ResponsibleAIFutures

Gambar ini menampilkan ilustrasi digital bergaya flat dari seorang anak kecil pejuang kanker yang sedang duduk di ranjang rumah sakit dengan ekspresi tersenyum penuh semangat. Anak tersebut mengangkat tangan dengan kepalan sebagai simbol keberanian, sementara di latar belakang terdapat pita kuning—simbol kepedulian terhadap kanker anak. Di bagian atas gambar terdapat pesan motivasi: “Semangat. Our little angels”, memberikan semangat dan harapan bagi anak-anak yang sedang menjalani pengobatan.

🔍 Pandangan tentang Pentingnya Penggunaan AI secara Etis dan Berempati dalam Edukasi Kanker Anak

Di era digital saat ini, kecerdasan buatan (AI) berperan besar dalam memperluas akses informasi, termasuk dalam isu penting seperti edukasi tentang kanker anak. Namun, seiring manfaat yang besar, penggunaan AI juga harus dilakukan secara etis dan penuh empati.

AI harus digunakan untuk memperkuat penyebaran informasi yang benar, terverifikasi, dan bermanfaat, tanpa menggantikan peran manusia dalam memberikan dukungan emosional. Misalnya, AI dapat membantu mengubah data medis menjadi konten edukatif yang mudah dipahami masyarakat awam—namun tetap menjaga privasi pasien, termasuk anak-anak yang merupakan kelompok rentan.

Empati menjadi kunci. Informasi yang disampaikan melalui AI harus mempertimbangkan kondisi psikologis keluarga pasien, tidak menimbulkan stigma, dan memberi harapan. AI tidak boleh digunakan sekadar untuk menyebar angka statistik, tapi untuk menguatkan nilai kemanusiaan dan kepedulian.

Sebagai generasi digital, kita perlu kritis: jangan hanya memakai AI karena cepat, tapi pastikan juga apa yang kita sebarkan adalah sesuatu yang bijak dan manusiawi. AI seharusnya menjadi alat bantu—bukan pengganti hati nurani.

Gambar ini merupakan cuplikan dari artikel ilmiah berjudul “Kualitas Hidup Anak Kanker” karya Resi Putri Naulia dan La Saudi, yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Vol. 12 No. 4 Tahun 2023. Artikel ini berasal dari sumber terpercaya: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, STIKIM, dan mengangkat pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup anak-anak yang mengidap kanker.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak kanker di Jakarta cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah, terutama pada aspek fungsi fisik dan emosional. Aspek sosial justru menjadi yang tertinggi, menandakan pentingnya dukungan dari lingkungan sekitar. Studi ini menyoroti bahwa keterlibatan orang tua, tenaga kesehatan, serta pendidikan yang memadai sangat berpengaruh dalam membantu anak menjalani proses pengobatan dengan lebih baik.

📌 Sumber:
Naulia, R. P., & Saudi, L. (2023). Kualitas Hidup Anak Kanker. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 12(4), 312–319. https://doi.org/10.33221/jikm.v12i4.2256

Dengan mengunggah informasi ini, saya turut berpartisipasi dalam misi edukasi masyarakat tentang kanker anak berdasarkan data ilmiah dan membantu menyebarkan kesadaran akan pentingnya dukungan holistik untuk anak-anak pejuang kanker.✨

Gambar ini adalah tangkapan layar dari jawaban pengguna Quora bernama Eleanore Solennea, yang membahas refleksi mendalam tentang masa depan manusia di tengah perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI). Ia mengangkat pertanyaan penting: Apakah manusia masih perlu belajar jika AI bisa melakukan segalanya? — sebuah pertanyaan eksistensial yang sangat relevan dengan pergeseran nilai-nilai HAM di era digital.

Jawaban ini mencerminkan dampak positif AI terhadap HAM, yaitu bagaimana AI dapat membebaskan manusia dari pekerjaan rutin dan memberikan ruang untuk pertumbuhan eksistensial dan spiritual. Dalam narasinya, penulis menyampaikan bahwa tujuan belajar akan bergeser dari sekadar “mengetahui” menjadi “menjadi”. Ini berarti bahwa hak untuk berkembang sebagai manusia seutuhnya—yang merupakan bagian dari hak asasi—justru diperkuat oleh kehadiran AI, asalkan diarahkan dengan etis.

Dengan AI mengambil alih tugas-tugas teknis, manusia bisa fokus menjadi versi terbaik dirinya: lebih kreatif, lebih sadar, dan lebih bijak. Ini menunjukkan bahwa penggunaan AI tidak harus bertentangan dengan HAM, melainkan justru dapat memperluas makna dan pelaksanaannya—dari sekadar bertahan hidup menjadi tumbuh dan bermakna.

Gambar ini merupakan dokumentasi dari artikel ilmiah berjudul “Pengaruh Artificial Intelligence (AI) terhadap Hak Asasi Manusia” yang diterbitkan dalam Jurnal Res Justitia Volume 5, Januari 2025. Artikel ini mengangkat isu krusial mengenai bagaimana teknologi kecerdasan buatan (AI), meskipun membawa banyak manfaat seperti peningkatan diagnosis medis dan efisiensi pendidikan, juga menyimpan potensi ancaman serius terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam artikel ini dijelaskan bahwa penggunaan AI tanpa pengawasan yang ketat dapat mengancam privasi, memicu ketimpangan sosial melalui bias algoritma, dan memperburuk kondisi keamanan siber. Salah satu sorotan penting adalah kasus salah tangkap yang terjadi akibat penggunaan face recognition yang tidak akurat—sebuah pelanggaran terhadap hak atas kebebasan individu. Artikel ini juga menekankan urgensi penguatan regulasi, pengembangan etika AI, dan pentingnya kolaborasi antar sektor untuk memastikan AI berkembang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Foto ini saya lampirkan sebagai bentuk kepedulian terhadap pentingnya perlindungan HAM di tengah arus transformasi digital yang pesat. Saya percaya bahwa teknologi seharusnya memanusiakan, bukan menggantikan atau merendahkan nilai manusia.

Foto ini menampilkan cuplikan artikel ilmiah berjudul “Etika dan Hukum dalam Penggunaan Artificial Intelligence terhadap Privasi Digital di Indonesia” yang dimuat dalam jurnal Sanskara Hukum dan HAM edisi April 2025. Artikel ini membahas tantangan serius yang ditimbulkan oleh perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) terhadap hak atas privasi digital—salah satu bentuk hak asasi manusia yang paling rentan di era digital.

Studi ini menyoroti celah hukum dalam perlindungan data pribadi di Indonesia serta kurangnya etika dan akuntabilitas dalam penerapan AI. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun sudah ada regulasi seperti UU PDP 2022 dan UU ITE, belum cukup kuat untuk mengatur risiko-risiko AI secara spesifik. Ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana inovasi teknologi, jika tidak diatur dengan tepat, justru dapat melanggar prinsip dasar HAM, seperti hak atas privasi, transparansi, dan perlindungan dari penyalahgunaan data.

Foto ini saya sertakan sebagai bentuk kepedulian saya terhadap perlunya tata kelola AI yang etis dan bertanggung jawab, yang tidak hanya mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.