We are the first social network built from the ground up specifically for social impact & change. Proudly started in Indonesia as a social tech enterprise, we aim to be a global catalyst to build a better world by bringing all changemakers under a shared vision, #ForABetterWorld.

Feel free to chat with us if you have any questions.

Kamu harus tahu nih, kalau di Pemilu 2024 sebanyak 107 juta pemilih adalah pemilih muda. Banyak di antara pemilih muda ini yang masih bingung dengan Pemilu 2024 nanti.

Oleh karena itu untuk memupuk budaya di mana generasi muda secara aktif terlibat dalam percakapan politik dengan komitmen terhadap diskusi yang saling menghormati dan inklusif, menjembatani perspektif yang berbeda untuk solusi kolaboratif melalui kampanye #SuarakanCintamu

Yuk, jadi bagian pemilih muda yang aktif bersuara untuk perubahan dengan #SuarakanCintamu di tanggal 14 Februari 2024!

SuarakanCintamu

Memberdayakan para pemilih muda dan menyebarkan pesan damai di Pemilu 2024

✨ Penikmat pagi 🌻, hujan ☔, dan malam 🌌 

Pameran karya yang menyuarakan krisis iklim 💚

action photo type

Melalui aksimu, kamu telah berkontribusi untuk dunia yang lebih baik bersama

Saiful Mujani, William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam Kuasa Rakyat (2010) memaparkan ada tiga hal yang menjadi penilaian pemilih untuk memilih seorang calon dalam pemilihan, yaitu melalui pendekatan sosiologis, psikologis dan rasional. Pengalaman pada Pemilu 2014 dan 2019, masifnya politik identitas dan fanatisme terhadap ketokohan serta partai politik membuat pemilu cenderung jauh dari perdebatan gagasan atau nirprogram. Kondisi ini diperkeruh dengan posisi media mainstream yang tidak netral melalui agenda setting, framing dan priming-nya yang mengarah kepada calon kandidat atau partai tertentu. Ditambah lagi algoritma filter bubble dan echo chamber di media sosial yang membuat pemilih hanya berkumpul dengan pemilih yang sewarna, dan berjarak dengan informasi alternatif. 

Selain itu, artikel periksa fakta yang lebih banyak menyentuh sisi sosiologis seperti SARA dan psikologis atau preferensi terhadap calon kandidat dan partai politik tertentu, membuat aspek gagasan atau program yang dimiliki para calon kandidat, khususnya terkait wawasan nusantara yang berasal dari faktor Astagatra untuk ketahanan nasional, yaitu geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan kurang diperhatikan oleh pemilih dan para calon. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia melalui pemilu, maka dibutuhkan pemilih yang rasional yang dapat menyuarakan permasalahan dan tawaran  solusi terkait kedelapan faktor Astagatra tadi.

Hasil jajak pendapat Kompas yang dirilis pada pertengahan Agustus 2022 mengatakan lima (5) dari 10 responden muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali. Ditambah lagi, empat (4) dari 10 responden muda mengaku jarang turut serta dalam diskusi atau perdebatan politik di media sosial. Bahkan, 33,1 persen respon dari kelompok pemilih pemula mengatakan lebih menyukai konten hiburan daripada pemberitaan, sementara 44,6 persen mengaku hanya menikmati konten hiburan. 

Hasil jajak pendapat Kompas tentu menambah deret panjang data bahwa pendidikan politik belum berjalan maksimal, baik yang datang dari lingkungan pendidikan formal maupun penyelenggara pemilu, media massa dan komunitas masyarakat. Situasi ini menjadi mengkhawatirkan mengingat pemilih muda Generasi Z dan Y atau milenial mendominasi suara pada Pemilu 2024 nanti. Diketahui pemilih Gen Z berjumlah 49.295.631 orang atau 24,1 persen dan pemilih Gen Y sebanyak 67.875.185 orang atau 33,18 persen. Total suara pemilih dari kelompok ini adalah 117.170.816 suara atau 57,28 persen. Artinya pemilih muda dari dua kelompok tersebut menjadi penentu dalam mempengaruhi estafet tongkat kepemimpinan, ini didasarkan dari tren partisipasi pemilih muda yang memiliki kecenderungan peningkatan, seperti data dari CSIS yang mengatakan di Pemilu 2014 tingkat partisipasi pemilih muda 85,9 persen dan naik menjadi 91,3% pada Pemilu 2024.

Pemilih muda yang mayoritas terpenetrasi internet dan media sosial namun minim literasi politik berdasarkan fakta dan data diatas dapat diberdayakan dengan pendidikan politik yang membawa mereka menjadi pemilih kritis dan rasional, caranya dengan menyuarakan permasalahan dan tawaran solusi terkait delapan faktor Astagatra yang disampaikan kepada para calon kandidat pada Pemilu 2024.

Pemilih muda yang kritis dan rasional mesti memilah informasi untuk meningkatkan kualitas demokrasi.