#ForABetterWorldID

Apa Benar AI Mulai Mengikis Kualitas Pendidikan?

profile

campaign

Update

​Hai, Changemakers!

Hari ini merupakan Hari Pendidikan Internasional–peringatan yang tak seharusnya dirayakan dengan berbagai seremoni. Mengingat di tengah kemajuan teknologi, justru kualitas pendidikan sempoyongan. 

Apa yang terjadi dengan kualitas pendidikan kita di tengah kemajuan teknologi? Coba kita bahas.

AI Maju, Tugas Tinggal Merem

Ngobrol bersama teman-teman yang seharusnya menjadi ruang menyenangkan, justru menjadi dingin dan memeningkan. Kejadiannya bermula ketika Champ sedang ngumpul bersama teman-teman. Di pertengahan obrolan, teman Champ yang seorang pengajar membelokkan cerita tentang AI di sekolah. 

Dia bercerita kalau AI mulai membuat murid di sekolah menjadi malas. “Bum…” Champ yang semula melihat AI bisa berkolaborasi dengan aktivitas manusia dalam bekerja, seketika terkejut. Champ tak mengira, bahwa AI menjadi lubang hitam di ranah pendidikan. 

Champ bertanya-tanya di hati, apa yang membuatnya buruk? Tanpa harus bicara, teman Champ melanjutkan ceritanya. Ia mengatakan bahwa sekarang banyak murid yang malas untuk berpikir dan berkreativitas dengan adanya AI. Ketika mendapat tugas membuat artikel, ada beberapa murid yang menggunakan AI untuk mengerjakannya. 

Bagaimana dia tahu? Sebagai orang yang tekun membaca, ia punya kepekaan tentang bahasa. Menurutnya, bahasa AI dengan bahasa otentik ciptaan manusia, punya perbedaan. Artikel hasil buatan AI bahasanya selalu sama, yakni berisi definisi. Tak ada kerangka yang unik di dalamnya. 

Mendengar itu aja, hati Champ udah berserakan. Belum selesai dengan rasa terkejut yang ada, teman Champ lainnya yang masih duduk di bangku SMA ikut bercerita. 

Menurutnya, banyak teman-temannya yang mengerjakan tugas dengan sat-set karena dibantu AI. Misalnya aja, ketika gurunya minta review sebuah cerpen, ada temannya yang cepat mengerjakan. Setelah dia bertanya, kenapa bisa cepat? Katanya, minta jawaban ke ChatGPT. 

Selang beberapa bulan, Champ makin melongo, sekaligus tak berdaya. Di warung kopi, Champ dan teman-teman SMA sedang menjalankan pelatihan UTBK. Di akhir sesi, seorang anak SMA menceletuk bahwa pembahasan soal yang dibahas bersama-sama tadi, bisa minta jawaban dengan AI. Setelah dicoba, jawabannya sesuai dengan apa yang dibahas tadi. 

Peristiwa itu semakin membuat Champ prihatin tentang AI yang bisa mendangkalkan proses diskusi dan berpikir seorang anak. 


image

Si “Maha” yang Hanya Menjadi Nama 

Mirisnya lagi, di tingkat mahasiswa terjadi hal serupa. Dengan status “Maha” yang menjadi indikasi mereka punya sikap lebih dewasa, nyatanya hanya menjadi kiasan. Teman Champ yang baru lulus bercerita mengenai praktik gelap penggunaan AI di kalangan mahasiswa. 

Kebanyakan, AI digunakan mahasiswa untuk mempercepat pengerjaan skripsi, misalnya saat mengerjakan parafrase. Tujuannya untuk mempercepat penurunan persentase plagiasi. 

Praktik gelap lainnya adalah pengerjaan penelitian terdahulu. Dengan menggunakan AI, sekarang mahasiswa bisa cepat mengerjakan penelitian terdahulu karena bisa mendapatkan rangkuman teori, metode penelitian, dan hasil penelitian. 

Dua praktik yang berpotensi menurunkan sikap teliti, jelih, dan kegigihan. Champ jadi ingat ketika mengerjakan tugas riset dan skripsi untuk melakukan parafrase, harus banyak membaca atau membuka KBBI daring untuk memperkaya kosa kata. Atau ketika mengerjakan penelitian terdahulu, harus membaca secara sistematis file penelitiannya. 

Pendangkalan berpikir, kreativitas, dan usaha di pendidikan akibat AI menjadi potret yang sebenarnya tak diharapkan. Apa bisa dikata, ini telah mencapai klimaksnya. Para pengajar juga sulit mendeteksi produk seorang murid, apakah otentik atau bukan. Seperti riset dari Scarfe di University of Reading, para penilai kesulitan mendeteksi jawaban tugas mahasiswanya, dihasilkan dari AI atau bukan. 



image

Jawaban Jangka Pendek Persoalan Rumit

Bagaimana kita bisa mengatasi degradasi pendidikan yang digerogoti AI? Ini menjadi pertanyaan penting untuk segera dijawab. Bahkan. UNESCO membuat tema Hari Pendidikan Internasional 2025 dengan tema "AI and education: Preserving human agency in a world of automation". 

Sebagai persoalan yang rumit, butuh solusi mendalam untuk menyelesaikannya. Tapi, kita bisa menjadikan etika teknologi sebagai solusi jangka pendeknya. 

1. AI digunakan oleh murid sesuai kebutuhan dengan secukupnya. Jangan menyerahkan segala kebutuhan kepada AI. Caranya dengan menganalisis diri sendiri, hal apa yang dibutuhkan dan yang nggak dibutuhkan. 

2. Menjaga prinsip kejujuran. 

3. Mengedepankan tanggung jawab

4. Pengontrolan pendidik dengan sistem penilaian yang ketat

Poin yang lebih penting adalah guru dan murid membagun kedekatan emosional. Ini bertujuan agar murid bisa mengenal potensi dirinya dan membangun sikap kejujuran. Hal penting lainnya adalah memberikan pendidikan literasi digital. Tujuannya, agar murid bisa memahami norma-norma pemakaian AI.

Sungguh PR yang berat. Semua agen pendidikan harus berkolaborasi untuk menjawab PR besar tersebut. 

Ngomongin kolaborasi pendidikan, Champ jadi ingat sama kampanye #BantuSekolahYuk2. Kamu bisa ikut beragam Challengenya biar memahami permasalahan pendidikan anak. 




Referensi:

https://www.tempo.co/politik/riset-ai-di-dunia-pendidikan-mayoritas-jawaban-chatgpt-tak-terdeteksi-oleh-penguji-39587

https://www.refoindonesia.com/artificial-intelligence-ai-etika-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ 

https://s2pendidikanbahasainggris.fbs.unesa.ac.id/post/etika-dan-rekomendasi-kebijakan-penggunaan-chatbot-ai-artificial-intelligence-dalam-ranah-pendidikan-bahasa-inggris



heart

Hearts

heart

Komentar

Komentar

Done
Download aplikasi Campaign #ForABetterWorld untuk dunia yang lebih baik
Tingkatkan dampak sosialmu dan mari mengubah dunia bersama.
img-android
img-playstore
img-barcode
img-phone
img-phone