#bumikami

Event Summary - Webinar Pemimpin Perempuan di Tengah Pandemi bersama YSEALI Women Indonesia

profile

bumikami

Update

Bumi Kami berkesempatan untuk mengadakan webinar dengan mengundang para Alumni YSEALI Women’s Leadership Academy dengang tema Pemimpin Perempuan di Tengah Pandemi. Webinar ini merupakan bagian dari Online Community Festival dari Happiness Festival oleh United in Diversity Foundation dan difasilitasi oleh Campaign.

Webinar Pemimpin Perempuan di Tengah Pandemi diisi oleh para pemimpin perempuan dari YSEALI Women's Leadership Academy Alumni Network Indonesia yang menceritakan pengalaman mereka dalam memimpin organisasi/bisnis selama pandemi Covid-19 berlangsung. Dalam sesi ini, ada Drucella Dyahati (Country Lead Women's Leadership Academy Alumni Network Indonesia), Desy Ayu Pirmasari (Ph.D. Researcher, Gender Specialist), Rahmiana Rahman (Ketua Yayasan Rumah Relawan Remaja, Co-founder The Floating School), dan Sherly Noviani (Entrepreneur, Founder Kiyoko Healthspa). Acara ini dipandu oleh Alivia Alfiarty sebagai perwakilan Bumi Kami dan juga anggota dari Women's Leadership Academy Alumni Network Indonesia. 

Drucella Dyahati yang akrab di sapa Dru ini merupakan mahasiswi pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dru memiliki latar belakang seorang jurnalis, seorang presenter dan pernah menjadi wartawan istana kepresidenan. Perempuan ini juga aktif berbisnis, beberapa bisnis yang ditekuni yaitu bisnis bahan pangan dan Consultant. Dru aktif dalam berbagai organisasi lingkungan dan sosial. Ia juga menjabat sebagai Executive Director salah satu yayasan dan komunitas perempuan Light of Women. Hingga sekarang ini Dru ditunjuk sebagai YSEALI Women’s Leadership Academy Country Leads Indonesia.

Desy Ayu Primasari saat ini sedang menjalankan studi PhD in Politics at the Department of Politics, Philosophy and Religion, Lancaster University dengan beasiswa dari LPDP. Thesisnya fokus pada gender discourse in post-war societies. Ketertarikannya pada bidang ini dimotivasi oleh pengalamannya bekerja sebagai seorang jurnalis. Dia telah meliput dan menulis cerita tentang civil unrest, conflict zones, and war. Desy juga terpilih untuk mengikuti YSEALI Women’s Leadership Academy. Dia juga aktif di United Women Peace of Women for Peace and Participation.

Rahmiana Rahman yang akrab di sapa Ammy ini adalah alumni pascasarjana Universitas Negeri Makasar dan kini diamanahi sebagai ketua yayasan sosial yang bergerak dibidang pendidikan perdamaian. Perempuan ini telah terlibat aktif di dunia kerelawanan di berbagai komunitas sosial lebih dari satu dekade. Di tahun 2012, dia mulai menginisiasi komunitas Sahabat Indonesia Berbagi (SIGi) Makassar yang fokus pada pendidikan. Selanjutnya, di akhir tahun 2016, bersama kedua rekannya, menginiasi The Floating School, sebuah komunitas sosial yang mengembangkan skill pemuda/i di pulau-pulau. Ammy pernah menjadi Co-Chair YSEALI WLA tahun 2018.

Sherly Noviani merupakan alumni sebuah universitas di Jakarta dengan program studi Manajemen. Ia aktif berorganisasi, terutama organisasi sosial. Sherly pernah menjadi pengurus organisasi Junior Chamber International (JCI) Batavia. Ia pun aktif di komunitas perempuan Light of Women. Pengalaman kehidupan entrepreneur sherly, pernah merasakan jatuh bangun selama belasan tahun, namun ia tak pernah menyerah untuk membangun bisnisnya. Hingga sekarang Sherly menemukan tantangan baru dalam dunia bisnisnya yaitu harus mengelola bisnis dan memimpin di tengah Pandemi COVID-19 dengan berbagai tantangan baru tentunya.

Webinar dimulai dengan Desy yang membahas tentang gender stereotype dan sejarah kepemimpinan perempuan. Stereotype gender hingga sekarang masih sering kita jumpai. Contohnya, ketika seorang pemimpin perusahaan/organisasi adalah seorang perempuan, ketika dia marah dan menegur karyawannya dengan tegas, sering dicap “ih pasti lagi dapet”. Hal-hal sederhana seperti inilah yang membuat gender stereotype terus ada. Contoh lain, ketika pemimpin perempuan bersikap agak tegas atau seperti yang biasa disebut orang Indonesia sebagai “galak”, sering dicibir “ih pasti galak begitu karena belum menikah”. Padahal tidak ada hubungannya sudah atau belum menikah dengan sikap tegas yang diambil saat mengemban amanah sebagai seorang pemimpin. Laki-laki maupun perempuan, kalaupun belum menikah ya sama saja. Sikap tegas itu adalah karakter kepemimpinan seseorang, bukan side effect from being a woman. Cibiran-cibiran seperti ini sebaiknya dihindari. Hal yang paling umum juga yang dilihat oleh Desy, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain, perempuan itu sering dianggap memimpin pakai hati sementara laki-laki menggunakan logika. Padahal tidak ada hubungannya. Hati dan logika adalah karakter seseorang terlepas dari dia adalah laki-laki atau perempuan. Mana yang dipilih adalah bagian dari performance seseorang dalam menjalankan role-nya. Ada perbedaan antara sex dan gender di mana sex adalah biological dan dibendakan dari apa jenis kelamin seseorang. Tetapi ketika berbicara tentang gender, itu soal masculine atau femininity. Siapa saja bisa bersifat masculine atau feminim.

Di tengah pandemi seperti sekarang, bisa dilihat bahwa banyak juga pemimpin perempuan yang sukses dalam mengelola negaranya dengan kombinasi ketegasan dan compassion. Di Indonesia juga banyak figures pemimpin perempuan yang hebat.

Kebetulan studi Desy tentang Aceh, sehingga Desy sedikit berserita tentang sosok pemimpin perempuan di sana. Ada Sulthanah Shafiatuddin Syah. Ada tulisan dari Fatimah Mernisi, seorang scholar asal Maroko, yang menulis tentang pemimpin perempuan dalam Islam yang jarang sekali di-expose karena Islam dianggap partiakri, padahal jika dipelajari sebenarnya tidak demikian karena banyak orang melupakan sejarah tentang perempuan. Jadi HERStory itu tidak banyak digali. Yang sering dan banyak digali itu HIStory sehingga cerita tentang peran perempuan banyak terlupakan. Ketika Desy berbicang dengan orang dan bertanya apa yang anda tahu dari Shafiatuddin, banyak yang hanya tau dia sebagi ratu. Tidak banyak yang tahu apa prestasinya sebagai seorang sultanah. Tidak banyak yang tahu perannya saat mencanangkan pihak perempuanlah yang berhak memperoleh warisan. Tidak banyak juga yang tahu bahwa dimasa kepemimpinannya perkembangan sastra sangat pesat berkat upaya sang Sultanah untuk mencerdasakan rakyatnya melalui banyaknya perpustakaan yang ia dirikan.

Figure pemimpin perempuan lain adalah Cut Mutia. Berbicara tentang gender discourse, ketika melihat poster-poster Cut Mutia, yang tertulis dalam poster tersebut bukan tentang kepahlawanan Cut Mutia tetapi “Menikah dua kali, isteri dari Teuku Muhammad dan Pang Nanggroe”. Padahal tidak ada kaitannya. Kenapa bukan sisi kepahlawanannya yang ditampilkan, atau kehebatannya saat memimpin perang. Saat gambar Cut Mutia dipakai di mata uang, bukan kehebatan, keberhasilan, kepahlawanannya, atau apa yang bisa kita pelajari dari sosok Cut Mutia yang dibahas, tetapi kerudungnya yang malah jadi bahan perdebatan. Ini adalah salah satu contoh dari salah fokus orang-orang saat berbicara tentang pemimpin perempuan. Salah fokus karena lebih melihat ke sisi personalnya dibanding sisi profesionalnya. Perempuan jarang dilihat sebagai prefesional, jarang dilihat keberhasilannya, dan lebih sering dilihat sisi personalnya. Inilah yang membuat perempuan lebih sulit menjadi pemimpin dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Perempuan sering diberikan standar yang lebih tinggi dan membuat mereka harus berupaya lebih keras. Stereotype paling gampang misalnya istilah first lady. Apa ada first gentleman? Tidak ada, karena tidak lazim perempuan menjadi pemimpin. Jadi ketika laki-laki memimpin, dibutuhkan seorang first lady. Tetapi ketika seorang perempuan memimpin, tidak ditanyakan siapa first gentleman-nya karena tidak dianggap penting. Ini adalah salah satu contoh dari bias gender. Saat membaca sebuah artikel tentang pemimpin laki-laki di Indonesia, tertera pula profil para first lady. Tetapi ketika pemimpinnya perempuan, profil suaminya tidak ditampilkan. Hal-hal seperti ini sebaiknya dikesampingkan. Marilah kita melihat seseorang sebagai manusia, sebagai orang yang memiliki kualitas, sebagai orang yang profesional, bukan dari jenis kelaminnya. Semua orang bisa menjadi pemimpin terlepas dari dia adalah laki-laki ataupun perempuan. 

Perempuan sering dianggap lemah padahal kenyataannya tidak seperti itu. Aisyah pernah memimpin perang, beritu pula Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Martha Tiahahu, dan lain sebagainya. Sayangnya kita jarang membahas atau menampilkan cerita-cerita mereka. Desy pernah mengritik temannya yang bekerja disebuah media ketika temannya itu membuat artikel tentang pahlawan-pahlawan laki-laki. Desy bertanya kenapa hanya pahlawan laki-laki padahal kita juga memiliki banyak sosok pahlawan perempuan. Dan responnya adalah “maaf, kelupaan”. Kelupaan dan kebiasaan inilah yang merupakan faktor gender discourses di sekitar kita. Jadi ayolah kita biasakan untuk melihat seseorang dari karya, bukan dari jenis kelaminnya. 

Drucella kemudian berbagi cerita tentang pengalamannya menjadi pemimpin di tengah pandemi. Baginya kepemimpinan dimasa pandemi ini sedang sangat diuji. Bahkan pemimpin dunia pun sangat diuji dengan pandemi ini. Pasti semua orang punya cerita menarik terkait pengalamannya dimasa pandemi karena semua orang pasti tidak pernah membayangkan akan berada dimasa pandemi global. Dari pengalaman Drucella memimpin organisasi YSEALI Women’s Leadership Academy Alumni Network Indonesia, biasanya mereka beraktifitas secara face-to-face. Sekarang semua ditekan untuk bisa berpikir di luar kebiasaan, kreatif, dan inovatif, untuk bisa bagaimana caranya walaupun di rumah saja, mereka tetap bisa berkreasi dan produktif. Dari segi bisnis, memang cukup berat. Drucella memiliki bisnis dibidang konsultan dan makanan. Untuk konsultan agak berat karena aktifitasnya tidak bisa dari rumah saja karena kadang membutuhkan direct meeting dengan client atau onsite visit. Untuk bisnis makanan masih bisa berjalan. Bagi Drucella persoalan pandemi ini tidak melulu soal medis tetapi lebih kepada persoalan kemanusiaan. Ini bagaikan kita berperang dengan hal yang tidak terlihat dan itu yang membuat situasi sekarang sulit. Sektor pangan merupakan kebutuhan pokok yang memang semua orang butuh dimasa pandemi ini. Hal yang menjadi tantangan bagi Dru adalah harus merubah pola kerja dari bisnis yang dijalani, bagaimana caranya bisa tetap menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan di mana pangan itu harus tetap sampai ke tangan orang-orang yang lebih banyak sekarang membutuhkan tetapi bisnis yang dikelola tetap bisa berjalan. Jadi kesulitannya adalah bagaimana menggabungkan sebuah bisnis dengan kemanusiaan agar bisa berjalan beriringan. 

Rahmiana kemudian berbagi ceritanya sebagai seorang pemimpin disektor sosial dalam menghadapi pandemi. Rahmiana bergerak disebuah Yayasan sosial yang fokus pada pendidikan perdamaian. Ada dua hal yang dipelajarinya selama masa pandemi ini, bahwasanya seorang pemimpin perempuan itu harus lebih meningkatkan empati dan prespektifnya bahwa dia adalah seorang pemimpin terlepas dari dia adalah seorang perempuan. Seperti yang sudah dihimbau oleh Desy untuk melihat seorang pemimpin sebagai seorang professional, sebagai seorang manusia, bukan dari apa jenis kelaminnya. Banyak program yang harus dialihkan alihkan dan team Rahmiana harus berfikir “out of the box” mengenai program yang bisa mereka jalankan di tengah pandemi ini. Para relawan Yayasan bekerja di desa terpencil, dan sebelum pandemi ini merebak, alhamdulillah di Aceh sekarang (16/04/2020) masih belum ada pasien postif Covid-19, tetapi sebelum ini sempat ada 5 kasus positif, dan relawan-relawan mereka saat itu masih berada di desa terpencil tempat mereka mengabdi. Merekapun bingung memikirkan bagaimana dengan relawan mereka yang ada di sana, keluarga mereka pun juga khawatir. Para relawanpun bimbang dengan bagaimana nasib kegiatan-kegiatan mereka dilapangan, apakah bisa terus dilaksanakan atau harus kembali ke rumah. Mereka kemudian membahas apapun dengan terbuka, dan Rahmiana sebagai pemimpin juga harus memberikan kesempatan kepada mereka untuk membahasakan apa yang mereka pikirkan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menarik relawan mereka kembali ke sekretariat pusat. Beberapa orang tua mereka juga bertanya kenapa mereka tidak bekerja di rumah saja dan masih tetap di sekretariat. Saat itu mereka harus menjelaskan bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Fokus mereka memang pada pendidikan perdamaian. Tetapi mereka juga memiliki program tanggap bencana dan konflik. Jadi dimasa-masa seperti inilah mereka harus bekerja ekstra. Jadi masa pandemi ini menuntut mereka berfikir keras tentang apa yang bsia mereka lakukan untuk masyarakat. Di satu sisi ada halangan sedikit dari orang tua relawan yang bertanya seperti itu. Tapi mereka coba mengkomunikasikan bagaimana baiknya dan beberapa program memang akhirnya dialihkan. Merekapun mulai menggerakkan relawan untuk membuat masker untuk dibagikan ke masyarakat. Mereka membuat dan menyiapkan masker di rumah, work from home juga. Tetapi kami tidak bisa total di rumah saja karena mereka tetap harus bergerak ke masyarakat dan melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu masyarakat. Mereka juga berkampanye melalui video edukatif terkait stay at home. Mereka juga sedang menyiapkan program pembagian sembako jika nanti benar-benar dibutuhkan. Jadi mereka banyak melakukan upaya pencegahan penyebaran agar tidak semakin meluas. 

Sherly kemudian bercerita tentang sejauh apa pandemi ini berdampak pada bisnis yang dijalaninya. Pandemi ini sangat berdampak pada bisnis yang dijalaninya karena seperti yang kita tahu ada beberapa bisnis yang wajib tutup sementara waktu dan kebetulan bisnis yang dikerjakan Sherly adalah sektor jasa dengan kontak langsung. Jadi sebelum ada himbauan dari pemerintah, Sherly secara pribadi sudah mengambil keputusan untuk memutus rantai penyebaran dengan menutup sementara waktu dan itu adalah keputusan yang sangat berat karena harus memulangkan karyawan/karyawati tetapi masih harus bertanggung jawab terhadap karyawan-karyawatinya dan juga keluarga mereka. Pandemi ini sangat tidak terduga dan tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya. Jadi sementara ini, yang bisa dilakukan adalah melihat perkembangan dari kasus pandemi ini dan menunggu. Hal yang sangat mengagumkan dari Sherly adalah dia tetap membayar gaji dan tunjangan kepada para karyawan-karyawatinya meskipun mereka dirumahkan. Ini adalah keputusan yang tidak mudah bagi seorang pebisnis dan inilah contoh dari prespektif dan empati dari yang diceritakan oleh Rahmiana soal dua hal yang perlu diasah sebagai pemimpin perempuan di tengah masa pandemi ini. 

Desy lalu berbagi prespektifnya tentang kepemimpinan seorang perempuan di tengah pandemi. Ada beberapa artikel seperti forbes yang menuliskan pemimpin perempuan yang dinilai memberikan solusi yang efektif dalam menghalau penyebaran Covid-19 (bisa di baca di sini www.bit.ly/2yznozy). Baginya itu bukan masalah jenis kelamin bahwa dia adalah laki-laki atau perempuan tetapi lebih kepada karakter seorang pemimpin. Desy sangat menghindari melihat seorang pemimpin dari jenis kelaminnya dalam artian dia lebih suka melihat values apa yang dimiliki oleh para pemimpin ini. Bisa kita lihat Perdana Mentri New Zealand, Jacinda Ardern, bersedia untuk memotong 20% gajinya juga mentri dan pejabat tinggi lainnya selama enam bulan ke depan sebagai bentuk solidaritas terhdap warganya yang kehilangan pekerjaan karena pandemi. Ada juga Angela Merkel, the Chancellor of Germany. Di Eropa, Jerman termasuk negara yang bisa menerapkan solusi yang efektif karena angka kematiannya sangat rendah. Bandingkan dengan Inggris yang angka kematiannya sudah di atas sepuluh ribu. Spanyol dan Italy juga sudah sangat tinggi. Jadi Jerman termasuk negara yang bisa menerapkan solusi yang efektif, tetapi menurut Desy, bukan karena Angela Merkel adalah seorang perempuan, tetapi karena kesiapan Angela Merkel dan Timnya dalam menghadapi masalah ini. Ada juga Presiden Taiwan. Bagi Desy, para memimpin tersebut memiliki common values dalam karakter kepemimpinan mereka yang bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Pertama clarity. Mereka tegas sejak awal dengan kebijakannya. Taiwan, diawal pandemi ini terjadi, telah mengeluarkan banyak kebijakan, bahkan sekarang Taiwan saking siap dan bagusnya mengelola ini, mereka bisa mengekspor maskernya ke negara-negara Eropa dan Amerika. Angela Merkel sejak awal sudah menegaskan apa permasalahannya dan apa yang harus mereka perbuat. Yang kedua, selain tegas, ada compassion, love, and care seperti yang ditunjukan oleh Perdana Menteri New Zealand. Ini adalah masa yang sangat menakutkan bagi seorang pemimpin, apalagi memimpin sebuah negara, dan termasuk juga memimpin sebuah bisnis. Tetapi bisa dilihat dari para pemimpin yang sudah disebutkan tadi, dalam memberikan sebuah ketegasan mereka juga menebarkan kasih sayang sebagai bentuk peduli terhadap sesama, bukan justru menakut-nakuti masyarakatnya. Kita bisa lihat New Zealand sejak awal tegas melakukan lock down dan proaktif melakukan rapid test. Banyak yang kemudian mencibir “Ah, New Zealand kan penduduknya sedikit, beda”. Iya memang beda, tetapi kita kan bisa belajar juga dari pengalaman mereka. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa tidak hanya pemimpin laki-laki saja yang bisa tegas, perempuan juga bisa. 

Bagi Desy, yang paling mengerikan dari pandemi ini adalah hilangnya rasa kemanusiaan. Itulah yang dia rasakan di awal pandemi ini. Saat ini Desy berdomisili di Inggris. Awal-awal pandemi, banyak orang melakukan panic buying sampai beberapa troly. Stok barang di supermarket habis. Bagaimana nasib orang-orang yang tidak bisa leluasa belanja seperti dokter, tenaga medis, carer. Mereka tidak bisa belanja seenak hatinya dan tidak bisa kapan saja karena mereka masih harus tetap bekerja. Padahal mereka bekerja untuk masyarakat. Saat mereka ada waktu dan datang ke toko, barang-barang sudah habis. Disitulah Desy melihat bahwa rasa kemanusiaan kebanyakan orang sudah mulai hilang. Banyak juga terjadi perebutan barang di toko, seperti di film Zombie Apocalypse. Berebut dan berantem dengan orang tua untuk toilet paper. Di tengah pandemi seperti sekarang ini, kita perlu menjaga rasa kemanusiaan di dalam diri kita. Easier said than done, tetapi itu adalah hal-hal yang perlu kita pelajari dari para pemimpin-pemimpin perempuan yang tergolong bisa menerapkan solusi yang efektif dalam menghadapi pandemi. 

Bagi Drucella, seprti yang sudah diceritakan Desy soal stereotype pada perempuan yang memang sulit lepas meskipun kesenjangannya dimasa sekarang ini sudah lebih baik dibanding pada masa penjajahan dulu jika dilihat secara kasat mata. Ada yang bilang kita sebagai pemimpin perempuan itu suka terbawa emosi, semacam justifikasi bahwa perempuan mengedepankan perasaan daripada logika. Tetapi berdasarkan data, ada sebuah penelitian yang mengungkap bahwa perempuan itu lebih emosional dari pada laki-laki, dan perempuan itu lebih peka. Tetapi justru karena perempuan memiliki cara berfikir yang berbeda itulah yang memberi nuansa baru dalam kepemimpinan terutama dimasa pandemi ini. Ada hal yang sifatnya kodrat, tidak bisa dilawan. Banyak juga stereotype kalau perempuan pakai perasaan dan sensitif. Tetapi tanpa kita sadari bahwa hal itulah yang sebenarnya menjadi kelebihan terutama disaat kita memimpin dimasa pandemi ini. Bahkan perempuan diberkahi dengan kemampuan yang lebih seperti lebih detail, multi tasking, dan lain sebaginya. Menurut Drucella, kepemimpinan perempuan dimasa pandemi ini justru memberikan warna dan suasana baru. Memimpin di tengah pandemi ini, kita dipaksa untuk berfikir diluar biasanya. Banyak yang menjustifikasi kalau perempuan sensitif. Tetapi justru dengan sensitif dan detail itulah perempuan bisa melakukan pendekatan yang sifatnya tidak konserfatif, justru bisa lebih inovatif dan kreatif. Dan satu hal lagi yang menjadi kelebihan perempuan adalah empati. Seperti yang kita tahu bahwa empati itu menempel dalam diri perempuan. Ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa empati itu tidak hanya terbentuk dari pengalaman, tetapi juga gen. Bahkan sebuah studi yang dipimpin oleh University of Cambridge memperkuat bukti bahwa dari beberapa penelitian sebelumnya, wanita cenderung lebih berempati daripada pria. Di masa pandemi seperti sekarang ini emotional intelegent berperan penting, empati terutama, karena permasalahannya bukan hanya permasalahan medis, tetapi juga kemanusiaan di mana rasa empati itu sangat dibutuhkan. Jadi jika ditanya ada tidak kelebihan pemimpin perempuan di masa pandemi ini, sebenarnya tidak dalam masa pandemipun tanpa kita sadari perempuan memiliki kelebihan dalam memimpin. Di tengah masa pandemi ini, hal-hal yang orang bilang “ah perempuan gini, perempuan gitu”. Tetapi itu bisa menjadi kelebihan dari perempuan dan bisa membantu perempuan untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik.

Dengan segala tantangan di masa pandemi Rahmiana kemudian menjelaskan bagaimana ia menumbuhkan kreatifitas dan inovasi inovasi untuk beradaptasi dengan cara cara kerja baru di masa pandemi. Rahmiana bersama team kerjanya lebih menekankan tentang self esteem pada tim mereka dan bahwasanya leadership is not about position, ini bukan perkara posisi, tapi lebih ke perkara mindset dan perkara pilihan. Jadi ketika mereka mengerjakan job description-nya dengan baik, mengerjakan apa yang telah diamanahi dengan baik, berarti dia pemimpin dengan job desk yang telah ditentukan. Rahmiana meyakini bahwa timnya berisikan para pemimpin dan dia diamanahi untuk memimpin para pemimpin. Sering dia katakana bahwa setiap kita bisa mengambil keputusan, setiap kita mempunyai suara yang sama,  kita perlu berkolaborasi dan kita perlu berani menyampaikan apapun yang ada di pikiran kita. Jadi mengembangkan self esteem, mengembangkan keberanian anggota team, tentu menjadi bagian dari empati, yang disebutkan oleh Drucella, dimiliki dominan oleh perempuan. Selain itu ada kelebihan juga ang dimiliki perempuan yaitu mampu menjalankan banyak pekerjaan dalam satu waktu seperti yang dibilang Drucella tadi, multi tasking.

Sherly kemudian menceritakan bagaimana ia bisa tenang menghadapi pandemi ini mengingat pandemi ini berdampak kurang baik pada bisnis yang dijalaninya. Ia berpegang pada keyakinan bahwa pandemi ini akan berakhir dan ia yakin bahwa kita semua bisa melewati masa ini. Karena pada dasarnya setiap bisnis memiliki tantangannya masing-masing. Hanya saja tantangan yang ada sekarang terkait pandemi ini tidak bisa kita duga dan prediksi, jadi memang sulit untuk mengambil keputusan. Sekarang ini memang kita hanya bisa menunggu. Dan setelah pandemi ini berkhir kita perlu memikirkan cara untuk kembali membangkitkan bisnis yang aktifitasnya sempat terhenti. 

Harapan dari Sherly terkait pandemi ini adalah semoga semua segera berlalu dan semoga masyarakat bisa ikut membantu memutus rantai penularan dengan tetap di rumah, turut membantu sesama yang membutuhkan bantuan, dan patuh pada aturan sosial distancing.

Rahmiana berharap masyarakat bisa bekerja sama memberantas covid-19. Bagi masyarakat yang bisa bekerja di rumah, tetaplah di rumah. Sedangkan bagi yang tidak bisa bekerja di rumah, jaga jarak aman dan terapkan physical distancing. Dan bagi teman-teman yang memiliki lebih bisa ikut menebar kebaikan dengan berdonasi pada organisasi sosial yang terjun langsung membantu masyarakat. Semoga kita semua bisa bersama-sama melawan covid-19.

Desy diakhir sesi juga memberikan apresiasi pada Sherly yang tidak hanya memikirkan bisnisnya tetapi juga memikirkan karyawan/karyawatinya. Values seperti yang dimiliki Sherly inilah yang dibutuhkan oleh pemimpin-pemimpin sekarang. Peduli dengan pekerjanya. Jangan hanya menganggap pekerja sebagai property tetapi sebagai human being. Mereka juga punya keluarga. Perlakukan karyawan dan karyawati sebagai asset berharga. Desy juga menghimbau agar semua bisa patuh dengan social distancing dan bisa membantu memutus rantai penularan covid-19. 

Drucella menghimbau agar kita tetap tenang, melakukan segala sesuatu hal sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan. Kita harus yakin bahwa perempuan itu memiliki kelebihan yang bisa membantu mencari jalan keluar di masa-masa sulit. bTetap berkomunikasi secara efektif, berkolaborasi tentunya, seperti yang dikatakan Rahmiana. Jangan lupa untuk mengembangkan empati, kepedulian, dan kepekaan hati. Harapannya semoga pandemi ini segera berakhir.

Sesi webinar kemudian diakhiri dengan penjelasan singkar dari Drucella terkait Women Leadership Academy dan sesi QnA. 

Terima kasih teman-teman sudah mengikuti sesi webinar Bersama team Bumi dan Women Leadership Academy Alumni Network Indonesia. Video bisa di tonton di https://youtu.be/FUn8y-8VncU. Tetapi mohon maaf videonya jadi seperti podcast, karena ada kendala teknis dalam proses rekam, sebagian besar tampilan video jadi blank


Jangan lupa ikut challenge #lessplasticmorehappiness dari team Bumi ya.

heart

Hearts

heart

Komentar

Comment

Done
Download the Campaign #ForABetterWorld app for a better world!
Skyrocket your social impact and let's change the world together.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone