Ketahanan stres pada anak-anak menjadi topik penting dalam psikologi perkembangan karena berhubungan langsung dengan kesejahteraan mental dan emosional mereka. Anak yang memiliki kecerdasan emosional mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta orang lain, sehingga mereka cenderung memiliki ketahanan stress yang lebih tinggi. Bahkan, Daniel Goleman (1995) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional berperan lebih besar dalam keberhasilan hidup dibandingkan dengan kecerdasan intelektual.
Tetapi, hasil survei Keterampilan Sosial Emosional OECD tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat ketahanan stres pada anak usia 10 tahun di Kudus lebih rendah daripada rerata di enam belas lokasi di dunia. Lebih lanjut, secara rata-rata anak perempuan di Kudus memiliki ketahanan stress yang lebih rendah serta mengalami lebih banyak kecemasan saat ujian dan saat berada di dalam kelas dibandingkan dengan anak laki-laki.
Padahal, dalam konteks visi Indonesia Emas 2045, ketahanan stres pada anak-anak menjadi faktor kunci dalam membangun generasi yang unggul. Mengapa anak perempuan lebih rentan stres dibandingkan anak laki-laki? Dan bagaimanakah pendidikan dapat berperan untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak?
Meningkatkan Kecerdasan Emosional di Era Digital
Anak perempuan sering kali lebih ekspresif dalam mengungkapkan emosi dibandingkan anak laki-laki, tetapi mereka juga rentan terhadap tekanan sosial dan emosional. Anak-anak usia sekolah dasar saat ini—biasa kita sebut sebagai Generasi Alpha yang lahir dan tumbuh di era digital, menghadapi risiko lebih tinggi terkait fenomena bullying di media sosial.
Selain itu, beberapa penelitian memprediksi bahwa Generasi Alpha mungkin menghadapi tantangan dalam hal kurangnya interaksi sosial, kreativitas, dan kecenderungan bersikap individualis akibat ketergantungan pada teknologi digital. Mereka juga menghadapi risiko kelelahan mental dan fisik yang ekstrem akibat tekanan akademis dan sosial yang terus-menerus.
Tekanan akademis yang digambarkan pada penelitian tersebut juga menjadi fenomena di lingkungan madrasah, seperti MI NU Banat. Kurikulum muatan lokal yang banyak, ditambah aktivitas lain setelah sekolah seperti sekolah Diniyah, TPQ, bimbingan belajar atau kursus lain, membuat siswa mengalami tekanan akademis.
Ada pula 45% siswa program fullday yang menghabiskan waktu di madrasah hingga 8 jam karena mengikuti kegiatan ekstra khusus. Kondisi ini dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam membangun ketahanan terhadap stres. Oleh karena itu, membangun kecerdasan emosional sejak usia dini sangat penting agar mereka dapat mengembangkan kepribadian yang tangguh dan sehat secara psikologis.
Menyadari pentingnya kecerdasan emosional bagi siswa, MI NU Banat berkomitmen mengembangkan dan mengintegrasikan Social and Emotional Skills (SES) dalam kurikulum madrasah, baik itu intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Sejak tahun 2019, banyak program baru di MI NU Banat untuk mengembangkan SES seperti iklim kelas ber-SES, integrasi SES dalam pembelajaran secara eksplisit, lesson study, dan lingkungan bahasa.
Kelas yang beriklim SES dapat terlihat pada berbagai tools seperti: papan emosi untuk mengecek emosi sehingga siswa bisa mengenali emosi yang mereka rasakan, papan curhat sebagai media siswa untuk mengekspresikan perasaan dan menyuarakan pendapat atau ide, dan pojok tenang sebagai tempat me-release emosi yang dilengkapi dengan fidget tools dan visualisasi cara menenangkan diri.
Kami mengeksplisitkan SES dalam pembelajaran melalui pembukaan pembelajaran yang hangat, kegiatan inti pembelajaran yang melibatkan dan berpusat pada siswa, serta penutupan yang optimistik dengan refleksi diri. Kami juga mengenalkan bermacam-macam emosi pada siswa dan bagaimana cara untuk mengenali emosi tersebut. Adakalanya siswa akan merasakan emosi yang dapat menghambat pembelajaran seperti sedih, kecewa, marah, ataupun frustrasi. Maka, kami terapkan midfulness training yang bisa dilakukan siswa untuk mengembalikan emosi ke zona yang tenang.
Untuk mendapatkan strategi dan teknik integrasi SES dalam pembelajaran yang efektif, kami membentuk lesson study di mana guru mengkaji pembelajaran secara kolaboratif. Selain itu, kami juga memiliki program Lingkungan Bahasa yang membiasakan siswa untuk berkomunikasi secara aktif dalam 4 bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Arab, dan Bahasa Jawa. Program ini menekankan untuk pengembangan SES asertif dan mudah bergaul (keterampilan sosial).
Meskipun tenaga pendidik dan kependidikan telah dan terus mengupayakan pengembangan SES, namun misi untuk membentuk siswa yang cerdas sosial dan emosional masih dirasa belum tercapai. Maka, kami terus mengeksplorasi literatur maupun kajian yang terkait untuk mendapatkan insight lebih luas. Untuk meningkatkan kecerdasan emosional atau jika dikerucutkan pada ketahanan terhadap stress, kita perlu memahami dulu faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan stres pada anak, seperti:
1. Faktor Individu
a. Kepribadian anak: Anak dengan sifat optimis dan fleksibel lebih mampu menghadapi stres.
b. Keterampilan koping: Anak yang memiliki kemampuan mengelola emosi dan menyelesaikan masalah cenderung lebih tangguh terhadap tekanan.
2. Faktor Lingkungan Keluarga
a. Hubungan dengan orang tua: Ikatan emosional yang kuat dengan orang tua memberikan rasa aman dan stabilitas emosional bagi anak.
b. Pola asuh: Pola asuh yang suportif dan responsif dapat meningkatkan ketahanan anak terhadap stres.
3. Faktor Sekolah dan Sosial
a. Dukungan dari teman sebaya dan guru: Lingkungan sosial yang positif membantu anak mengatasi tekanan akademik dan sosial.
b. Kurikulum sekolah yang memperhatikan keseimbangan antara akademik dan kesejahteraan psikologis siswa.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kecerdasan emosional berdasarkan hasil sejumlah penelitian yaitu:
1. Membangun Keterampilan Koping
a. Mengajarkan anak teknik relaksasi seperti pernapasan dalam dan meditasi.
b. Membantu anak mengenali dan mengekspresikan emosinya secara sehat.
2. Meningkatkan Dukungan Sosial
a. Mendorong anak untuk membangun hubungan yang positif dengan teman dan anggota keluarga.
b. Menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung di sekolah dan rumah.
3. Menerapkan Pola Asuh yang Sehat
a. Memberikan dukungan emosional dan validasi terhadap perasaan anak.
b. Mendorong anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian.
4. Meningkatkan Kesadaran akan Manajemen Stres di Sekolah
a. Memasukkan program kesehatan mental dalam kurikulum sekolah.
b. Melatih guru untuk mengenali tanda-tanda stres pada siswa dan memberikan dukungan yang diperlukan.
Dengan demikian, melalui kampanye #TumbuhBersama, kami berencana untuk melaksanakan program pendampingan praktisi psikologi kepada guru tentang pengembangan kecerdasan emosional dalam pembelajaran, sehingga program kesehatan mental bisa diinklusikan dalam kurikulum madrasah kami. Program ini juga akan dilengkapi dengan kegiatan pendampingan dan konseling praktisi psikologi kepada siswa tentang pengembangan kecerdasan emosional.
Ketahanan stres merupakan aspek penting dalam perkembangan anak yang berperan dalam kesejahteraan emosional dan mental mereka. Faktor individu, lingkungan keluarga, serta dukungan sosial dan akademik sangat mempengaruhi ketahanan stres anak. Kecerdasan emosional berperan penting dalam meningkatkan ketahanan stres karena membantu anak mengelola emosi, membangun hubungan sosial yang sehat, dan mengembangkan keterampilan koping yang efektif.
Dengan menerapkan strategi yang tepat, seperti membangun keterampilan koping, meningkatkan dukungan sosial, dan menciptakan lingkungan yang mendukung, anak-anak dapat mengembangkan ketahanan yang lebih baik terhadap stres dan tumbuh menjadi individu yang sehat secara mental dan emosional. Hal ini menjadi pondasi bagi generasi emas Indonesia yang tangguh dan siap bersaing di era global.
Sejalan dengan strategi ini, kami mengajak Anda untuk berkontribusi secara nyata dalam Challenge Bantu Tingkatkan Kecerdasan Emosional pada Anak Perempuan di MI NU Banat dengan mengupload 3 foto aksi di aplikasi Campaign #ForABetterWorld. Setiap penyelesaian Challenge yang Anda lakukan akan menjadi donasi sebesar Rp20 ribu yang didanai Bakti Djarum Foundation. Nantinya, donasi digunakan untuk merealisasikan program Peningkatan Kecerdasan Emosional kami.
Referensi
Arianto, Irwan Dwi (2024, 20 Juli). Tantangan Kesehatan Mental Gen Z dan Gen Alpha (Media Sosial dan Non Media Sosial). Diakses pada 27 Maret 2025 dari https://asigta.org/2024/07/20/tantangan-kesehatan-mental-gen-z-dan-gen-alpha-media-sosial-dan-non-media-sosial/
Bukhori, A., Yanti, A. R., & Rahmawati, A. (2023, Juli). Penerapan mindfulness training sebagai upaya dalam mengurangi psychological distress pada generasi Z. In Proceedings of Annual Guidance and Counseling Academic Forum (pp. 1-9).
Goleman, D. (1995). *Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ.* New York: Bantam Books.
Harahap, Fitria Amelia, & Sampurna, Ahmad. (2024, Mei). Membangun Kesehatan Mental Generasi Alpha: Urgensi Konseling dalam Mengatasi Tantangan Bullying di Era Sosial Media Melalui Komunikasi Empati. Jurnal Indonesia Manajemen Informatika dan Komunikasi 5(2):1179-1185. DOI:10.35870/jimik.v5i2.693
OECD. 2023. Survei Keterampilan Sosial Emosional OECD 2023. Kudus: Bakti Pendidikan Djarum Foundation.