi sorotan utama, dengan pesan bahwa yang paling penting adalah saling mendengar dan menghargai.

Baca juga: Spesial World Mental Health Day: Seberapa Aware Kamu Mengenai Kesehatan Mental?

3. Entropy Creative: "Rona"

Kak Khoiri Susilo Ginanjar, selaku sutradara muda dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, membawa isu PTSD yang banyak dialami oleh para orang muda dalam film "Rona." Kak Khoiri terinspirasi dari pengalaman teman-temannya yang merasa diabaikan saat menghadapi gangguan mental.

"Saya mempunyai beberapa teman remaja dan dewasa yang mengalami hal serupa. Jadi, sangat disayangkan karena kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental kepada keluarga atau orang terdekatnya," ungkap Kak Khoiri kepada tim Campaign for Good.

Tantangan utama mereka adalah melatih aktor amatir dan menyelesaikan editing hanya dalam tiga hari. Adegan metafora seperti dua tangan yang bersentuhan, terinspirasi dari "The Creation of Adam," menjadi simbol dukungan bagi mereka yang menghadapi trauma. Pesan utamanya jelas bahwa tidak ada yang seharusnya menghadapi traumanya sendirian.

4. Frame On Multimedia: "For Silent People"

Kak Muhamad Rifqi Rifquddin selaku penanggungjawab Frame On Multimedia menyampaikan bahwa film ini mengangkat isu yang jarang mendapat perhatian yakni “stigma pria yang jarang bercerita tentang kesehatan mental”. Dimana film ini terinspirasi dari survei I-NAMHS 2022 yang menunjukkan bahwa jutaan orang muda Indonesia berjuang dengan masalah mental.

"Judul For Silent People kami gunakan sebagai pesan bahwa film ini ingin membangkitkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental kepada masyarakat, terutama mereka yang memendam masalahnya dengan diam," tutur Kak Rifqi kepada tim Campaign for Good.

Proses riset juga menjadi tantangan terbesar, terutama menemukan narasumber yang bersedia berbagi cerita. Dari pengalaman ini, mereka ingin menegaskan bahwa berbicara bukanlah tanda kelemahan, tetapi keberanian.

5. Anora Studios: "How Heavy is The Light"

Anora Studios ingin menghadirkan pendekatan fiksi untuk menggambarkan depresi. Seperti yang disampaikan oleh penanggungjawab Anora Studio yakni Kak Shereen Malevani Zahra,  bahwa film ini menggabungkan sinematografi dan cerita personal.

"Ceritanya menggambarkan bagaimana rasanya hidup dengan depresi, ketika setiap hari terasa sama dan rutinitas terasa berulang. Itu adalah pengalaman yang sangat personal bagi saya," ungkap Kak Shereen kepada tim Campaign for Good.

Keterbatasan waktu menjadi tantangan utama, dengan jadwal syuting hanya tiga hari. Namun, hasil akhirnya justru tepat durasi. Pesan utama film ini adalah jangan tertipu oleh penampilan, semua orang bisa menyimpan pergumulan pribadi.

6. Lemonade: “Bersandiwara”

Kak Joseph Kevin sebagai penanggungjawab dari Lemonade ingin membawa isu functioning depression melalui film ini. Dimana functioning depression merupakan sebuah kondisi ketika seseorang tampak baik-baik saja namun sedang berjuang secara mental.

"Banyak orang masih tidak memahami bahwa orang yang mengalami depresi dapat bersandiwara untuk terlihat baik-baik saja," jelas Kak Joseph kepada tim Campaign for Good.

Dengan jadwal ketat dan minim peralatan, tim ini memanfaatkan kreativitas, termasuk penggunaan satu lampu meja yang mereka sebut "si kuning." Pesan mereka sederhana namun penting untuk menyadari dan menerima kondisi mental bukanlah kelemahan, tetapi langkah awal mengenali diri sendiri.

7. Lagi Liburan Films: “Mania Dunia Nia”

Mahasiswa Universitas Indonesia, Kak Januar David Ciu, atau akrab disapa Kak David, memimpin Lagi Liburan Films dalam menciptakan Mania Dunia Nia, sebuah film pendek yang mengangkat isu terkait keresahan generasi muda di era digital. Menurutnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang penting bagi generasi muda untuk terbuka mengenai isu mental health, namun masih banyak tantangan besar di masyarakat yang cenderung menganggap remeh isu ini.

“Awareness udah ada, tapi kesadaran itu belum selalu diiringi sama akses layanan yang memadai. Kadang stigma masih kuat di generasi yang lebih tua.” ungkap David kepada tim Campaign for Good.

Proses kreatif kelompok ini penuh cerita unik, salah satunya ketika judul film baru tercetus saat mereka lembur di coffee shop H-4 sebelum deadline. Meski hanya terdiri dari 10 orang crew, keterbatasan itu justru menjadi pemicu kebersamaan mereka.

“Pesan dari aku, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jangan pernah merasa kalau kamu hidup sendirian di dunia ini.” lanjut Kak David.

Baca juga: Cerita Yuk! Apa yang Membuat Kamu Peduli dengan Kesehatan Mental?

8. Halaman Belakang Films: “Telur”

Telur merupakan sebuah karya Halaman Belakang Films yang disutradarai dan ditulis oleh Kak Vania Qanita Damayanti. Film ini ingin menyoroti keberagaman manusia melalui simbol sederhana seperti “Telur”. Film ini juga menjadi bukti bahwa perbedaan tidak mengurangi nilai setiap individu.

“Meskipun memiliki perbedaan dan keberagaman, namun value-nya tetap sama. Terlihat pada scene akhir film saat telur diceplok terlihat sama, hal itu selaras dengan maksud kami.” kata Kak Vania kepada tim Campaign for Good.

Film ini diproduksi dalam waktu sangat singkat, hanya 34 jam, sebagai bagian dari kompetisi Minikino Begadang Filmmaking 2021. Tekanan waktu justru memacu kreativitas tim, memaksa mereka beradaptasi dan mengubah konsep di tengah jalan.

“Lewat Telur, kami ingin mengajak orang untuk lebih sadar dan menerima keberagaman. Keberagaman itu harus dirayakan, bukan dijadikan alasan untuk membeda-bedakan.” pungkas Kak Vania.

9. Analogi Production: “Ghost Girl & Paper Boy” 

Kak Muhammad Revi, selaku penanggungjawab sekaligus sutradara Ghost Girl & Paper Boy, melalui film ini ingin membawa penonton pada perjalanan emosional tentang keinginan untuk tidak terlihat dan sekaligus ingin diterima. Tak hanya itu, film ini menjadi sarana bagi Kak Revi untuk mengekspresikan perasaan yang jarang dibicarakan, terutama soal tekanan sosial dan keinginan untuk menghilang.

“Ghost Girl & Paper Boy is a story about one's desire to disappear, to not be judged despite imperfections, but also about one's desire to be found and accepted as who we are.”  ujar Kak Revi kepada tim Campaign for Good.

Revi mengaku pengalaman membuat film ini sangat personal, bahkan menjadi katarsis baginya. Film ini juga mengingatkan bahwa setiap orang punya cerita, dan kadang yang kita butuhkan hanyalah tempat untuk merasa diterima.

10. Saatnya Suaramu Menjadi Bagian Perubahan

Semua finalis Best Micro Film #InspiringIndonesia 2025 ini bukan sekadar tontonan, tetapi cermin dari kegelisahan dan harapan generasi muda. Dari kritik sosial tentang media digital, pesan persatuan dalam keberagaman, hingga refleksi personal tentang eksistensi, semuanya menunggu untuk kamu saksikan dan apresiasi. Yuk, langsung dukung film favoritmu dengan menyelesaikan Challengenya dan memberikan vote melalui Campaign for Good, karena satu suaramu bisa menjadi dukungan besar untuk karya dan pesan mereka!

heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign for Good app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone