Hai, Changemakers!
Selamat Hari Buruh Internasional! Tak bisa dibayangkan jika kehidupan nggak ada yang namanya buruh. Sebab, segala apa yang kita makan, minum, dan gunakan adalah hasil dari kerja keras buruh.
Makanan cepat saji yang kita nikmati dengan lahap, tak mungkin bisa dinikmati kalau nggak ada buruh. Kendaraan yang berseliweran di jalan, tak mungkin ada kalau nggak ada buruh.
“Eh, bentar! Bukannya mobil dirancang oleh insinyur. Terus insinyur dilahirkan dari didikan dosen. Dosen dilahirkan dari pengetahuan guru. Berarti nggak semuanya dihasilkan dari buruh kalau gitu, dong?”
Terpecahnya Masyarakat Akibat Industrialisasi
Ah… itu adalah bentuk dari logika manusia modern. Kita lupa bahwa semua yang bekerja pada orang dan menerima upah sebenarnya tetap satu: buruh. Kita lupa bahwa semenjak dunia memasuki era industrialisasi, pembagian kelas sosial tak bisa terhindarkan.
Ketika bicara tentang kelas sosial, menjadi hal rumit karena punya sejarah panjang yang berceceran dan berserakan. Tapi tenang aja, Champ bakal meringkasnya.
Mengapa ketika memasuki era industrialisasi, kelas sosial adalah potret yang tak bisa terhindarkan? Mengutip dari buku Mitos Inferioritas Perempuan–masyarakat pada masa berburu, tak ada yang namanya kelas sosial. Semua menjadi satu, para pekerja.
Mereka tak saling berebut kekayaan karena saling harmoni berbagi peran. Laki-laki bertugas mencari buruan, sedangkan perempuan menyiapkan bahan untuk masakan dan menenun sembari menunggu hasil buruan tiba.
Tapi semuanya berubah saat memasuki era industrialisasi. Perebutan ekonomi tak tertahankan. Mereka yang memiliki tanah dan modal menjadi kelompok kapital. Sedangkan mereka yang bekerja untuk mendapat upah menjadi kelompok proletar (buruh).
Malangnya, seiring berjalannya waktu, dikotomi kelas sosial bukan semakin berjalan seimbang dan harmoni. Justru sekarang buruh terpecah-pecah. Misalnya aja di Indonesia ada yang namanya buruh, pegawai, dan karyawan.
Sumber gambar: Obor Timur
Jangan Panggil Aku Buruh!
Pembagian kelas yang akhirnya berdampak pada kesadaran masyarakat. Kalau orang yang bekerja sebagai PNS atau kantoran, nggak mau dibilang buruh. Temuan menarik digambarkan dalam riset Jasmine Floretta V.D. yang dimuat di Magdalene. Jasmine menemukan fakta kalau Gen Z enggan disebut buruh meski digaji bulanan. Memang tak semua informan yang ditemui Jasmine enggan untuk disebut buruh.
Serupa dengan Jasmine, media Vice juga mewawancarai anak muda pekerja kerah putih yang enggan dikatakan buruh. Dari semua narasumber yang diwawancara, kebanyakan enggan disebut buruh karena dianggap pekerja kasar dan rendah.
Alasan Pemaknaan Buruh Menjadi Sempit
Potret yang memilukan karena menggambarkan kalau kelas pekerja di Indonesia terpecah belah. Terus kenapa buruh hanya identik sebagai pekerja rendahan atau pabrik? Sebab utamanya adalah permainan bahasa era Orde Baru.
Dulu di masa Orde Lama, Soekarno menggunakan terminologi “buruh” pada kelas pekerja, bahkan sekelas pemerintahan. Dalam penyebutan nama Kementerian, Orde Lama menggunakan nama Kementerian Perburuhan yang dijabat S.K Trimoerti.
Dukungan Orde Lama terhadap posisi buruh diperlihatkan dengan membuat Undang-Undang Kerja. Bahkan, Menteri Sosial, Maria Ulfah, mengeluarkan surat edaran mendukung perayaan Hari Buruh Internasional.
Setelah mengalami fase emas di era Orde Lama, posisi buruh menjadi “kambing hitam” pada masa Orde Baru. Kementerian Buruh diganti nama menjadi Kementerian Tenaga Kerja. Alasannya apa? Hanya karena stigma bahwa buruh identik pada gerakan kiri dan berafiliasi dengan komunis.
Pembredelan marwah buruh kian terlihat kuat ketika terbentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia, lalu namanya diubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia pada 20 Februari 1974. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menjadi serikat buruh satu-satunya yang diakui pemerintah.
Melalui otak-atik peraturan dan politisasi bahasa, akhirnya buruh bermakna sempit sebagai pekerja rendahan yang berada di pabrik.
Kekuatan Bahasa terhadap Kenyataan
Kenapa bahasa bisa membentuk kesadaran baru di masyarakat? Menurut Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam buku Tafsir Sosial Atas Kenyataan, bahasa bisa mengubah sesuatu yang abstrak menjadi nyata.
Sederhananya gini, jangan melihat bahasa hanya sebagai alat komunikasi. Bahasa juga adalah alat pembentukan pengetahuan. Kamu tau kalau cabai itu pedas karena dulu waktu kecil, orang tua sering bilang anak kecil dilarang makan cabai soalnya pedas.
Artinya, ketika bahasa diciptakan, kemudian disampaikan dalam interaksi masyarakat–maka di sana bahasa membangun objektivitas dalam kesadaran masyarakat. Ketika Orde Baru mengidentikkan buruh dengan konotasi negatif–lalu membentuk kelas baru bernama pekerja– di sana terjadi pembentukan pengetahuan kalau buruh adalah kelas yang berbeda.
Mari kita jangan lagi terpecah antara buruh, pegawai, karyawan, atau sebutan serupa lainnya. Kita harus menjadi satu untuk terus menghidupkan nafas keadilan untuk kelas pekerja. Sebab, di luar sana, keadilan masih menjadi barang mahal bagi buruh!
Hidup Buruh!!!!!!
Di Hari Buruh ini kamu bisa menyelamatkan bumi dengan ikut Challenge DUKUNG PEMUDA MANFAATKAN AI DEMI MASA DEPAN BERKELANJUTAN. Ada 3 aksi yang bantu kamu mengenal lingkungan. Yuk, bangun keadilan sesama manusia dan lingkungan di Hari Buruh ini!
Referensi:
https://magdalene.co/story/gen-z-tolak-disebut-buruh/#google_vignette
https://www.vice.com/id/article/ngobrol-bersama-anak-muda-pekerja-kerah-putih-yang-gamang-disebut-buruh/
Berger, Peter L. & Luckmann Thomas. 2018. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES
Reed, Evelyn. 2019. Mitos Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Independen