Halo, Changemakers!
Siapa bilang perempuan nggak boleh memilih ingin menjadi apa aja? Semua perempuan berhak memilih jalan kehidupan mereka, sama seperti yang dilakukan oleh Kak Kiko dan Kak Gita! Kali ini Champ bakal ngobrol dengan Kak Kiko seorang Sponsor & Partnership Manager dan Kak Gita Senior Public Relations yang keduanya juga merupakan seorang ibu rumah tangga. Penasaran dengan cerita mereka? Bagaimana tips work life balance ala supermom kali ini. Cuss, simak cerita mereka di bawah ini!
Champ: Halo Kak Kiko dan Kak Gita! Boleh cerita di tim Campaign sebagai apa dan tugasnya ngapain aja, nih?
Kak Kiko: Halo! Aku bekerja sebagai Sponsorship & Partnership Manager yang bertugas untuk mencari, membangun, dan membina hubungan dengan para sponsor yang mendanai kampanye sosial di Campaign.
Kak Gita: Halo! Aku jadi Senior Public Relations yang kerjaannya adalah untuk menjaga citra perusahaan dan build relationship dengan eksternal, seperti KOL, media partner, dan government.
Champ: Sebagai seorang perempuan karir dan sebagai ibu, boleh cerita dong kak bagaimana Kak Kiko dan Kak Gita menjalani dua peran tersebut setiap harinya?
Kak Kiko: Pastinya nggak mudah, tapi aku bersyukur bekerja di perusahaan yang menerapkan remote working, sehingga aku bisa berusaha untuk menjalani kedua peran tersebut dengan sebaik mungkin. Aku bisa membagi waktu semaksimal mungkin untuk menjadi ibu bekerja.
Kak Gita: Untuk menjalani dua peran tersebut, aku nggak pengen menerapkan peran ganda dalam hidupku, ya. Jadi ketika aku jadi perempuan karir, aku membutuhkan bantuan dari pekerja rumah tangga dan suamiku, sehingga aku harus fokus sama pekerjaanku. Aku nggak bisa tuh sambil-sambil, sambil main sama anakku, sambil ngapa-ngapain. Biar aku fokus sama pekerjaan untuk memberikan performa terbaik untuk perusahaanku. Sementara itu, ketika semua udah selesai, kerjaan aku di sore hari udah selesai, itu baru aku bisa hadir buat anakku. Jadi, biasanya malam itu aku nina boboin anakku, ngobrol sama anakku. To be honest, emang nggak bisa sepenuhnya seimbang 100% karena untuk bisa fokus ke salah satu itu, memerlukan pengorbanan.
Champ: Apakah ada kesulitan dan kekhawatiran yang Kak Kiko dan Kak Gita rasakan ketika menjalani kehidupan sebagai seorang ibu sekaligus perempuan karir? Ini boleh diceritakan juga ya Kak cara menghadapi kesulitan dan kekhawatiran tersebut!
Kak Kiko: Kesulitan, kekhawatiran, tantangan, semua itu pasti ada. Aku sempat khawatir nggak bisa mengikuti dan memonitor perkembangan dan kesehatan anak dengan baik apabila menjadi perempuan karir. Di sisi lain, aku juga sempat merasa bingung dan takut nggak bisa perform dengan baik di pekerjaanku apabila udah berkeluarga dan memiliki anak. Yang aku lakukan adalah:
Pertama, amati bagaimana ibu bekerja lain menjalani kehidupan mereka. Zaman sekarang udah banyak ibu yang juga berkarir. Dari pengamatan tersebut, aku bisa belajar, mana yang bisa aku lakukan, mana yang bisa aku ikuti, mana yang nggak bisa. Kedua, pastinya komunikasikan dengan keluarga, baik suami maupun orang tua, apa yang menjadi prioritas dalam kehidupan kita. Ketiga, aku juga mengatur ekspektasiku sendiri, baik dari sisi pekerjaan maupun keluarga. Manusia, apapun jenis kelaminnya, memiliki keterbatasan dan potensi yang berbeda. Dengan lebih memahami diri sendiri, aku pun bisa mengatur ekspektasi yang lebih realistis.
Kak Gita: Kekhawatiran itu pasti ada, kesulitan juga pasti ada, tapi karena aku udah commit untuk menjadi perempuan karir, terus aku juga punya business juga, jadi aku harus mengupayakan langkah-langkah mitigasinya. Misalnya, aku tuh khawatir banget nih, bonding aku dengan anak aku tuh berkurang karena kesibukan aku bekerja gitu. Cuma kalau aku melihat di sini, untuk menjadi seorang ibu yang sibuk bekerja, it’s fine. Bekerja itu sibuk, kalau kerja nggak sibuk dan gabut, ya nggak berkah juga.
Jadi, kesulitannya memang membagi waktu, tapi menurut aku itu, anak aku jadi nggak bisa tumbuh dengan banyak permainan-permainan edukatif, karena aku sendiri juga nggak sempet bikin gituan. Nggak bisa dampingin 24 jam sehari, cuma karena dia belum sekolah aja, dia jadi sering main gadget dan ini sebagai salah satu kekhawatiran aku, ya. Cuma mau gimana lagi, kita udah memaksimalkan semua usaha. Dia sebentar lagi udah mau sekolah sih, jadi agak tenang aja sekarang.
Champ: Indonesia sekarang kan, masih cukup kental dengan stigma perempuan kalau udah punya anak, lebih baik di rumah aja ngurusin anak dan suami. Menurut Kak Kiko dan Kak Gita, bagaimana caranya menghadapi stigma yang masih ada di tengah masyarakat ini?
Kak Kiko: Sangat disayangkan, tapi memang masih kental sekali stigma seperti itu. Untungnya orang di sekitarku udah nggak berpikir demikian, tetapi kadang aku suka sedih melihat perempuan yang terpaksa mengorbankan karirnya seperti itu. Menurutku yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender dan pentingnya aktualisasi diri. Stigma tersebut muncul karena ada anggapan bahwa laki-laki hanya bertugas mencari nafkah, perempuan hanya bertugas mengurus keluarga, yang bersumber pada ketidaksetaraan. Untuk itu, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam peranku sebagai ibu dan perempuan karir, agar bisa menjadi salah satu dari banyak contoh bahwa stigma tersebut tidak tepat.
Kak Gita: Dengar stigma yang seperti itu, aku nggak pernah dengerin, karena dari awal aku udah commit dengan suami aku. Dan ini penting banget, ya untuk komunikasi dan menjalin komitmen dengan suami. Di mana rumah tangga aku, tuh nggak bisa kayak tunduk dan harus di bawah ketek suami. Itu aku nggak bisa. Jadi, aku komunikasikan ke suamiku kalau aku mau rumah tangga yang egaliter dan Alhamdulilah nya dia pun juga mau mengerti dan dia juga enjoy juga dengan rumah tangga yang bareng-bareng jalaninnya, bareng-bareng ngasuh anaknya, bareng-bareng usahakan semuanya. Jadi untuk ngurus anak dan suami, itu menurut aku nggak banget ya, karena suami ngapain diurus? Kalau misalnya dia bisa mandiri, dia bisa ngambil nasi sendiri, ya masa sih dia sehat walafiat, tapi nasi aja harus kita ambilin? Itu kan mendiskreditkan suami juga ya, bikin suami juga keliatan kayak nggak berdaya gitu, sesimpel nyiapin baju, ambil makan sendiri. Jadi, selagi dia masih kuat, ngapain layani sampai segitunya karena dia berdaya sebagai laki-laki.
Kita laki-laki dan perempuan banting tulang aja bisa, tapi masalah domestik harus disuapin. Jadi, aku nggak pernah ambil pusing dan nggak pernah denger sama sekali stigma kayak gitu, meskipun orang tua aku masih memegang nilai-nilai patriarki seperti itu gitu. Jadi anak, ya karena kita berdua kerja, kita punya pekerja rumah tangga, anak kalau misalnya Sabtu Minggu, kita berdua yang ganti-gantian ngasuhnya. Jadi bukan siapa bantu siapa, tapi ini anak menjadi tugas kita berdua.
Champ: Apa perasaan positif yang Kak Kiko dan Kak Gita rasakan sebagai seorang ibu dan perempuan yang berkarir?
Kak Kiko: Aku senang bisa memiliki pilihan untuk tetap bekerja walaupun udah menjadi ibu. Banyak perempuan yang mungkin nggak seberuntung itu. Pada dasarnya aku memang nggak cocok menjadi stay-at-home-mom dan merasa nggak ada aktualisasi diri apabila nggak berkarir. Menjadi ibu bekerja memberikan kepuasan batin karena aku bisa melakukan kedua peran tersebut.
Kak Gita: Perasaan menjadi ibu tuh selalu positif ya, walaupun ada overwhelm-nya, ada fase-fase stress dan depresinya. Cuma dengan bekerja itu jadi sebuah hal yang bisa menetralisir semua. Kan ada tuh ibu yang 100% bahagia dengan megang anak aja, tapi aku karena ada fase stress itu aku harus punya pengalihan. Kayak aku harus merasa berdaya juga, karena kalau misalnya aku hanya mengurus anak, tapi nggak merasa berdaya, nggak merasa bisa berkarya, itu aku nge-down banget. Soalnya aku pernah ngerasain itu ketika aku nggak punya kerjaan, aku nganggur, bahkan aku nggak punya usaha sendiri. Itu aku ngerasa kalau aku nggak berdaya. Bahkan waktu itu aku sengaja untuk nyari-nyari kesibukan, nyari-nyari usaha bisnis kecil-kecilan, supaya aku ngerasa kalau aku tuh bisa menghasilkan.
Jadi, sebenarnya perasaan positif yang berdaya itu yang aku ciptakan sendiri dan dengan kerja di Campaign itu ya bikin aku lebih dari itu. Kalo tadi aja bisnis kecil-kecilan bisa bikin aku seneng, bisa melepas stress aku, apalagi di Campaign ini tuh aku jadi ngerasa lebih besar impact yang bisa aku kasih gitu.
Champ: Boleh kasih tips juga Kak gimana strategi Kak Kiko dan Kak Gita agar tetap produktif di tempat kerja sambil tetap merasa dekat dengan keluarga?
Kak Kiko: Menurutku, sangat penting untuk memiliki manajemen waktu yang baik apabila menjadi ibu bekerja. Biasanya aku memandikan anak dan mengurus keperluan sekolahnya sebelum anakku berangkat sekolah. Apabila nggak ada meeting atau pekerjaan yang mendesak, aku bisa antar anak sekolah sambil membawa laptop untuk bekerja. Kemudian, penting juga untuk menentukan prioritas dan batasan (boundaries) saat bekerja. Karena bekerja secara remote, aku bekerja di kamar khusus agar anakku paham bahwa aku sedang bekerja. Apabila ada kejadian emergency misalnya anak sakit, aku sesuaikan waktu atau load pekerjaanku agar aku bisa mengantar anak ke rumah sakit. Terakhir, selalu sempatkan waktu khusus bersama keluarga, walaupun sesimpel nonton TV bersama, main games bersama, setiap harinya.
Kak Gita: Karena waktu aku dengan keluarga aku sedikit, you know ketika kita kerja di Campaign dan project lagi banyak, pagi sampe sore tuh aku full kerja. Nah, menyiasatinya tuh sesimpel jalan pagi. Jadi, pagi-pagi tuh aku sama anak dan suami jalan pagi-pagi muterin komplek gitu ya. Terus habis itu sarapan bareng di Teras. Itu kan sebenarnya hal-hal kecil ya, dan waktunya memang sedikit banget. Biasanya kalau aku lagi kangen banget sama anak, aku ajakin ke Alfa hahaha buat jajan, ngilangin stress. Terus paling di weekend sih, kita spend waktu buat anak karena kasihan ya, anak Senin sampai Jumat nggak ada temennya. Terus jadi Sabtu Minggu tuh kita senengin aja deh. Dia mau main ke mana, keluar ke mana gitu, tapi again nggak ada yang 100% seimbang untuk mendalami kedua peran itu dan kita nggak boleh peran ganda ya.
Champ: Bagaimana cara Kak Kiko dan Kak Gita untuk tetap menjaga kesehatan fisik dan mental saat harus bekerja dan mengurus anak?
Kak Kiko: Nah ini, pastinya berat ya, hehe. Aku sempatkan olahraga setiap minggunya agar tetap fit. Aku juga sempatkan me time, yang benar-benar aku lakukan tanpa berurusan dengan anak atau pekerjaan, kadang cuma bisa tiduran sambil liat tiktok sih, tapi at least harus ada waktu untuk diri sendiri.
Kak Gita: Tadinya tuh aku berpikir kalau kesehatan mental itu sangat penting, tapi ternyata kesehatan fisik itu juga penting banget ya, karena ada rasa-rasa kita lemas dan capek. Jadi, sekarang tuh, hmm baru akhir-akhir ini sih. Sebenarnya dulu udah pernah cuma berhenti, tapi ketika berhenti melakukan kegiatan fisik, sesimpel jalan kaki, jalan cepat, jalan sehat tuh ngaruh banget. Jadi ketika aku banyak jalan, banyak olahraga, jadi ke fisik tuh nggak loyo, nggak lemes. Tapi waktu aku ngerasa berhenti nggak olahraga sama sekali karena kerjaan numpuk, jadi lemes, suka ngantuk. Jadi aku suka olahraga kecil-kecilan.
Terus untuk kesehatan mentalnya aku harus seimbang juga antara kerja sama anak, antara anak sama kerja gitu, karena pegang anak tuh mustahil deh bisa 24 jam sehari sama anak terus. Pasti kan ada stressnya, ada marah-marahnya. Jadi, ketika kita udah ngerasa begitu, kita alihin sama bekerja. Jadi kadang emang kerja adalah suatu hal yang keep me sane gitu lah pokoknya, jadi pelarian untuk aku biar aku nggak stress.
Champ: Masih berbicara mengenai stigma tentang perempuan di atas, boleh kasih pesan-pesan untuk perempuan di luar sana yang masih bimbang dan ingin melanjutkan karirnya tapi terhambat stigma masyarakat ini?
Kak Kiko: Pesanku adalah, perempuan bisa memilih kok, apakah kamu mau menjadi ibu bekerja, atau menjadi stay-at-home mom, semua itu pilihan dan tidak ada yang benar atau salah, selama itu murni pilihanmu sendiri. Apabila ingin menjadi ibu bekerja, hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Mungkin perlu waktu untuk beradaptasi, tapi itu wajar.
Kak Gita: Menurut aku, perempuan itu harus mandiri. Dulu pun aku harus give up sama karir aku. Bayangin dulu aku tuh ada di posisi karir yang aku benar-benar aku impi-impikan dan dambakan, tapi setelah itu karena satu dan lain hal, aku harus resign dari pekerjaanku. Nah, untuk bisa tetap berdaya dan berkarya, aku bisnis kecil-kecilan. I mean kita nggak boleh menuntut perempuan untuk menjadi ini, menjadi itu. Jadi kayak gimana cara mandiri, serahkan aja sama perempuannya. Nggak harus yang punya top karir, gak harus bisa jadi yang super woman, harus ini, harus itu, tapi harus pede dengan apa yang kita lakukan dan dengan apa yang pengen kita lakukan. Walaupun kecil-kecilan, hasilnya nggak segede ketika orang jadi bos gitu ya, tapi ngerasa dia itu berdaya, ngerasa kalau dia itu berkarya.
Soalnya dengan perasaan dia berdaya dan berkarya itu tuh akan menimbulkan confidence dan self esteem, dan itu ngaruh banget ke mental. Coba kalau misalnya kita nggak ngapa-ngapain, nggak merasakan self esteem itu, terus kita nggak merasakan kepercayaan diri? Itu pasti bakal ngaruh ke mental dan pasti bakal ngedown gitu. Jadi sebisa mungkin mandirilah secara fisik dan mental. Di masa depan juga akan membutuhkan kemandirian itu. Kita harus bisa berdiri di kaki kita sendiri walaupun kita nggak bisa kerja yang wah banget. Tapi berusahalah sekecil mungkin dengan penghasilan kecil, tapi bermakna.
Namun, ketika melihat masyarakat atau keluarga kita sendiri nyinyiran kita gitu, please gak usah didengerin karena nantinya apapun yang terjadi di depan, kita yang akan ngerasain. Misalnya nih, amit-amitnya mertua nih ngelarang kita bekerja, berdagang, berjualan kecil-kecilan, tapi mertua nggak akan menyelamatkan kita misalnya saat kita ditinggal suami meninggal atau berselingkuh. Mereka nggak bisa menyelamatkan hidup kita. Hanya kita yang bisa menyelamatkan hidup kita sendiri, jadi kita harus bikin langkah mitigasi dari sekarang.
Champ: Menurut Kak Kiko dan Kak Gita, dunia yang lebih baik itu seperti apa?
Kak Kiko: Dunia yang lebih baik adalah dunia yang saling menghargai dan menghormati perbedaan dan keberagaman, serta memberikan akses untuk semua orang untuk hidup layak dan bahagia.
Kak Gita: Dunia yang lebih baik adalah dunia yang bisa menerima perempuan karena isu aku sekarang lagi fokus ke perempuan, dunia itu udah didominasi sama laki-laki. Di mana perempuan di sini tuh hidup nggak nyaman, hidup dikit-dikit di catcalling, hidup dikit-dikit dinyinyirin sama orang, dikit-dikit distigma sama orang. Jadi dunia yang lebih baik itu bisa bikin perempuan lebih nyaman untuk berdaya dan berkarya. Gimana caranya dunia itu bisa menerima perempuan. Walaupun hal tersebut kayak hal yang sulit untuk digapai, sangat jauh banget dari jangkauan kita gitu ya, kalo misalnya ngomongin dunia.
Kita bisa kok ambil langkah-langkah kecil di kehidupan kita, misalnya kita support adik kita, support teman perempuan kita, instead of kita saling iri, saling ngomongin sesama perempuan gitu. Karena aku pun juga gitu, aku nggak bisa nih karena aku bukan menteri, bukan presiden yang bisa mengambil keputusan yang besar untuk menjadikan Indonesia atau dunia yang lebih baik untuk perempuan. Tapi dengan aku support temen perempuan aku yang lagi naik karir, bangun rumah, dari pada aku iri sama teman-teman perempuan aku, yang ada aku support mereka secara mental. Terus aku juga nanya kabarnya dan ngobrol apa yang bisa aku bantu, beli dagangan mereka, kayak gitu. Jadi sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit.
Wah, cerita dari Kak Kiko dan Kak Gita sangat inspiratif dan sangat memberikan motivasi kepada para perempuan di luar sana. Yuk, kita bersama-sama mendukung perempuan untuk semakin berdaya dan berkarya!