#TheGoldenOrphans
Slow Learners? Why not!

haidiralgi
Update
Selasa, 23 Mei 2000, saya dilahirkan di Dusun Loa Lepu Kecamatan Tenggarong Seberang. Orang tua memberi saya nama depan Haidir karena terinspirasi oleh kisah sosok seorang Nabi Khidir dan berharap kelak dapat menjadi anak yang percaya diri sesuai makna dari nama tengah Algi. Sejak kecil, saya seperti minoritas karena memang berbeda dari anak pada umumnya. Saya baru bisa berjalan pada saat usia empat tahun, dan sanggup untuk berbicara saat usia delapan tahun, faktanya hal itu merupakan perkembangan motorik yang tidak ideal, ternyata saya tergolong anak slow learner. Akibatnya, saya sangat susah memahami pelajaran di kelas. Namun, dedikasi guru-guru saya sangatlah luar biasa. Beliau mengerti betul dan memberikan saya kelas tambahan setiap pulang sekolah, sehingga saya mampu keep up the struggles selama enam tahun temponya. Itulah awal mula mengapa saya ingin menjadi seorang guru. Saya pengin membalas budi kepada anak-anak yang senasib dengan saya. Saya ingin mereka juga merasakan perhatian dan bantuan khusus seperti yang saya dapatkan dahulu kala.
Singkat cerita, saya beruntung kembali. Saya memperoleh pertolongan belajar lagi setelah lulus dari SDN 007 Tenggarong. Di SMPN 2 Tenggarong, saya senantiasa mendalami pelajaran yang sangat saya sukai yakni Bahasa Inggris. Akan tetapi, ketika saya tidak memiliki biaya untuk mengambil kursus, kebetulan sekali ada suatu lembaga volunteer yang mengasih kelas les gratis selama dua tahun reguler plus tiga bulan asrama intensif, yaitu LEON-CS (Learn English of Nature and Culture Studies). Lantaran kebaikan sukarelawan tersebut, akhirnya saya bisa merasakan sendiri pengalaman mengajar pertama di Desa Kanang Polewali Mandar Sulawesi Barat dalam waktu dua bulan penuh pengabdian. Pada bulan puasa di tahun 2014 dan 2015, saya diberangkatkan ke daerah Bugis Patae yang cukup jauh dan berbeda budaya dengan tanah kelahiran saya, Kukar Kaltim. Saya diberi kesempatan untuk membagi ilmu basic vocabulary dan daily expressions yang sudah saya dapatkan selama program belajar gratis sebelumnya. Saya bisa merasakan betul bagaimana bahagianya seorang guru ketika melihat kegembiraan murid-muridnya yang mengerti suatu pembelajaran baru, menguatkan alasan saya untuk bercita-cita menjadi pengajar pendidik.
Tak hanya itu, saat duduk di bangku SMAN 3 Unggulan Tenggarong, saya juga mengikuti berbagai kegiatan pengabdian masyarakat lainnya bersama dengan SMAGA English Club dan Forum Anak Kukar. Kami melaksanakan sebuah aksi edukasi untuk belajar calistung dan bahasa asing kepada teman-teman di Panti Asuhan Marhamah Kec. Tenggarong Kab. Kutai Kartanegara. Walaupun saya hanya bisa membuat mereka hafal alfabet dan numeral Bahasa Inggris saja, sungguh hal itu sudah sangat membuat hati senang untuk selalu mau berbagi kepada sesama. Semakin meyakinkan diri saya untuk melanjutkan studi di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang.
Lain cerita ketika saya bergabung dalam komunitas Forum Anak Kukar. Disana merupakan platform perkumpulan diskusi konstruktif oleh pemuda-pemudi Kabupaten Kutai Kartanegara yang mau belajar dan beraktivitas positif bersama. Terdapat beberapa bidang fungsinya, jadi divisi pendidikan dan lingkungan hiduplah yang menjadi bagian minat saya. Puji syukur, saya terpilih menjadi Duta Sanitasi Kukar 2015 dan Pelopor Keselamatan Jalan Borneo 2016. Melalui amanah dan mandat inilah, saya dapat mempresentasikan kabupaten tersayang dengan membawa isu stunting, masalah defekasi sembarangan, dan darurat lakalantas yang marak terjadi di Pemukiman Tanjong Sungai Mahakam Hilir. Dengan program ini, saya meraih penghargaan sebagai Pemuda Peduli Anak Daerah tahun 2015 dan 2016 oleh Gubernur Kalimantan Timur. Setelah itu, saya juga berkesempatan untuk membahas lebih lanjut termasuk merealisasikan proyek sanitasi dan road safety yang telah saya inisiasi bersama dengan Bupati Kutai Kartanegara. Alhasil, saya bisa membantu teman-teman yang tinggal di Pemukiman Tanjong untuk dapat memiliki toilet umum layak pakai dan tempat MCK pribadi yang memadai. Hingga saat ini pun, saya masih menyebarkan berita positif tentang materi ‘Jenis-Jenis Sampah’, ‘Reduce, Reuse, and Recycle (3R)’, dan ‘MCK Bersih Badanku Sehat’ via social media maupun melalui kegiatan mini road safety campaign yang saya buat secara langsung di sekolah-sekolah.
Hampir setahun lamanya sudah saya merantau di Kota Apel ini dan menekuni bidang kurikulum pedagogi, sehingga membuat pribadi ingin mengajar selamanya. Disini, saya membuka kursus privat gratis untuk siapapun yang ingin saling belajar. Saya mempunyai tiga belas anak murid SD, sembilan pelajar SMP, dan tujuh belas siswa SMA. Saya tidak pernah mematok harga apapun karena saya mengerti bahwa tidak semua orang tua mereka dalam keadaan mampu. Selain itu, saya juga mengajar dengan divisi HMJ Fakultas Sastra Inggris ‘Legato Tutor Charity’ di Panti Asuhan Bunda Asih Malang dan kepada 42 mahasiswa Teknik Elektro Universitas Negeri Malang. Saya sangat bahagia dan bersyukur sekali karena masih bisa bermanfaat kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan.
Pada tanggal 24 Juni hingga 6 Juli lalu, saya baru datang dari Jakarta dan Maluku Utara dalam program Pengajar Jelajah Nusa (PJN) 2019 bersama Yayasan Indonesia Mengajar dan Ultra Jaya. Selama satu minggu penempatan di Desa Indong Kabupaten Halmahera Selatan membuat saya merasa takjub akan anak-anak Indonesia Timur yang sangat semangat dalam belajar walaupun mereka memiliki banyak kendala dan keterbatasan. Mereka tidak mempunyai akses listrik 24 jam seperti kita yang tinggal di kota, mereka harus menghadapi minim air bersih kadang kala, sinyal pun sangat susah disana, alat tulis dan perlengkapan sekolah juga hanya seadanya saja, serta kehadiran seorang guru masih belum tentu datang setiap hari untuk mereka.
Namun, ketika saya mampir dengan niat yang tulus, mereka pun menyambut saya dengan amat hangat. Perjalanan melelahkan lewat udara, laut, dan darat yang ditempuh seharian suntuk langsung hilang seketika melihat wajah gembira yang sudah menunggu di depan dermaga. Saya pun diajak berkeliling desa untuk saling menyapa warga bersilaturahmi sampai tiba dengan mama abah piara.
Mirisnya, antusias belajar mereka yang sungguh luar biasa itu tidak setimpal dengan persediaan ilmu yang didapatkan. Saya sangat sedih ketika harus tahu bahwa ada anak kelas enam SD yang masih belum bisa calistung sama sekali. Tak berhenti disitu, pemuda-pemudi MTS dan SMK Listriknya pun masih tak mengenal Bahasa Inggris sedikit pun. Lebih parahnya lagi, mereka semua meyakini bahwa tempat pembuangan sampah terakhir itu adalah ke laut.
Akhirnya, saya membantu mereka dalam belajar serta memperbaiki kebiasaan dan pemahaman sanitasi yang masih keliru. Saya mengajarkan calistung, basic English, three magical words, bermain uno stacko, menyelenggarakan sanitation outbound games, memperkenalkan wawasan kebangsaan nusantara, saling unjuk budaya, mereka memperlihatkan tarian khas Halmahera Selatannya ‘Seni Suara Tide Tide’ sedangkan saya menampilkan ‘Tari Pedak Borneo’ asal Kutai, serta melatih basketball dan recorder musical instrument untuk malam pentas seni. Saya sungguh berterima kasih kepada Tuhan YME karena sudah menyadarkan saya dengan menunjukkan secara langsung sikon anak-anak yang kurang beruntung daripada saya. Membuat diri saya sendiri menjadi pribadi yang lebih bersyukur setiap harinya. Tidak ada rasa bosan, malas, ataupun keluh ketika saya dapat membantu adik-adik dan teman-teman di Desa Indong yang membutuhkan perhatian lebih. Saya sangat kukuh untuk menggoreskan cerita positif disana. Sememangnya, kenangan indah itu sudah tergaris dalam sanubari kami semua.
Terlebih lagi ketika saya bertemu dengan Raihan. Anak kelas dua SDN 020 Desa Indong ini bercita-cita untuk mempunyai kapal besi yang besar dan kuat supaya bisa menyelamatkan bapaknya yang tenggelam karena diterjang ombak tinggi delapan bulan lalu. Dia masih sedih dan murung sampai saat itu. Ternyata, dia tergolong anak slow learner juga seperti saya dulu yang harus dibimbing ekstra oleh gurunya agar bisa terus keep up belajar. Sayangnya, sosok yang mengerti itu semua sudah pergi kedalam laut. Jadi, saya berusaha untuk membimbingnya secara privat seperti apa yang sudah guru saya dan abahnya lakukan. Alhasil, dia bisa hafal materi alphabet, numeral, dan three magical words yang sudah saya ajarkan kemarinnya di kelas.
Sedih dan pilu rasanya ketika saya harus pulang dari keluarga cemara ini. Harus berpisah dengan adik-adik yang sangat nafsu untuk belajar. Harus bilang selamat tinggal kepada pemuda-pemudi MTS dan SMK Listrik yang memiliki ribuan pertanyaan tentang kuliah di pulau Jawa. Terharu saat harus berpamitan dengan mama abah piara yang selalu memasakkan papeda setiap harinya. Sangat menangis hati ini bagai diiris sembilu ketika harus meninggalkan si Raihan yang masih membutuhkan bimbingan dan dukungan morel.
Akan tetapi, karena pepatah bilang kalau setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, jadi mau tidak mau saya harus menerima takdirnya. Saya yakin bahwa setidaknya saya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi kader edukasi yang nyata di pelosok desa. Saya percaya bahwa saya sudah menjadi bagian dari generasi unggul kebanggaan bangsa yang melakukan aksi budi teruntuk ibu pertiwi tercinta. Saya ingin terus berdedikasi untuk negeri terkasih walau hanya melalui sebuah gerakan inisiatif sederhana, namun percayalah hal itu akan berdampak luas dan sangat membekas bagi anak-anak yang kita sapa jumpa.
Selanjutnya, saya belum lama pulang dari kegiatan Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) 2019 oleh Ditjen Kebudayaan Kemdikbud RI di Bumi Perkemahan Prambanan Yogyakarta tanggal 21-25 Juli 2019. Pada program ini, saya terpilih dari 3.058 pendaftar mewakili kontingen Jawa Timur untuk mempresentasikan purwarupa aplikasi berbasis website yang bernama Informasi Lingkup Indonesia (formal.ind). Urgensinya adalah untuk menjelaskan moral value, essential history, dan philosophical story dibalik setiap kearifan lokal yang kita miliki. Selain berkompetisi dengan proyek masing-masing, semua peserta juga berkolaborasi untuk saling appreciate dan support dengan kelompok purwarupa fisik, kajian, serta kegiatan kebudayaan Indonesia. Kedepannya, hasil cipta formal.ind ini akan saya terus kembangkan prototype dan media promosinya lewat online donor agar dapat konsisten menjabarkan cerita karya sastra yang perlu dipublikasikan.
Lastly, I knew exactly how it feels when we want to learn something but we couldn’t afford it. I’d been in that pity before. I really love English since I was in the primary school, but I wouldn’t be here if there’s no the angelic volunteer who had given me two-year free regular classes plus three-month intensive dorm courses back then. Therefore, I’ve always been truly inspired by volunteering programs for the local community development. That’s why, I joined Tutor Charity Community for teaching 50 orphanages around Malang or about 753 orphans. This is my best of the best achievement I ever have. I cannot be more grateful for it. I just feel so blessed all the time when I can help the other children by coaching them without any payments. They’re all in the same boat. They had no any English coaches before. They couldn’t even know about alphabet and numeral. I’ve been teaching them since last year and still counting to study together about basic vocabulary, daily expressions, English speaking habits, and three magical words. Fortunately, their English proficiency is very well improved, and hopefully will be perfect one day. All in all, that what leadership means to me. ‘Leader Creates Leaders’ is whoever brings benefits towards his/her surroundings.

Hearts
Komentar
Bagikan
Untuk menulis komentar, kamu harus masuk ke akunmu terlebih dahulu.
Comment
Done
Baca Juga