Ditulis oleh: Aliansi Sumut Bersatu
Konsep keberagaman erat melekat pada semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia, baik meliputi ras, suku, agama, bahasa, dan lainnya. Melalui keberagaman kita mengenal namanya suatu perbedaan yang ditandai antusiasme dan bahkan ada sedikit kecewa karenanya. Dalam studi-studi agama yang sering difasilitasi oleh Aliansi Sumut Bersatu (ASB) saat membawa peserta berkunjung ke beberapa agama selain enam (6) agama yang banyak masyarakat ketahui hal pertama yang mereka sering pertanyakan, diantaranya :
“Sejarah dan latar belakang terbentuknya suatu agama”
“Apa yang mereka percayai dan bagaimana mereka menjalankan ibadahnya”
Hal di atas terkadang mengundang pertanyaan bercabang yang kadang kala di hujani oleh peserta dari kacamata mereka dalam menafsir apa yang mereka pelajari dan membandingkan dengan ajaran agama mereka. Dalam kesempatan ini, ada rasa was-was dan kurang nyaman yang memang harus kita terima dalam memahami ketika berdialog namun bukan untuk berargumen atau mengadu pendapat.
Dalam Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) yang dilakukan oleh Setara Institute, kota Medan pernah masuk dalam daftar 10 kota terbawah Indeks Kota Toleran pada tahun 2022, walau di tahun berikutnya sudah keluar dari list tersebut, namun ketimpangan akan akses masih dirasakan oleh beberapa kelompok agama tertentu. Melalui pendokumentasian media massa dan catatan Setara Institute diketahui bahwa kasus gangguan tempat ibadah masih menjadi pelanggaran yang tren dilakukan dan terjadi di 65 tempat ibadah di Indonesia, termasuk di kota Medan.
Keberagaman harus terus diakrabkan dan dibiasakan untuk tiap generasi, mengingat keintiman pemeluk agama secara personal kepada Sang Pencipta, maka pendekatan harus berlandaskan pada rasa hormat. Namun melirik regulasi yang pernah dilahirkan oleh pemerintah seringkali mendestruktifkan keberagaman tersebut, seperti yang terkandung dalam beberapa regulasi berikut:
1. UU Pencegahan dan penodaan agama tahun 1965 dan diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2010.
2. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
3. UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Hak-hak sipil yang tidak terpenuhi karena diluar dari enam (6) agama “non resmi”.
4. Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Lalu bagaimana kita membudayakan toleransi ditengah regulasi dan produk-produk polarisasi yang memetakan masyarakat? Tentu saja, dengan cara meromantisasi keberadaan dalam suguhan yang kecil-kecilan, memulai dari yang terdekat yakni menjadi teman/sahabat secara personal, kemudian menjadi sahabat lintas iman yang memaknai perdamaian. Mengenalkan keberagaman kepada orang muda memastikan aksi dan promosi akan cinta damai untuk keberagaman agama tetap dikawal dan diserukan.
Melalui kolaborasi bersama campaign dan peacegen dalam tagar #breakdownthewalls ASB dengan Challenge menunjukkan keberagaman dalam dokumentasi persahabatan lintas iman ingin membiasakan pertemuan dan menormalisasikan kehangatan keberagaman dan kebersamaan, dengan adanya challenge ini yang menjadi dasar kami mengajak orang muda Sumatera Utara untuk berkumpul, bercerita dan belajar tentang keberagaman melalui agama yang ada di Sumatera Utara bersama Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Adapun tujuannya adalah mengenal lebih dekat untuk menghargai perbedaan, memberantas kerentanan menggalakan toleransi dan kerukunan umat beragama.