Hai, Changemakers!
Bicara tentang alam Indonesia, bawaannya pengen kagum, tapi di satu sisi ngeluh. Gimana nggak, baru-baru ini aja pemerintah melegalkan ekspor pasir laut. Belum lagi kasus penambangan ilegal yang akhir-akhir ini santer terdengar. Tentu hal ini berdampak juga dengan hutan Indonesia yang kian mengalami krisis. Di tahun 2023, menurut penghitungan Yayasan Auriga Nusantara, hutan alam Indonesia mengalami deforestasi, dengan angka menyentuh 257 ribu hektar.
Itu masih dua permasalahan besar. Belum masalah lingkungan lainnya. Apa yang bisa Champ harapkan? Di hati terdalam, Champ pesimis, lingkungan Indonesia bisa diselamatkan.
Berkenalan dengan Suku Kajang
Tapi tunggu dulu, simpan rasa kecewa dan pesimismu tentang alam Indonesia. Soalnya dilansir dari Good News From Indonesia, ada suku Kajang yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Tengah yang dinobatkan oleh The Washington Post sebagai penjaga hutan hujan tropis terbaik di dunia.
Waw… perasaan Champ campur aduk, antara bahagia dan kaget. Kaget karena di tengah manusia masifnya kerusakan lingkungan, ternyata masih ada suku yang mau menjaga bumi.
Psttt… suku Kajang merupakan suku tertua di Desa Tana Toa.
Ada identitas mencolok dari suku Kajang. Di sana, masyarakatnya nggak menggunakan sandal dan pakaiannya berwarna hitam. Bagi suku Kajang, warna hitam memiliki arti sebagai persamaan, persatuan, dan kesederhanaan.
Sumber gambar: Etnis.id
Identitas Kebudayaan Suku Kajang
Secara pengelompokan, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, Rilalang Embayya atau dikenal sebagai Kajang dalam dan Ipantarang Embayya’ yang dikenal sebagai Kajang luar. Meski terbagi menjadi dua kelompok, keduanya hidup secara harmonis.
Perbedaan antara Rilalang Embayya dengan Ipantarang Embayya’ bisa dilihat dari identitas keagamaannya. Kajang dalam memegang Islam kebatinan yang mengamalkan salat nggak terputus-putus dan wudhu nggak pernah batal. Sedangkan Kajang luar menjalankan syariat Islam pada umumnya di masyarakat.
Ada banyak versi tentang sejarah suku Kajang. Ada yang mengatakan orang Kajang berasal dari To Manurung bernama Batara Daeng Rilangi (gadis cantik dari langit) yang dinikahi oleh Tamparang Daeng Malowang. Pernikahan itu memiliki tiga anak, antara lain: Tau Tentaya Matanna yang menjadi raja Laikang, Tau Kale Bojo’a yang menjadi Raja Lembang, dan Tau Sapaya Lilana yang menjadi raja Kajang.
Versi lain menyebutkan orang Kajang diturunkan dari langit (Tau Manurung) atas kehendak Tur’e A’ra’ana atau Tuhan Yang Maha Esa pada tahun 1300 Masehi.
Catatan sejarah lain menjelaskan jika wilayah adat Kajang berasal dari gundukan tanah yang menyembur air dan meluas seiring berjalannya waktu. Masyarakat Kajang percaya, jika Ammatoa (seorang pemimpin) pertama menunggangi Koajang (burung rajwali) dari tempat pertama menetap.
Terlepas dari berbagai versi sejarah yang ada, suku Kajang dikenal dengan kekayaan tradisinya. Salah satunya attuna panroli. Tradisi ini biasa dilakukan saat ada masalah, seperti kasus pencurian. Untuk menemukan siapa pencurinya, dilakukan dengan memegang linggis yang terbakar hingga merah membarah.
Ammatoa yang memimpin ritual menjelaskan ke masyarakat, jika linggis ini nggak akan panas jika disentuh oleh orang yang jujur. Dalam pelaksanaannya, seluruh masyarakat wajib kumpul, termasuk yang diduga sebagai pelaku pencurian.
Tradisi lain yang dilakukan masyarakat suku Kajang adalah tradisi andingingi. Penelitian Hidayat, dkk., menjelaskan kalau tradisi andingingi bertujuan “mendinginkan” kampung agar terhindar dari bahaya dan malapetaka.
Andingingi menjadi tradisi yang udah lama dilakukan dan memiliki proses yang sakral. Seperti membawa sesajen ke alam dan para leluhur. Hal itu bertujuan agar alam dan manusia bisa saling bersahabat.
Suku Kajang yang Mencintai Lingkungan
Suku Kajang memang dikenal dengan sikapnya yang mencintai lingkungan. Ini yang menjadi dasar kenapa hutan di sana terjaga dengan baik.
Masyarakat suku Kajang melihat hutan bukan sekadar ruang tempat bertumbuhnya tumbuhan dan rumah bagi hewan. Cara pandang mereka terhadap hutan melebihi itu. Baginya, hutan dianggap sebagai tempat sakral karena hutan asal pertama kali Bumi dibuat. Mereka melihat hutan sebagai sumber hujan dan air.
Tak heran jika suku Kajang memperlakukan hutan dengan baik dan penuh kasih sayang. Terlihat dari proses pembuatan rumah yang nggak menggunakan banyak pohon. Sehingga pohon yang ditebang juga nggak banyak.
Rasa cinta suku Kajang terhadap hutan bisa dilihat juga dari pembagian dua hutan. Ada hutan keramat dan hutan perbatasan. Hutan keramat dianggap sebagai tempat leluhur, sehingga nggak boleh ada kegiatan. Berbeda dengan hutan perbatasan yang diperbolehkan melakukan kegiatan selama mendapat izin dari Ammatoa, termasuk menebang pohon.
Untuk menebang pohon, harus sesuai dengan kebutuhan. Mereka memiliki pola hidup yang sederhana. Jangan menebang pohon, jika nggak diperlukan. Sekalipun menebang satu pohon, harus menggantinya dengan dua pohon. Pohon boleh ditebang ketika pohon penggantinya udah tumbuh. Saat pengambilan pohon sekalipun ada aturannya. Yakni, harus digotong agar nggak merusak tumbuhan lainnya.
Dari suku Kajang, seharusnya kita belajar, betapa berartinya hutan bagi kehidupan di muka bumi ini. Apakah kita akan terus-menerus “melukai” hutan?
Yuk kita berbenah untuk lingkungan yang lebih baik. Kamu bisa belajar menjaga lingkungan dengan ikut Challenge Kenalan Sama Penghayat Yuk.
Referensi:
https://betahita.id/news/detail/10044/hari-hutan-sedunia-deforestasi-indonesia-2023-capai-257-ribu-ha.html?v=1718774932#:~:text=Berdasarkan%20perhitungan%20Yayasan%20Auriga%20Nusantara,menyentuh%20angka%20257%20ribu%20hektare.
https://act.seasia.greenpeace.org/id/stop-ekspor-pasir
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/08/02/mengenal-suku-kajang-suku-yang-populer-hingga-mancanegara
https://brwa.or.id/wa/view/clpRWmgzd2VqLVk
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/10/08/8-fakta-menarik-suku-kajang-ammatoa-selain-kesaktian-ilmu-hitamnya-doti#google_vignette
https://greennetwork.id/kabar/bagaimana-suku-kajang-mengelola-dan-melestarikan-hutan-dengan-kearifan-lokal/#:~:text=Kedua%20fungsi%20tersebut%20mempengaruhi%20bagaimana,rumah%20lebah%2C%20bahkan%20mencabut%20rumput.
https://omong-omong.com/suku-kajang-penjaga-kelestarian-hutan-bulukumba/
Hidaya, S.Busatan. Bahri. 2022. Ritual Andingingi: Strategi Mempertahankan Kelestarian Alam pada Komunitas Kajang 2014-2020. Attoriolong Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah. Volume 2, Nomor 2. 1-8