Hai, Changemaker!
Dunia bukan hanya mengalami krisis lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Dunia juga sedang mengalami krisis perdamaian. Perdamaian mengalami krisis karena ditumpangi oleh kepentingan politik dan berkurangnya sikap saling menghargai. Sebagaimana sikap rasis kepada orang kulit hitam di Amerika Serikat bahkan sampai memunculkan gerakan Black Lives Matter menjadi contoh kecil dari dunia yang kian kehilangan kehangatan.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat, juga terjadi di Indonesia. Kita mudah menemukan kasus-kasus intoleransi di bidang agama, seperti pembubaran ibadah keagamaan atau penolakan pembangunan rumah ibadah. Atau sikap rasis kepada orang Papua yang menurut Human Right Watch, orang papua kerap menjadi korban diskriminasi.
Itu masih segelintir kecil contoh intoleransi yang ada. Kalau mau diulas dalam lagi, akan banyak banget. Pada akhirnya, apa yang terjadi? Yups, konflik terjadi di mana-mana. Kedamaian hidup, seolah menjadi omong kosong. Makanya, Majelis Umum PBB menetapkan 21 September sebagai Hari Perdamaian Internasional. Tujuannya untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian di dunia.
Tujuan yang rasanya sulit dicapai, jika penyakit intoleransi masih menjadi “wabah”. Penyakit intoleransi bukan “wabah” yang harus dibiarkan begitu saja. Justru sebaliknya, harus dilawan. Untuk menyelesaikan sikap intoleransi, harus ada vaksin sebagai obat penawarnya. Ada banyak cara untuk menyelesaikan kasus intoleransi yang terjadi di masyarakat. Salah satunya melalui budaya.
Ada yang bertanya-tanya, kenapa kok budaya? Budaya sebagai hasil ciptaan manusia, di dalamnya terselip nilai-nilai pengetahuan yang bisa membangun moral pada individu.
Indonesia sendiri memiliki kekayaan budaya yang memberikan nilai-nilai toleransi. Kalian udah tau?
1. Tuk Panjang
Sumber gambar: Kompas
Tuk Panjang merupakan tradisi yang diselenggarakan oleh warga Tionghoa Semarang sebagai perayaan Imlek. Tuk artinya meja. Penamaan Tuk Panjang, memiliki filosofi berupa makan bersama untuk membangun kerukunan antarumat beragama.
Dalam pelaksanaannya, Tuk Panjang dihadiri oleh berbagai kalangan. Nantinya disediakan berbagai macam makanan di atas meja yang memiliki panjang 200 meter.
2. Ngejot
Sumber gambar: Kintamani
Ngejot dalam bahasa Bali, berarti “memberi”. Sesuai dengan namanya, tradisi Ngejot dilakukan dengan cara berbagi makanan kepada tetangga, termasuk mereka yang memiliki perbedaan kepercayaan. Ngejot memiliki tujuan untuk membangun tali pertemanan dan silaturahmi.
Di Bali, tradisi ini umum dilakukan oleh masyarakat Hindu dan Muslim. Pelaksanaannya, dilakukan waktu hari besar, seperti Idul Fitri dan Galungan. Makanan yang diberikan beragam, seperti kue dan buah.
3. Perang Topat
Sumber gambar: Tribun Lombok
Bergeser sedikit dari Bali, kita menuju ke Lombok. Di Lombok Barat, tepatnya di Desa Lingsar, ada tradisi Perang Topat. Meski ada embel-embel perang, tradisi ini bukan menimbulkan perkelahian. Justru membangun toleransi antara umat Hindu dan Islam.
Perang Topat dilaksanakan setiap purnama bulan ketujuh penanggalan suku Sasak. Pelaksanaan Perang Topat, masyarakat Islam dan Hindu saling membaur tanpa adanya sekat. Tradisi ini dijalankan dengan melakukan perang beras ketan oleh umat Hindu dan Islam di Pura Lingsar, tempat yang menjadi simbol kerukunan umat beragama di Lombok.
4. Ela-ela
Sumber gambar: Kompas
Ela-ela berasal dari Ternate yang dilakukan untuk menyambut Lailatul Qadar. Perayaan Ela-ela disambut meriah oleh masyarakat dengan menghias halaman rumah dengan obor. Bukan hanya itu, setelah salat tarawih, masyarakat berkumpul di halaman masjid untuk mendengarkan ceramah. Seusai mendengarkan ceramah, masyarakat keliling kampung membawa obor.
Menurut Kedaton Kesultanan Ternate, juga diikuti oleh masyarakat Kristiani dari Tabanga yang udah menjadi tradisi.
Perdamaian Melalui Breaking Down the Wall #Friendship4Peace
Melihat kebudayaan Indonesia yang mengajarkan toleransi, senangnya bukan main. Tapi, entah kenapa, masih ada aja masyarakat yang acuh tentang pentingnya toleransi. Padahal dari toleransi, bisa menciptakan perdamaian.
Dari permasalahan intoleransi yang terjadi, membuat PeaceGen Indonesia melakukan kolaborasi kampanye Breaking Down the Wall #Friendship4Peace. Tujuan besar dari kampanye ini untuk membangun sikap saling menghargai perbedaan di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan itu, dipilih 10 organisasi/komunitas dari Jawa Barat dan 10 organisasi/komunitas dari Sumatra Barat. 20 organisasi/komunitas yang terpilih meluncurkan Challenge di aplikasi Campaign #ForABetterWorld. Sampai akhir pelaksanaan Challenge, berhasil mengumpulkan donasi Rp149.800.000 dengan 13.000 aksi dan 5906 Changemakers.
Meski Challenge dari PeaceGen Indonesia udah berakhir, bukan berarti kamu nggak bisa menyebarkan nilai toleransi. Kamu bisa mengajak teman-teman kamu ikut Challenge Dukung Pemuda Lintas Iman di Sumatera Utara Belajar Keberagaman Agama. Yuk ikut dan sebarkan Challengenya!
Referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52917132
https://hrw.org/id/news/2024/09/18/indonesia-racism-discrimination-against-indigenous-papuans
https://news.republika.co.id/berita/s8lj11425/tuk-panjang-tradisi-unik-kota-semarang-menyambut-imlek
https://pariwisata.semarangkota.go.id/frontend/web/index.php?r=site%2Fberita-details&id=41#:~:text=Tradisi%20Tuk%20Panjang%20merupakan%20perjamuan,dari%20perayaan%20Imlek%20di%20Semarang.
https://www.liputan6.com/islami/read/5262408/tradisi-ngejot-berbagi-ala-umat-muslim-dan-hindu-di-bali
https://www.rri.co.id/daerah/460304/perang-topat-tradisi-budaya-mengajarkan-toleransi-dan-syukur
https://www.detik.com/bali/nusra/d-6451138/kemeriahan-perang-topat-di-pura-lingsar-lombok
https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/06/180000579/tradisi-ela-ela-cara-masyarakat-ternate-menyambut-lailatul-qodar
https://ambon.antaranews.com/berita/208650/tradisi-ela-ela-di-ternate-rawat-toleransi-antar-umat-beragama