Hai, Changemakers!
Permasalahan perundungan di Binus School menjadi bola api yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Belum padam api yang menyala, kini pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Kasus terbaru terjadi di Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah, Kediri. Diduga ada kasus kekerasan yang menyebabkan korbannya meninggal dunia.
Peristiwa dugaan kekerasan tercium setelah pihak keluarga melihat ceceran darah di kain kafan Bintang (korban). Sebelumnya, korban dikabarkan meninggal dunia akibat terpeleset di kamar mandi. Kemudian, jenazah dibawa ke rumah kediaman sudah dalam kondisi tertutup kain kafan.
Kronologi Kejadian
Namun, ketika pihak keluarga melihat ada ceceran darah di kain kafan, memintanya untuk dibuka. Permintaan keluarga korban sempat ditolak oleh FTH, santri sekaligus sepupu korban. Diketahui bahwa FTH juga ikut mengantarkan jenazah korban ke rumah kediaman. Meski ada penolakan, keluarga korban tetap ingin membukanya. Setelah dibuka, ada luka lebam sekujur tubuh, luka sundutan rokok, dan luka seperti jeratan leher.
Kini, kasus tersebut sudah ditangani oleh Polresta Kediri dan sudah mengamankan empat tersangka yang merupakan senior. Pihak Kemenag Jawa Timur nggak bisa memberi sanksi administrasi karena Ponpes yang sudah berdiri sejak 2014 itu belum mengantongi Nomor Statistik Pesantren (NSP).
Kasus yang membuat hati Champ seperti gado-gado. Antara sedih, kesal, duka, meradang, bercampur jadi satu. Nggak bisa dijelaskan sama kata-kata, deh.
Sumber gambar: Eres Mamá
Campur Aduk Perasaan Warganet
Nggak cuma Champ aja yang marah atas kejadian ini, warganet di X (Twitter) juga turut bersuara. Per hari ini, pukul 11:06 WIB, topik “PESANTREN” sudah ada 14,7ribu posts.
Ada yang memberikan rasa sungkawa atas kejadian yang terjadi. Para warganet juga menyayangkan kekerasan yang terjadi di pondok pesantren. Sudah seharusnya melakukan evaluasi dengan banyaknya kasus serupa terjadi.
Sumber gambar: tangkapan layar X
Dengan maraknya kasus kekerasan di pondok pesantren, banyak warganet mencurahkan rasa ketakutannya melihat anak atau kerabatnya yang ingin mondok.
Menurut Kementerian PPPA, ada 37 kasus kekerasan di pondok pesantren selama 2018 sampai 2019. Laporan dari LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia) memperlihatkan ada 1.260 kekerasan anak di 2023, 27 persennya terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Sumber gambar: tangkapan layar X
Di Balik Kekerasan Pondok Pesantren
Angka yang begitu fantastis. Dari sana, Champ bertanya-tanya, “Kenapa banyak kekerasan di pondok pesantren?”
Buat tau jawabannya, Champ tanya ke NH, seorang narasumber yang pernah mondok. Menurut NH, kekerasan di pondok pesantren terjadi akibat senioritas. Para senior bebas melakukan apa saja dan merasa paling super. Posisinya yang senior, membuat orang lain nggak berani buat menegurnya.
NH juga bercerita kalau dulu di pondoknya ada sidang gelap. Sidang gelap menjadi hukuman bagi santri yang melanggar aturan. Dikumpulkan di satu kamar, kemudian ditampar-tampar.
Dengar cerita dari NH, buat Champ teringat dengan artikel dari Merdeka. Di artikel tersebut, Ida Ruwaida, sosiolog UI memberikan penjelasan faktor penyebab kekerasan di pondok pesantren.
Pertama, budaya paternalistik yang memposisikan Kiai sebagai tokoh figur, sehingga santri yang kritis dianggap salah. Kedua, penilaian kekerasan sebagai media pembelajaran. Ketiga, kurangnya pemahaman arti keberagaman. Keempat, solidaritas yang keliru. Artinya, jika ada teman yang melakukan kekerasan, teman yang lain hanya diam.
Sudah seharusnya, normalisasi kekerasan dan senioritas di pondok pesantren harus dihilangkan. Kekerasan dan senioritas sudah jauh dari pendidikan yang memanusiakan.
Cara utama yang bisa dilakukan, dengan keaktifan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memberikan sosialisasi tentang bahaya perundungan.
Bukan hanya itu, pondok pesantren sebagai lembaga juga harus berperan aktif menghentikan kasus perundungan. Salah satunya dengan konseling terhadap korban dan juga pelaku perundungan, melakukan pendampingan di luar jam kelas, serta nggak menutupi kasus kekerasan yang terjadi. Pemerintah juga nggak boleh asal mengeluarkan izin, tapi juga menyeleksi kualitas dan keseriusan pondok pesantren dalam mengedepankan martabat kemanusiaan.
Dengan menghargai martabat kemanusiaan, kita bisa saling merangkul, tanpa memandang status sosial.
Seperti rangkulan Kara Kinara untuk warga binaan pemasyarakatan (WBP). Buat Changemakers yang mau ikut merangkul WBP, bisa banget selesaikan Challenge Dukung Kesejahteraan Warga Binaan Pemasyaraktan WBP bersama Kara Kinara. Satu penyelesaian Challenge akan dikonversi jadi donasi sebesar Rp24 ribu dari Yayasan Dunia Lebih Baik sebagai sponsor.
Referensi:
Jawa Pos edisi Rabu, 28 Februari 2024
https://www.nu.or.id/nasional/berbagai-langkah-cegah-perundungan-di-pesantren-49FBn
https://www.merdeka.com/peristiwa/sosiolog-sebut-4-faktor-penyebab-terjadi-kekerasan-di-pesantren-yang-harus-diubah.html
https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00400242.html#google_vignette
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240228065019-20-1068069/kronologi-santri-di-kediri-meninggal-diduga-dianiaya-senior